Prolog
Menggugurkan kandungan yang dalam bahasa Arabnya ijhaadh, merupakan bentuk masdar dari ajhadha, yang artinya wanita yang melahirkan anaknya secara paksa dalam kedaan belum sempurna penciptaannya (al-Mishbah al-Munir). Atau, secara bahasa juga bisa dikatakan, lahirnya janin karena dipaksa atau karena lahir dengan sendirinya. Sedangkan makna gugurnya kandungan ini, menurut para fuqaha tidak keluar jauh dari makna lughawinya, akan tetapi kebanyakan mereka mengungkapkan istilah ini dibeberapa tempat dengan istilah Arab; isqath (menjatuhkan), tharh (membuang), ilqaa’ (melempar) dan imlaash (melahirkan dalam keadaan mati). (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, juz II, hal. 56)
Adapun dalam pembahasan ini, pengertian menggugurkan kandungan dibatasi pada lahirnya janin karena dipaksakan oleh ibunya atau dipaksakan oleh orang lain atas permintaan dan kerelaannya. Sedangkan tujuan dari pembahasan ini adalah untuk menjelaskan hukum syari’at tentang tindakan ini dan mentarjih pendapat yang kuat dalam masalah ini.
Adapun gugurnya janin karena kecelakaan tidak masuk dalam kajian ini, karena tindakan itu tidak termasuk dalam kategori lepas tanggung jawab, melecehkan kehormatan dan sebagainya. Tidak masuk pula janin yang gugur karena wanita yang hamil itu dipaksa untuk menggugurkannya tanpa seizinnya, yang mana tindakan seperti ini tidak boleh dilakukan dan pelakunya berhak untuk dihukum.
Tujuan dari pembahasan ini, bukan pula untuk menjelaskan tentang teks-teks syari’at yang menjelaskan tentang masalah pengguguran kandungan ini, karena untuk mengetahui masalah ini sangatlah mudah dengan kembali kepada buku-buku fiqh.
Mengenai hukum menggugurkan kandungan ini, tidak ada nash yang secara langsung menyebutkannya, baik al-Qur’an maupun hadits. Sedangkan yang dijelaskan di dalam kitab Allah Azza wa Jalla adalah tentang haramnya membunuh orang tanpa hak, mencela perbuatan itu dan menghukum pelakunya dengan hukuman yang abadi di neraka jahannam. Allah Ta’ala berfirman,
Artinya, “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah jahanan dan ia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya dan mengutuknya serta menyediakannya adzab yang besar baginya.” (QS. an-Nisa': 93)
Seperti juga dijelaskan di dalam al-Qur’an tentang tahap-tahap penciptaan manusia, bahwa roh adalah dasar penciptaannya. Dengan masuknya roh ke dalam jasad, maka terjadilah kehidupan manusia dan dengan keluarnya roh darinya, maka habislah kehidupan manusia di dunia.
Begitu juga di dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dijelaskan tentang tahap-tahap penciptaan manusia di dalam perut ibunya dan membatasi masa dari tahapan-tahapan tersebut, serta waktu peniupan roh di dalam jasad manusia. Di dalam sebuah hadits yang dianggap paling benar, baik dari segi matan maupun sanadnya, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kejadian seorang itu dikumpulkan di dalam perut ibunya selama empat puluh hari. Setelah genap empat puluh hari kedua, terbentuklah segumpal darah beku. Manakalah genap empat puluh hari ketiga, berbahlah menjadi segumpal daging. Kemudian Allah Ta’ala mengutus seorang malaikat untuk meniupkan roh serta memerintahkannya supaya menulis empat perkara, yaitu ditentukan rizki, waktu kematian, amal serta nasibnya, baik mendapat kecelakaan atau kebahagiaan.” (Lihat Fathul Bari, juz XI, hal. 405, Syarah Shahih Muslim, juz XVI, hal. 190)
Juga hadits beliau yang diriwayatkan Anas bin Malik secara marfu’, “Allah Ta’ala mengutus Malaikat ke dalam rahim. Malaikat berkata, “Wahai Tuhan! Ia sudah berupa darah beku. Begitu juga setelah berlalu empat puluh hari, Malaikat berkata lagi, Wahai Tuhan! Ia sudah berupa segumpal daging. Apabila Allah Ta’ala membuat keputusan untuk menciptakaannya menjadi manusia, maka Malaikat berkata, Wahai Tuhan!Orang ini akan diciptakan menjadi laki-laki atau perempuan? Celaka atau bahagia?Bagaimana rezekinya serta bagaimana pula ajalnya? Semuanya dicatat semasa dia berada di dalam perut ibunya.” (Lihat Fathul Bari, juz XI, hal. 416 dan Shahih Muslim dengan Syarah an-Nawawiy, juz XVI, hal. 195)
Ada pula beberapa hadits yang menjelaskan tentang denda yang harus dibayarkan karena menggugurkan janin, denda itu oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam disebut dengan ghurrah (budak).
Itulah beberapa kalimat yang disebutkan oleh nash, yang ada kaitannya dengan masalah pengguguran janin. Dari nash-nash di atas tidak ada satu pun yang memberikan hukum secara langsung tentang pengguguguran kandungan, walaupun pada saat itu sudah ada pengetahuan tentang masalah itu, sehingga memungkinkan untuk dijadikan titik tolak untuk mengetahui hukumnya.
Dari penjelasan di muka, tidak diragukan lagi bahwa masalah ini masuk dalam wilayah yang diperkenankan oleh kaidah syari’at untuk dilakukan ijtihad di dalamnya. Inilah yang dipahami oleh para fuqaha. Mereka telah melakukan ijtihad di dalamnya dan mereka telah berselisih pendapat di dalam masalah ini.
Akan tetapi, kami secara yakin bisa mengatakan bahwa semua fuqaha yang membehas tentang hukum pengguguran kandungan itu terpengaruh –dengan pengaruh yang bertingkat-tingkat- dengan hadits tentang peniupan roh yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud yang telah kami sebutkan di atas, baik mereka yang mengaharamkannya di segala fase perkembangan janin, maupun yang membolehkannya pada sebagian fase perkembangannya dan menharamkannya pada sebagian fase perkembangan lainnya. Semua ini akan bisa kita lihat secara jelas ketika kita menengok pendapat-pendapat mereka. Dan insya Allah kami akan menunjukkannya ketika merangkum pendapat madzhab-madzhab tersebut. Karena hal itu akan memberikan manfa’at kepada kamiuntuk mengetahui pendapat yang paling kuat di antara pendapat-pendapat tersebut dalam masalah ini.
Dalam mengemukakan pendapat para fuqaha itu, kami akan menukil beberapa alas an mereka. Ini perlu kami lakukan karena adanya perbedaan pendapat di dalam satu madzhab dan karena menisbatkan pendapat pada satu madzhab tertentu tidak mendetil kecuali dengan menukil beberapa pendapat fuqaha dari dalam satu madzhab, lalu melihatnya secara keseluruhan dan tidak hanya melihat pendapat dari seorang ahli fiqh saja dalam madzhab tersebut. Mungkin sebagian sebagian ulama kontemporer ada yang melihat pendapat seorang ahli fiqh saja dalam satu madzhab, kemudian dia menisbatkan bahwa pendapat itu adalah pendapat madzhab tersebut, karena dia tidak melihat pendapat-pendapat ulama lain dalam madzhab itu yang tertulis di dalam buku-buku madzhab yang bermacam-macam, karena mungkin karena tergesa-gesa atau karena untuk memperkuat pendapat pembahas itu. Maka dalam hal ini akan sangat bermanfa’at jika kita mengemukakan pendapat para fuqaha dari beberapa madzhab untuk mengetahui hakekat pendapat yang dipegang oleh masing-masing madzhab tersebut.
Para fuqaha Islam telah sepakat dalam menetapkan hukum menggugurkan kandungan setelah peniupan roh. Adapun sebagian besar perbedaan di antara mereka adalah mengenai hukum pengguguran janin sebelum peniupan roh. Maka dari itu, akan pas bila pembahasan dalam masalah ini kita bagi menjadi beberapa bagian berikut:
Pertama: Hukum menggugurkan janin setelah peniupan roh.
Kedua : Hukum menggugurkan kandungan sebelum peniupan roh menurut fuqaha terdahulu.
Ketiga : Kesimpulan dan pemecahan terhadap pendapat fuqaha terdahulu.
Keempat: Pendapat yang rajih (kuat).
Hit : 0 |
IndexJudul |
IndexSubjudul |
kirim ke teman | versi cetak
|