Artikel : Kajian Islam - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits - ,

Pendidikan Anak Dalam Islam
oleh :

DALIL KEDELAPAN BELAS: PEMBAHASAN DAN BANTAHANNYA

Maliki menyebutkan dalil kedelapan belas, dengan berkata,
“Imam Syafi’i berkata, ‘Bid’ah apa pun dan apa saja yang bertentangan dengan Al-Qur’an, Sunnah, ijma’, dan atsar, maka bid’ah sesat. Sedang bid’ah yang baik dan tidak bertentangan dengan sumber-sumber tersebut, maka terpuji.’ Imam Al-Izz bin Abdus Salam, An-Nawawi, dan Ibnul Atsir juga membagi bid’ah, seperti telah kami singgung sebelumnya.”

Sebelumnya, kami telah memaparkan perkataan sejumlah ulama, semisal Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu Rajab, Al-Izz bin Abdus Salam, Asy-Syathibi, Ibnu An-Nahhas, dan Ibnu Hajar Al-Asyqalani. Perkataan mereka berisi kritikan tajam dan jelas terhadap pembagian bid’ah menjadi bid’ah mubah dan bid’ah haram. Sebagian dari mereka setuju dengan pembagian bid’ah. Hanya saja, bid’ah mubah menurut mereka bukan termasuk bid’ah dalam terminologi syar’i, tapi hanya sekedar terminologi bahasa. Bid’ah mubah persis seperti dikatakan Umar bin Khaththab tentang shalat Tarawih berjama’ah, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” Bid’ah mubah seperti ini punya landasan hukum di syariat dan tidak tertolak.

Sebelum ini, kami juga telah memaparkan hal-hal yang mereka sebutkan, seperti kodivikasi Al-Qur’an dan distribusinya, penulisan ilmu Al-Qur’an, hadits, dan bahasa, mendirikan pesantren, sekolah, dan rumah sakit. Kami juga telah menyebutkan bantahan pernyataan bahwa itu semua bid’ah syar’i. Itu semua kami sebutkan di pembahasan dan bantahan dalil kelima belas. Setiap masalah ini telah kami bahas dan kami jelaskan bahwa masing-masing contoh punya landasan hukum di syariat Islam dan generasi pertama Islam. Menyamakan hal-hal di atas dengan Maulid, atau menyamakan Maulid dengannya adalah kesalahan besar dan kedunguan Maliki, kalau tidak dikatakan kebodohan dan kesesatannya.

Jika Maliki bersikukuh menyatakan bahwa para ulama ter-hormat itu bermaksud membolehkan pembuatan bid’ah, dengan cara membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah qabihah (jelek). Maka, kami tidak sepakat dengan pendapatnya, sebab ulama di atas figur hebat dalam mengikuti dan meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, berdiri di batasan yang telah beliau tentukan, dan tidak menerjang batasan tersebut. Kedudukan mulia mereka tidak dapat ditandingi, kecuali oleh generasi sahabat dan tabi’in.

Misalnya kita sepakat dengan Maliki di persepsinya yang jelek tentang ulama terhormat di atas, maka semua orang itu ucapannya boleh diterima dan ditolak, kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Ta’ala berfirman, “Apa yang diberikan Rasul kepada kalian maka terimalah dan apa yang dilarangnya pada kalian maka tinggalkan.” (Al-Hasyr: 7).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ÝóÅöäóø ÎóíúÑó ÇáúÍóÏöíúËö ßöÊóÇÈõ Çááåö æóÎúíóÑó ÇáúåóÏúíö åóÏúíõ ãõÍóãóøÏò Õóáóøì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáóøãó æóÔóÑóø ÇúáÃõãõæúÑö ãõÍúÏóËóÇÊõåóÇ æóßõáóø ÈöÏúÚóÉò ÖóáÇóáóÉñ.


“Sesungguhnya sebaik-baik ucapan ialah Al-Qur’an, sebaik-baik petunjuk petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, seburuk-buruk perkara adalah hal-hal baru, dan setiap bid’ah itu sesat.”

Beliau bersabda,

ÝóÚóáóíúßõãú ÈöÓõäóøÊöíú æóÓõäóøÉö ÇáúÎõáóÝóÇÁö ÇáÑóøÇÔöÏöíúäó ÇáúãóåúÏöíöøíúäó ãöäú ÈóÚúÏöíú¡ ÚóÖõøæúÇ ÚóáóíúåóÇ ÈöÇáäóøæóÇÌöÐö¡ æóÅöíóøÇßõãú æóãõÍúÏóËóÇÊö ÇúáÃõãõæúÑö¡ ÝóÅöäóø ßõáóø ÈöÏúÚóÉò ÖóáÇóáóÉñ.


“Karena itu, hendaklah kalian berpegang teguh pada Sunnahku dan Sunnah khulafaur rasyidin yang mendapatkan petunjuk sepeninggalku. Pegang Sunnah tersebut kuat-kuat. Tinggalkan hal-hal baru yang diada-adakan, karena bid’ah itu sesat.” (Diriwayatkan An-Nasai dan At-Tirmidzi).

Beliau bersabda,

ãóäú ÃóÍúÏóËó Ýöíú ÃóãúÑöäóÇ åóÐóÇ ãóÇ áóíúÓó ãöäúåõ Ýóåõæó ÑóÏñø.


“Barangsiapa membuat hal-hal baru di urusan (agama) kami, padahal tidak termasuk bagiannya, maka tertolak.” (Diriwayatkan Al-Bukhari).

Ini semua sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Ta’ala memerintahkan kita mengambil, menerima, dan mengamalkan sabda-sabda di atas. Kata hadits-hadits tersebut jelas, dan gamblang dengan bahasa umum, dan pembatasan. Tidak ada pengkhususan, atau pembatasan, dan pengecualian di dalamnya. Demi Tuhammu, wahai Maliki, bolehkah kita meninggalkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berikut perintah, larangan, dan peringatan beliau, lalu kita berdalil dengan berkata, si Fulan dan si Fulan berkata?

Mana kecintaan Anda kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? Mana keindahan hubungan Anda dengan beliau, kegembiraan Anda dengan sirah dan akhlak beliau? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang segala bid’ah dan hal-hal baru dalam agama dengan bahasa umum, pembatasan, dan pengkhususan. Namun, Anda mengatakan si Fulan dan si Fulan berkata bid’ah terbagi menjadi dua; bid’ah mubah dan bid’ah haram, atau bid’ah bagus dan bid’ah jelek, atau bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma mengecam keras orang yang menganggap ucapan Abu Bakar dan Umar radhiallahu ‘anhuma bahwa haji ifrad lebih utama. Sedang Ibnu Abbas berpendapat haji tamattu’ hukumnya wajib, berdasarkan hadits Suraqah bin Malik. Di hadits tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan para sahabat menjadikan haji mereka sebagai umrah, bertahallul usai thawaf, dan sa’i antara Shafa dan Marwa. Suraqah bertanya, “Apakah ini untuk tahun ini saja atau untuk selamanya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Untuk selamanya.”

Seseorang datang kepada Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dan berkata kepadanya bahwa Abu Bakar dan Umar radhiallahu ‘anhuma tidak memandang utama haji tamattu’ dan lebih mengutamakan haji ifrad. Ibnu Abbas berkata, “Batu nyaris turun dari langit menimpa kalian. Saya mengatakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ini dan itu, namun kalian mengatakan Abu Bakar dan Umar berkata ini dan itu?”

Jika itu ucapan Ibnu Abbas tentang Abu Bakar dan Umar, bagaimana ucapannya tentang orang yang meninggalkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu lebih menerima ucapan orang yang kualitasnya lebih rendah dari keduanya? Imam Syafi’i berkata, “Jika seseorang tahu dengan jelas Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ia tidak boleh meninggalkannya karena ucapan seseorang.”

Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Aku heran pada kaum yang mengetahui sanad hadits dan keshahihannya, namun mereka mengikuti pendapat Sufyan. Padahal, Allah Ta’ala berfirman, ‘Maka berhati-hatilah orang-orang yang menentang perintah-Nya jika cobaan menimpa mereka atau mereka ditimpa siksa yang pedih.’ (An-Nur: 63). Tahukah Anda apa fitnah itu? Fitnah ialah syirik. Barangkali jika ia menolak beberapa perkataannya, lalu terjadi suatu penyimpangan di dalam hatinya, maka ia akan binasa.”

Apakah ini bentuk kecintaan Maliki pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? Dengan bahasa umum, pembatasan, dan pengkhususan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menolak bid’ah, memperingatkan, menjelaskan akibatnya, nasib yang akan dialami para pelaku dan semua orang yang mengamalkannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Setiap bid’ah itu sesat.” Sementara Maliki berkata, “Tidak semua bid’ah itu sesat.” Apakah ini yang dinamakan kebahagiaan dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam?

Pantaskah kita meninggalkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dengan bahasanya yang jelas, nash gamblang, dan arahan bijak, lalu kita berkata Imam Syafi’i berkata ini dan itu, atau Imam Nawawi berkata ini dan itu, atau Ibnul Atsir, si A, dan si B berkata ini dan itu?. Benar, batu nyaris turun dari langit, yang terbakar dari Tuhanmu, menimpa pemilik persepsi buruk ini. Batu tersebut tidak jauh dari orang-orang zhalim.

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=indexkajian&id=1§ion=kj001