Artikel : Kajian Islam - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits - ,

Pendidikan Anak Dalam Islam
oleh :

DALIL KELIMA BELAS: PEMBAHASAN DAN BANTAHANNYA

Maliki menyebutkan dalil kelima belas, dengan berkata,
“Tidak semua yang tidak dilakukan ulama salaf dan generasi pertama itu bid’ah yang mungkar, haram dilakukan, dan wajib dihindari. Apa saja yang telah terjadi harus dibawa pada dalil-dalil syar’i. Jika mengandung kemaslahatan maka wajib. Jika mengandung keharaman maka haram. Jika mengandung makruh maka makruh. Jika mengandung mubah maka mubah. Jika mengandung sunnah maka sunnah. Sarana mempunyai hukum dalam tujuan pensyariatan. Ulama membagi bid’ah menjadi lima bagian.
Bid’ah wajib, seperti membantah orang-orang sesat dan belajar Nahwu.
Bid’ah sunnah, seperti membangun pesantren dan sekolah, azan di atas mimbar, dan melakukan kebaikan yang belum pernah dikerjakan generasi pertama.
Bid’ah makruh, seperti menghias masjid dan memberi ornamen pada mushaf Al-Qur’an.
Bid’ah mubah, seperti menggunakan saringan tepung, melakukan inovasi dalam membuat makanan dan minuman.
Bid’ah haram, yakni hal baru yang bertentangan dengan sunnah, tidak mengandung dalil syar’i secara umum, dan tidak ada sisi kemaslahatannya.”

Sebenarnya, ulama tidak pernah mengabaikan semua ini. Mereka mengadakan penelitian dan membuktikannya, hingga nampak apa yang termasuk bid’ah dan apa yang bukan termasuk bid’ah. Pada bab Kata Pengantar, kami sebutkan bahwa kami ingin membahas dan membantah dalil-dalil Maliki. Kami juga telah mengemukakan nash-nash yang ditulis ulama dan para pakar, semisal Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, As-Syathibi, Al-Izz bin Abdus Salam, Ibnu Rajab, dan ulama lainnya yang tidak perlu disebutkan lagi.

Mereka semua bicara tentang bid’ah dan perkara-perkara baru dalam agama. Juga mematahkan pendapat yang membagi bid’ah ke dalam hasan (baik) dan qabih (jelek). Mereka menyebutkan bahwa hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menolak dan melarang bid’ah itu global, universal, dan tidak memungkinkan adanya pembagian bid’ah menjadi hasan (baik) yang disyariatkan. Karena pembagian bid’ah itu rancu, salah, dan jauh dari spirit pensyariatan. Justru, bid’ah itu menuduh agama tidak sempurna dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak serius menyampaikan risalah, dan mengguncang keimanan kepada esensi firman Allah, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian dan telah Aku sempurnakan ni’mat-Ku untuk kalian dan Aku ridhai Islam sebagai agama bagi kalian.” (Al-Maidah: 3).

Setiap perkara baru harus diuji dengan dalil syar’i. Jika mengandung kemaslahatan dan didukung dalil syar’i, seperti membantah para pendukung kesesatan dan bid’ah, memperhatikan apa saja yang menjaga Al-Qur’an, baik dengan pengkodifikasian, distribusi, penyusunan ilmu Al-Qur’an, bahasa, hadits, dan hal-hal lain yang didukung kaidah-kaidah umum syariah Islam, maka tidak tergolong bid’ah, kita tidak mengatakan salafus shalih belum pernah mengerjakannya, tapi terjadi sepeninggal mereka. Hal-hal baru seperti itu perlu dilihat hasil akhirnya. Jika diteliti lebih jauh, ternyata berasal dari salafus shalih. Al-Qur’an ada di dada mereka. Mereka pakar bahasa, karena itu, mereka tidak perlu lagi pada ilmu bahasa. Yang terjadi kemudian ialah lidah anak cucu mereka tidak lancar berbahasa Arab, sebab berinteraksi dengan orang-orang asing. Oleh karena itu, Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu menghimbau diadakan pengajian Nahwu untuk menjaga bahasa Arab. Setelah itu, disusul munculnya ilmu-ilmu lain, seperti ilmu Al-Qur’an dan ilmu bahasa untuk membantu penguasaan Al-Qur’an; menghapal, mempelajari, dan mengajarkannya. Salafus shalih menyanggah para pendukung hawa nafsu dan kesesatan. Sebagai contoh, Aisyah radhiallahu ‘anha membantah kelompok Haruriyyah (sebuah kelompok kaum Khawarij yang menisbatkan diri ke wilayah Haraura’ dekat Kufah) dan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu membantah para ekstrim Syi’ah. Landasan hukum sikap mereka dalam hal ini ialah larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada umat agar tidak menjadi para penyeru kejahatan dan kesesatan; kelompok Khawarij dan lainnya. Beliau berjanji jika menjumpai mereka, beliau akan memerangi mereka. Kita tidak mengatakan mewakafkan pesantren termasuk perbuatan salafus shalih. Tahukah Maliki tentang peristiwa Shuffah dan para penghuninya? Shuffah ialah semacam pesantren untuk orang-orang fakir dari kalangan sahabat dan itu landasan hukum pemberian wakaf berupa pesantren kepada orang-orang fakir. Kita juga tidak setuju kalau sekolah dikatakan bid’ah. Tahukah Maliki tentang Darul Arqam, madrasah pertama dalam Islam? Darul Arqam merupakan landasan hukum berdirinya sekolah tempat anak-anak Islam belajar tentang masalah agama dan dunia mereka. Sedang azan di mimbar, maka bukan rahasia umum bahwa azan disyariatkan sebagai pemberitahuan datangnya waktu shalat dan kaum Muslimin generasi pertama mengumandangkan azan dari atap masjid dan rumah, dengan harapan suara mereka mencapai sasaran luas. Jika ada langkah inovasi untuk memberitahukan datangnya waktu shalat, maka itu disyariatkan. Jadi, semua sarana untuk memberitahukan datangnya waktu shalat merupakan tuntutan syariat Islam dan bukan bid’ah karena ada dasar hukumnya di syariat.

Adapun menghias masjid dan mushaf Al-Qur’an, alhamdulillah, Maliki mengakuinya makruh, padahal banyak sekali sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang melarang hal itu. Sementara hal-hal mubah yang tidak dimaksudkan untuk beribadah, maka termasuk yang disinggung sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Kalian lebih tahu urusan dunia kalian.” Jadi, hasil-hasil temuan manusia di urusan dunia dan tidak bertentangan dengan nash-nash umum untuk menjaga kelangsungan hidup dan hal-hal mubah secara umum, itu bukan bid’ah. Ulama mendefinisikan bid’ah adalah cara baru dalam agama.

Maliki menyebutkan pendapat sebagian ulama yang membagi bid’ah ke dalam lima jenis; wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram, lengkap dengan contoh-contohnya. Pembahasan pembagian bid’ah berikut contoh-contohnya sudah saya lakukan. Tinggal jenis bid’ah kelima, yaitu bid’ah haram, karena bertentangan dengan sunnah, tidak membawa kemaslahatan syar’i, dan tidak pernah disinggung-singgung dalil-dalil umum syariah. Saya katakan, jenis bid’ah kelima ini tidak lain adalah bid’ah yang dimaksud, sedangkan perayaan Maulid termasuk bid’ah haram karena bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sunnah menurut istilah ulama ialah semua ucapan, perbuatan, dan ketetapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Selain itu semua adalah perbuatan yang tidak diperintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan bid’ah dalam agama. Maliki mengakui perayaan Maulid itu bid’ah, tidak pernah dikerjakan pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, masa para sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in, dari generasi awal Islam. Perayaan Maulid dalam kapasitasnya sebagai bid’ah dan niat beribadah dengannya adalah bid’ah. Termasuk perbuatan yang mengandung kemungkaran di dalamnya, seperti campur aduk antara laki-laki perempuan, pementasan musik, pemborosan makanan dan minuman, pembodohan akal sehat dengan cara memaksanya mempercayai khayalan, ilusi, khurafat tentang kehadiran ruh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, keharusan memberi pengagungan dan penghormatan dengan cara berdiri, perasaan takut dan khusyu’ seiring dengan dugaan kehadiran beliau, segala kemungkaran seperti ini telah kami sebutkan dan diketahui Maliki dan kubunya, itu tidak hanya tidak berdasarkan dalil syar’i atau tidak mengandung kemaslahatan, tapi, bertentangan dengan syariat Islam, membahayakan syariat, bid’ah, kemungkaran, syirik yang menjadikan makhluk sebagai rival Khaliq dalam hal kepemilikan kunci-kunci langit dan bumi, menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menduduki kedudukan Tuhan, yang di antara kebaikannya adalah dunia dan seisinya, di antara ilmunya ialah ilmu tentang Lauhul Mahfudz dan pena, semua makhluk diciptakan demi beliau, malam kelahiran beliau lebih baik dari Lailatul Qadar, kuburan beliau lebih baik dari Ka’bah, lain-lain yang dipersembahkan dan dibaca pada acara Maulid.

Bisakah Maliki beserta kubunya, pimpinannya, syaikhnya, dan siapa saja yang mengikuti jejak langkahnya menemukan perayaan Maulid di pembagian bid’ah ke dalam lima jenis? Apakah mereka dapat menempatkan Maulid di selain bid’ah haram, karena bertentangan dengan sunnah, tidak ada dalil syar’i yang mesnyariatkannya, dan tidak ada manfaat umumnya? Jika saja mereka menggunakan akal dan menjauhkan diri dari hawa nafsu sejauh-jauhnya, mungkin mereka menerima kita. Namun, jika mereka tetap pada pendirian mereka, mereka pasti mengatakan sesuatu yang aneh bin ajaib. Buih itu akan pergi sia-sia dan kebatilan pasti kalah.

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=indexkajian&id=1§ion=kj001