Artikel : Kajian Islam - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits - ,

Pendidikan Anak Dalam Islam
oleh :

DALIL KETIGA BELAS: PEMBAHASAN DAN BANTAHANNYA

Maliki menyebutkan dalil ketiga belas, dengan mengatakan,
“Perayaan Maulid adalah pertemuan untuk dzikir, bersedekah, memuji dan mengagungkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Perayaan Maulid hukumnya sunnah dan acara-acara di dalamnya seperti itu perintah syar’i, terpuji, didukung hadits-hadits shahih, dan dianjurkan.”

Kita punya beberapa catatan untuk Maliki terkait dengan argumennya di atas.

Catatan Pertama:

Maliki menyatakan perayaan Maulid adalah pertemuan untuk berdzikir, bersedekah, dan lain sebagainya. Kita katakan kepadanya, betul perayaan Maulid berisi hal-hal seperti itu, namun pertemuan tersebut sarat dengan kemungkaran-kemungkaran. Misalnya, pertemuan bebas antara kaum laki-laki dengan kaum wanita dan pementasan musik dengan aneka ragam alat-alatnya. Jika perayaan-perayaan Maulid Maliki bersih dari kemungkaran seperti ia nyatakan di bukunya, maka perayaan-perayaan Maulid-nya, seperti ia akui, mendidik akal untuk mempercayai ilusi, takhayul batil, dan keyakinan murahan. Sebab, orang-orang yang menghadiri perayaan Maulidnya meyakini kehadiran ruh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan mendukung perayaan Maulid. Tidak berlebihan jika dikatakan perayaan Maulid tidak lain pelecehan terhadap akal, penyebaran keyakinan picisan, sarat dengan kemungkaran seperti campur baur antara kaum laki-laki dengan kaum wanita, pagelaran musik, sajian makanan dan minuman secara berlebihan, ajang pemborosan dana, dan hal-hal lain yang diketahui sendiri Maliki beserta kelompoknya di dalam dan luar negeri. Apakah pertemuan seperti itu acaranya dan kondisinya yang tidak etis itu perintah syar’i? Mahasuci Allah, ini kebohongan besar. Jika perayaan Maulid, seperti diakui Maliki, adalah pertemuan untuk berdzikir, bersedekah, memuji dan mengagungkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka dzikir dimaksud ialah pembacaan buku-buku tentang Maulid, bukti-bukti kebaikan, dan ajakan-ajakan kepada syirik, bid’ah, memuji kepribadian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam secara berlebihan hingga mengangkat posisi beliau ke posisi rububiyah dan uluhiyah. Sedekah dimaksud ialah menghidangkan makanan dan minuman kepada para hadirin tanpa terkecuali, baik orang baik-baik, orang jahat, orang kaya, atau orang miskin. Seperti diketahui orang-orang ahli perayaan Maulid, biasanya di perayaan Maulid dilakukan penggalangan dana. Para hadirin datang dengan jiwa yang terpengaruh upaya penyesatan lalu memberi bantuan yang sebenarnya melebihi kebutuhan perayaan Maulid, lantas dana tersebut diambil petugas dan seterusnya diberikan kepada Maliki dan kelompoknya, para pemimpin perayaan Maulid. Sedang yang dimaksud dengan pujian dan sanjungan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ialah pembacaan syair atau bisa jadi baju gamis Utsman.

Pada perayaan-perayaan Maulid dilakukan pembacaan syair-syair Al-Bushairi dan pujian-pujian lain yang menempatkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ke posisi rububiyah dan uluhiyah. Seperti syair,

“Hai orang paling mulia, aku tidak punya tempat berlindung
Selain kepadamu saat terjadi musibah
Jika pada hari kiamat, engkau tidak memegang tanganku sebagai bentuk kemuliaan
Maka katakan, hai orang yang celaka
Di antara bukti kedermawananmu ialah dunia dan seisinya
Dan di antara pengetahuanmu ialah pengetahuanmu tentang Lauh Mahfuzh dan pena.”

Contoh lain, perkataan Al-Bakri,

“Berlindunglah kepada beliau di apa saja yang engkau harapkan
Karena beliau tempat aman dan tempat berlindung
Serulah beliau sesungguhnya krisis telah meningkat
Dan kondisi kritis semakin membesar
Hai orang paling mulia di sisi Tuhannya
Dan orang paling baik dijadikan sarana berdoa
Aku menderita sakit
Engkau seringkali menghilangkan petaka
Dan sebagiannya hilang sendiri
Hilangkan penyakitku dengan segera
Jika tidak, kepada siapa aku meminta?”

Dan pujian-pujian lain kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang berlebihan, melewati batas kewajaran, bertentangan dengan perintah dan keinginan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau ingin umat mengetahui posisi ideal beliau, lalu tidak memuji beliau secara berlebihan dan mengangkat beliau ke posisi Tuhan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

áÇó ÊõØúÑõæúäöíú ßóãóÇ ÃóØúÑóÊö ÇáäóøÕóÇÑóì ÇÈúäó ãóÑúíóãó ÅöäóøãóÇ ÃóäóÇ ÚóÈúÏñ ÝóÞõæúáõæúÇ ÚóÈúÏõ Çááåö æóÑóÓõæúáõåõ.


“Janganlah kalian memujiku secara berlebihan, seperti halnya orang-orang Nasrani yang memuji Isa bin Maryam secara berlebihan. Aku hanyalah seorang hamba. Karena itu, katakan (tentang aku), ‘Hamba Allah dan Rasul-Nya.”

Apakah menyalahi perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mengerjakan perbuatan-perbuatan yang membuat beliau marah, dan memuji beliau secara berlebihan padahal beliau tidak meridhainya, itu termasuk sunnah dan perintah syar’i? Ataukah malah dilarang dan bentuk penyimpangan dari jalan lurus?

Catatan Kedua:

Maliki mengatakan perayaan Maulid didukung hadits-hadits shahih, dan dianjurkan. Kita katakan kepada Maliki, jika tujuan Anda dzikir kepada Allah Ta’ala, membicarakan nikmat-Nya, amar ma’ruf nahi munkar, bersedekah kepada orang-orang berhak disedekahi, memuji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menyanjung beliau dengan sanjungan yang tidak mengeluarkan beliau dari posisi yang diberikan Allah kepada beliau, maka benar, jujur, dan adil. Hanya saja, itu tidak dilakukan pada satu malam dalam setahun, tapi pada seluruh malam seperti diperintahkan Allah di Al-Qur’an atau melalui lisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Itu semua diperintahkan syariat kepada kita di setiap waktu, tempat, dan setiap orang. Ada hadits-hadits shahih yang mensyariatkan dan menganjurkannya. Ini bukan berarti kita membenarkan dalil Maliki. Di catatan pertama, saya sudah jelaskan bahwa dzikir, sedekah, dan pujian-pujian kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang diadakan di perayaan Maulid tidak diperintahkan syariat, karena campur aduk dengan kemungkaran, syirik, dan melecehkan akal. Semua itu dilarang syariat, membuat Allah dan Rasul-Nya murka, bertentangan dengan konsekwensi syahadat Laa Ilaaha Illallah dan syahadat Muhammad Rasulullah, serta mengondisikan akal untuk menerima ilusi dan khayal. Apakah akal Maliki sudah tidak normal hingga tidak mampu lagi membedakan hal-hal yang bertentangan? Ataukah hawa nafsunya membuatnya buta dan tuli? Semoga Allah merahmatimu, wahai Asy-Syathibi, bahwa orang-orang pecinta bid’ah itu tidak berani berdebat dan menghadapi hujjah dengan hujjah, karena mereka mengosongkan akal mereka dari dalil syar’i. Dan, Maliki dan kelompoknya termasuk orang-orang yang Anda maksud.

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=indexkajian&id=1§ion=kj001