Artikel : Kajian Islam - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits - ,

Pendidikan Anak Dalam Islam
oleh :

DALIL KEEMPAT: PEMBAHASAN DAN BANTAHANNYA

Maliki, menyebutkan dalil keempat, dengan berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memantau korelasi jaman dengan kejadian-kejadian terbesar keagamaan yang telah terjadi. Jika jaman terjadinya kejadian tersebut tiba, itu kesempatan emas untuk ingat kejadian tersebut dan mengagungkannya, serta ingat jamannya sebab kejadian agama terjadi saat itu.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menetapkan prinsip ini, seperti ditegaskan di hadits bahwa ketika beliau tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura’. Beliau bertanya tentang latar belakang puasa Asyura’, lalu diberi penjelasan, ‘Orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura’, karena pada hari itu, Allah menyelamatkan nabi mereka dan menenggelamkan musuh mereka. Mereka berpuasa sebagai bentuk syukur kepada Allah atas nikmat ini.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Kami lebih layak meniru Musa daripada kalian.’ Lalu, beliau berpuasa pada hari Asyura’ dan menyuruh umat berpuasa.”

Saya pikir jika Alawi Al-Maliki menjauhkan sejauh-jauhnya dominasi hawa nafsu, ia pasti tahu kesimpulannya itu kacau dan malu sendiri mengetengahkan dalil disyariatkannya perayaan Maulid seperti ia klaim. Semua orang Islam tahu disyariatkannya puasa Asyura’, sehari sebelum dan sesudahnya, sebagai hal sunnah, karena mengamalkan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan refleksi syukur kepada Allah atas nikmat kebenaran didukung dan kebatilan dimusnahkan. Tidak ada seorang pun ulama yang mumpuni, mulia, bertakwa, shalih, dan meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan jujur, menganggap arahan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk puasa hari Asyura’ sebagai fondasi hukum penyelenggaraan perayaan Maulid dan mengadakan perayaan-perayaan keagamaan lain, agar jaman dengan peristiwanya sinkron, seperti dikatakan Maliki. Hari-hari besar agama pun diperingati dan kaum Muslimin sibuk merayakan peringatan-peringatan, seperti Maulid, Isra’ dan Mi’raj, hijrah, hari-hari peperangan, dan hal-hal yang dirayakan Al-Maliki, para pengikutnya, dan para gurunya dalam bid’ah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam punya kemampuan bahasa luar biasa, mampu mengucapkan kata-kata komprehensif, menyampaikan risalah dengan serius, dan mengarahkan umat kepada semua kebaikan. Beliau sanggup menetapkan kaidah berisi anjuran kepada umat agar mereka memperhatikan korelasi jaman dengan peristiwa-peristiwa keagamaan, agar diperingati dan disakralkan. Beliau mampu membuat kaidah ini bercabang menjadi beberapa cabang praktis berisi penjelasan teori dan aplikasinya dengan gamblang, serta ideal. Tapi, beliau tidak mensyariatkan itu semua untuk umat, demi menyempurnakan penyampaian risalah, penunaian amanah, dan menasihati umat. Bertitik tolak dari point ini, maka perintah beliau kepada umat agar berpuasa pada hari Asyura’ sebagai tanda syukur kepada Allah yang menyelamatkan Nabi Musa bukan berarti perintah menjadikan hari itu sebagai hari raya dan mengadakan perayaan Maulid. Itu hanyalah ungkapan syukur kepada Allah, sesuai dengan syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

ãóäú ÃóÍúÏóËó Ýöíú ÃóãúÑöäóÇ åóÐóÇ ãóÇ áóíúÓó ãöäúåõ Ýóåõæó ÑóÏñø.


“Barangsiapa membuat hal-hal baru dalam urusan (agama) kami dan tidak termasuk (agama) kami, maka tertolak.”

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=indexkajian&id=1§ion=kj001