Artikel : Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits
Makna Berpuasa Karena Iman dan Mengharap Pahala
Selasa, 28 Maret 23

**

Soal :

Penanya mengatakan,

“Apa makna hadis yang mulia berikut ini


ãóäú ÕóÇãó ÑóãóÖóÇäó ÅöíãóÇäðÇ æóÇÍúÊöÓóÇÈðÇ ÛõÝöÑó áóåõ ãóÇ ÊóÞóÏøóãó ãöäú ÐóäúÈöåö æóãóÇ ÊóÃóÎøóÑó


‘Barang siapa berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala niscaya dosanya yang telah lalu dan yang akan datang diampuni.’

Apakah makna ini bahwa puasa itu cukup tanpa seluruh ibadah-ibadah yang lainnya ?

Lalu, bila mana ada orang yang berpuasa, sementara ia tidak mengerjakan shalat, akan tetapi orang tersebut menunaikan ibadah-ibadah yang lainnya, apakah ini masuk dalam cakupan hadis ini ?

Jawab :

Syaikh –ÑóÍöãóåõ Çááåõ ÊóÚóÇáóì-menjawab,

“Sang penanya menyebutkan di dalam hadis ini,


ÛõÝöÑó áóåõ ãóÇ ÊóÞóÏøóãó ãöäú ÐóäúÈöåö æóãóÇ ÊóÃóÎøóÑó


niscaya dosanya yang telah lalu dan yang akan datang diampuni.

Akan tetapi tambahan, yaitu perkataannya ‘æóãóÇ ÊóÃóÎøóÑó’ dan yang akan datang, tidak benar. Yang valid adalah sabda beliau-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó-,


ãóäú ÕóÇãó ÑóãóÖóÇäó ÅöíãóÇäðÇ æóÇÍúÊöÓóÇÈðÇ ÛõÝöÑó áóåõ ãóÇ ÊóÞóÏøóãó ãöäú ÐóäúÈöåö


‘Barang siapa berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala niscaya dosanya yang telah lalu diampuni.’

Makna sabda beliau ‘ÅöíãóÇäðÇ æóÇÍúÊöÓóÇÈðÇ’ (karena iman dan mengharapkan pahala), yakni, iman kepada Allah-ÚóÒøó æóÌóáøó-dan membenarkan berita-Nya. Adapun makna, ‘æóÇÍúÊöÓóÇÈðÇ’ (dan mengharapkan pahala), yakni, mencari pahala dan ganjaran yang akan didapatkan dengan seseorang berpuasa Ramadhan.

Adapun sabda beliau,


ÛõÝöÑó áóåõ ãóÇ ÊóÞóÏøóãó ãöäú ÐóäúÈöåö


niscaya dosanya yang telah lalu diampuni.’

Yang dimaksud adalah dosa-dosa kecil yang telah lalu, dan bukan dosa-dosa besarnya. Ini adalah pendapat Jumhur tentang semisal hadis ini. Hadis ini dibawa pemahamannya kepada sabda Nabi-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó-,


« ÇáÕøóáóæóÇÊõ ÇáúÎóãúÓõ æóÇáúÌõãõÚóÉõ Åöáóì ÇáúÌõãõÚóÉö æóÑóãóÖóÇäõ Åöáóì ÑóãóÖóÇäó ãõßóÝøöÑóÇÊñ ãóÇ Èóíúäóåõäøó ÅöÐóÇ ÇÌúÊóäóÈó ÇáúßóÈóÇÆöÑó »


Shalat lima waktu ke shalat lima waktu berikutnya, Jum’at ke Jum’at berikutnya, Ramadhan ke Ramadhan berikutnya, merupakan penebus kesalahan yang terjadi pada rentang waktu-waktu tersebut, apabila seseorang menjauhi dosa-dosa besar. (HR. Muslim)

Atas dasar ini, hadis di atas tidak ada petunjuk yang menunjukkan akan diampuninya dosa-dosa besar (dengan berpuasa Ramadhan).

Namun, sebagian ulama ada yang berpendapat dengan keumumannya, dan mengatakan, ‘sesungguhnya semua dosa diampuni, akan tetapi dengan syarat dosa-dosa tersebut tidak sampai kepada kekafiran. Jika dosa-dosa tersebut sampai kepada kekafiran, maka pelakunya harus bertaubat dan kembali kepada Islam.

Dan dengan ini, akan menjadi jelas jawaban terhadap sisi kedua di dalam pertanyaan ini, yaitu, apakah hadis ini mencukupi sisa ibadah-ibadah yang lainnya, di mana seseorang bila berpuasa sedangkan ia tidak mengerjakan shalat, niscaya dosanya akan diampuni ?

Maka, sebagai penyempurna jawaban, kita katakan, ‘sesungguhnya orang yang tidak mengerjakan shalat, niscaya tidak akan diterima darinya puasanya, zakatnya dan hajinya. Tidak akan diterima pula ibadah-ibadahnya yang lainnya. Karena, orang yang tidak shalat, ia kafir, dan orang kafir itu tidak diterima ibadahnya. Hal ini berdasarkan firman Allah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì -,


æóãóÇ ãóäóÚóåõãú Ãóäú ÊõÞúÈóáó ãöäúåõãú äóÝóÞóÇÊõåõãú ÅöáøóÇ Ãóäøóåõãú ßóÝóÑõæÇ ÈöÇááøóåö æóÈöÑóÓõæáöåö æóáóÇ íóÃúÊõæäó ÇáÕøóáóÇÉó ÅöáøóÇ æóåõãú ßõÓóÇáóì æóáóÇ íõäúÝöÞõæäó ÅöáøóÇ æóåõãú ßóÇÑöåõæäó [ÇáÊæÈÉ : 54]


Tidak ada yang menghalangi infak mereka untuk diterima kecuali karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang kufur kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka tidak melaksanakan salat, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menginfakkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan (terpaksa) (at-Taubah : 54)

Para ulama telah sepakat bahwa termasuk syarat sahnya ibadah adalah bahwa pelakunya seorang muslim. Maka, apabila orang tersebut berpuasa namun ia tidak mengerjakan shalat, maka sesungguhnya puasanya tidak akan bermanfaat baginya. Seperti halnya, kalau seseorang dari kalangan Yahudi atau Nasrani berpuasa, niscaya puasanya tersebut tidak akan memberikan manfaat kepadanya. Bahkan, sesungguhnya keadaan orang yang murtad itu lebih buruk daripada keadaan orang kafir asli. Karena itu, kita katakan kepada orang yang berpuasa namun tidak shalat ini, ‘Shalatlah terlebih dahulu, barulah berpuasa.’

Dalam program siaran ini (yakni, fatawa Nur ‘Ala ad-Darb-pen) telah kita jelaskan berulang kali tentang beberapa dalil yang menunjukkan kufurnya orang yang meninggalkan shalat. Baik dalil tersebut dari kitab Allah (al-Qur’an), sunnah Rasulullah, perkataan para sahabat maupun akal sehat. Namun tidak mengapa hal tersebut diulang kembali mengingat pentingnya hal tersebut.

Maka, kita katakan :

Kitab Allah (al-Qur’an), sunnah Rasul-Nya, dan perkataan para sahabat telah menunjukkan akan kafurnya orang yang meninggalkan shalat sebagai kekufuran yang besar yang mengeluarkan seseorang dari agama.

Di antara dalil al-Qur’an adalah firman Allah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì-tentang orang-orang musyrik,


ÝóÅöäú ÊóÇÈõæÇ æóÃóÞóÇãõæÇ ÇáÕøóáóÇÉó æóÂÊóæõÇ ÇáÒøóßóÇÉó ÝóÅöÎúæóÇäõßõãú Ýöí ÇáÏøöíäö æóäõÝóÕøöáõ ÇáúÂíóÇÊö áöÞóæúãò íóÚúáóãõæäó [ÇáÊæÈÉ : 11]


Jika mereka bertobat, menegakkan salat, dan menunaikan zakat, mereka adalah saudara-saudaramu seagama. Kami menjelaskan secara terperinci ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui. (at-Taubah : 11)

Sesungguhnya Allah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì-menjadikan tetapnya persaudaraan mereka seagama bagi kita tiga syarat,

Syarat pertama, Mereka bertaubat dari kesyirikan. Maka, jika mereka tetap di atas kesyirikan, maka mereka bukan saudara seagama dengan kita.

Syarat kedua, Mengerjakan shalat. Maka, jika mereka tidak mengerjakan shalat, maka mereka bukan saudara seagama bagi kita. Dan, ini juga jelas dalam ayat ini. Hal ini dikuatkan juga oleh nash-nash lainnya, di antaranya adalah firman-Nya,


ÝóÎóáóÝó ãöäú ÈóÚúÏöåöãú ÎóáúÝñ ÃóÖóÇÚõæÇ ÇáÕøóáóÇÉó æóÇÊøóÈóÚõæÇ ÇáÔøóåóæóÇÊö ÝóÓóæúÝó íóáúÞóæúäó ÛóíøðÇ (59) ÅöáøóÇ ãóäú ÊóÇÈó æóÂãóäó æóÚóãöáó ÕóÇáöÍðÇ ÝóÃõæáóÆößó íóÏúÎõáõæäó ÇáúÌóäøóÉó æóáóÇ íõÙúáóãõæäó ÔóíúÆðÇ (60) [ãÑíã : 59 ¡ 60]


Kemudian, datanglah setelah mereka (generasi) pengganti yang mengabaikan shalat dan mengikuti hawa nafsu. Mereka kelak akan tersesat.

Kecuali orang yang bertobat, beriman, dan beramal saleh, mereka akan masuk surga dan tidak dizalimi sedikit pun. (Maryam : 59-60)

Karena firman-Nya, ÅöáøóÇ ãóäú ÊóÇÈó æóÂãóäó Kecuali orang yang bertobat, beriman, menunjukan bahwa mereka selagi dalam keadaan menyia-nyiakan shalat, mereka bukanlah orang-orang yang beriman.

Syarat ketiga, Menunaikan zakat. Maka, jika mereka tidak menunaikan zakat maka mereka bukanlah suadara kita seagama.

Dan termasuk dalil yang menunjukkan kafirnya orang yang meninggalkan shalat adalah sabda Nabi-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó-,


« Åöäøó Èóíúäó ÇáÑøóÌõáö æóÈóíúäó ÇáÔøöÑúßö æóÇáúßõÝúÑö ÊóÑúßó ÇáÕøóáÇóÉö »


Pembatas antara seseorag muslim dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat. (HR. Muslim)

Kata æóÇáúßõÝúÑö tersematkan padanya " Çá " yang menunjukkan kepada hakikat (sebenarnya), tidak ada melainkan kekufuran yang mengeluarkan (seseorang) dari agama. Dan dengan ini menjadi jelas perbedaan antara lafazh ini dan sabda Nabi-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó-


« ÇËúäóÊóÇäö Ýöì ÇáäøóÇÓö åõãóÇ Èöåöãú ßõÝúÑñ ÇáØøóÚúäõ Ýöì ÇáäøóÓóÈö æóÇáäøöíóÇÍóÉõ Úóáóì ÇáúãóíøöÊö »


“Dua perkara yang termasuk kekufuran adalah mencela nasab (keturunan) dan meratapi mayit.” (HR. Muslim)

Karena beliau bersabda, åõãóÇ Èöåöãú ßõÝúÑñ yakni, termasuk kekufuran, kata tersebut tidak tersematkan padanya " Çá " . Maka, tidak menunjukkan kepada kufur secara hakiki yang mengeluarkan dari Islam. Namun hanya menunjukkan bahwa dua hal yang disebutkan nabi ini termasuk kekufuran. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah telah mengisyaratkan kepada makna ini di dalam kitabnya ‘Iqtidha ash-Shirath al-Mustaqim Mukhalafati Ash-habi al-Jahim’

Termasuk pula dalil yang menunjukkan akan kufurnya orang yang meninggalkan shalat adalah sabda Nabi-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó- ,


ÇáúÚóåúÏõ ÇáøóÐöì ÈóíúäóäóÇ æóÈóíúäóåõãõ ÇáÕøóáÇóÉõ Ýóãóäú ÊóÑóßóåóÇ ÝóÞóÏú ßóÝóÑó


“Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.”

Dalil-dalil dari kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya berkonsekwensi bahwa orang yang tidak mengerjakan shalat, maka dia kafir dengan kekafiran yang mengeluarkan dari agama.
Adapun firman-Nya,


æóÂÊóæõÇ ÇáÒøóßóÇÉó


dan menunaikan zakat

sesungguhnya petunjuknya yang menunjukan bahwa orang yang tidak menunaikan zakat, bukanlah saudara kita seagama adalah dari jalan pemahaman, akan tetapi pemahaman ini bertolak belakang dengan apa yang dinashkan dengan jelas bahwa orang yang meninggalkan zakat, orang yang enggan memberikannya kepada yang berhak menerimanya, tidaklah keluar dari Islam.

Di dalam shahih Muslim dari hadis Abu Hurairah disebutkan bahwa Nabi-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó-bersabda,


« ãóÇ ãöäú ÕóÇÍöÈö ÐóåóÈò æóáÇó ÝöÖøóÉò áÇó íõÄóÏøöì ãöäúåóÇ ÍóÞøóåóÇ ÅöáÇøó ÅöÐóÇ ßóÇäó íóæúãõ ÇáúÞöíóÇãóÉö ÕõÝøöÍóÊú áóåõ ÕóÝóÇÆöÍó ãöäú äóÇÑò ÝóÃõÍúãöìó ÚóáóíúåóÇ Ýöì äóÇÑö Ìóåóäøóãó Ýóíõßúæóì ÈöåóÇ ÌóäúÈõåõ æóÌóÈöíäõåõ æóÙóåúÑõåõ ßõáøóãóÇ ÈóÑóÏóÊú ÃõÚöíÏóÊú áóåõ Ýöì íóæúãò ßóÇäó ãöÞúÏóÇÑõåõ ÎóãúÓöíäó ÃóáúÝó ÓóäóÉò ÍóÊøóì íõÞúÖóì Èóíúäó ÇáúÚöÈóÇÏö ÝóíõÑóì ÓóÈöíáõåõ ÅöãøóÇ Åöáóì ÇáúÌóäøóÉö æóÅöãøóÇ Åöáóì ÇáäøóÇÑö »


“Siapa saja yang memiliki emas dan perak lalu tidak dikeluarkan zakatnya maka pada hari Kiamat nanti akan dibentangkan baginya lempengan dari api lalu dipanaskan dalam neraka kemudian dahi-dahi mereka, lambung dan punggung mereka dibakar dengannya. Setiap kali lempengan itu menjadi dingin, kembali dipanaskan. Demikianlah berlaku setiap hari yang panjangnya setara dengan lima puluh ribu tahun di dunia. Hingga diputuskan ketentuan bagi masing-masing hamba apakah ke surga ataukah ke neraka.”(HR. Muslim)

Sabda beliau,


ÝóíõÑóì ÓóÈöíáõåõ ÅöãøóÇ Åöáóì ÇáúÌóäøóÉö æóÅöãøóÇ Åöáóì ÇáäøóÇÑö


Hingga diputuskan ketentuan bagi masing-masing hamba apakah ke surga ataukah ke neraka, merupakan dalil bahwa orang tersebut bukan orang kafir, karena andaikan orang tersebut kafir niscaya ia tidak memiliki jalan ke Surga.

Adapun beberapa pendapat kalangan Sahabat yang menunjukkan akan kafirnya orang yang meninggalkan shalat dengan kekufuran yang mengeluarkan dari agama cukuplah banyak. Di antaranya adalah perkataan Umar-ÑóÖöíó Çááåõ Úóäúåõ-,


áóÇ ÍóÙøó Ýöí ÇúáÅöÓúáóÇãö áöãóäú ÊóÑóßó ÇáÕøóáóÇÉó


Tidak ada bagian di dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat.

Dan, sebagian kalangan ulama telah menghikayatkan adanya ijma’ para sahabat akan kafirnya orang yang meninggalkan shalat. Dan, Abdullah bin Syaqiq mengatakan, “Para sahabat Muhammad tidak memandang sesuatu pun dari amal-amal yang mana meninggalkannya merupakan kekufuran selain shalat.”

Adapun dari sisi makna yang mengharuskan kufurnya orang yang meninggalkan shalat adalah bahwa setiap orang yang tahu pentingnya shalat dan bagaimana perhatian Allah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì-terhadapnya, pahala mengerjakannya dan hukuman bagi orang yang meninggalkannya, niscaya tak mungkin ia akan meninggalkannya secara mutlak sementara di dalam hatinya terdapat seberat dzarrah keimanan, karena sesungguhnya meninggalkan shalat secara mutlak, hal ini berkonsekwensi kosongnya hati dari keimanan secara keseluruhan.

Atas dasar ini, maka al-Qur’an, sunnah, pendapat para sahabat dan secara makna, semua dalil ini mengharuskan kafirnya orang yang meninggalkan shalat, dan apabila pelakunya kafir maka puasa Ramadhannya tidak bermanfaat dan tidak pula berfaedah baginya; karena Islam merupakan syarat untuk sahnya amal dan diterimanya.

Wallahu A’lam

Sumber :

(Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin, Fatawa Nur ‘Ala ad-Darb, 7/176-179 (Soal No. 3767)


Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=lihatfatwa&id=1928