Artikel : Ekonomi Islam - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits - Senin, 07 Juli 03

Akhlak Usahawan Muslim
oleh : Prof.Dr.Abdullah al-Mushlih & Prof.Dr.Shalah ash-Shawi

BAHASAN KETIGA:
(Gharar) "Menjual Kucing dalam Karung," Menjual sesuatu yang tidak jelas

Definisi Gharar
Secara bahasa, gharar berarti: Hal yang tidak diketahui atau bahaya tertentu.

Menurut terminologi atau istilah fiqihnya, gharar diartikan oleh para ulama ahli fiqih seputar: Hal ketidaktahuan terhadap akibat satu perkara/transaksi, atau ketidakjelasan antara baik dengan buruknya.

Hukum Gharar
Larangan terhadap jual beli yang mengandung unsur gharar alias 'menjual kucing dalam karung' merupakan salah satu dasar syariat yang agung. Nabi melarang jual beli dengan sistem melempar kerikil dan jual beli yang mengandung kamuflase. Diriwayatkan oleh Muslim.

Hikmah Dilarangnya Jual Beli 'kucing dalam karung'
Hikmah dilarangnya jual beli kamuflatif atau yang mengandung unsur ketidakpastian karena mengakibatkan seseorang memakan harta orang lain dengan cara haram. Nabi telah memperingatkan hal itu dalam sabda beliau tentang larangan menjual buah-buahan yang belum layak dikonsumsi atau belum tumbuh: "Bagaimana, kalau Allah tidak mengizinkan buah itu untuk tumbuh, dengan alasan apa si penjual memakan harta pembelinya?"

Dan dikatakan juga bahwa itu menyebabkan percekcokan di antara manusia, atau tidak mampu menunaikannya, disamping sebagai lahan timbulnya permusuhan di antara mereka.

Macam-macam Gharar
Ditinjau dari hukum keharaman dan kehalalannya, jual beli gharar terbagi menjadi tiga:

  • Bila kuantitasnya banyak, hukumnya dilarang berdasarkan ijma'. Seperti menjual ikan yang masih dalam air dan burung yang masih di udara.
  • Bila jumlahnya sedikit, hukumnya dibolehkan menurut ijma'. Seperti pondasi rumah (dalam transaksi jual beli rumah), isi bagian dalam pakaian, dan sejenisnya.
  • Bila kuantitasnya sedang-sedang saja, hukumnya masih diperdebatkan. Namun parameter untuk mengetahui banyak sedikitnya kuantitas, dikembalikan kepada kebiasaan.


Bentuk-bentuk Jual Beli Gharar
Ditinjau dari isi kandungannya, jual beli gharar ini juga terbagi menjadi tiga:
Pertama: Barang Transaksi yang Tidak Ada dan Tidak Diyakini Bisa Didapatkan.
Seperti jual beli tahunan, yakni menjual buah-buahan dalam perjanjian selama sekian tahun. Buah-buahan tersebut belum ada, atau menjual buah yang belum tumbuh sempurna (belum layak dikonsumsi).

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah melarang jual beli dengan sistem tahunan. Yakni membeli (hasil) pohon selama beberapa tahun. Beliau juga melarang menjual buah sebelum layak dikonsumsi dan sebelum dipastikan selamat dari hama. Karena objek transaksi dalam kasus ini bisa tidak ada, atau kalaupun ada tidak bisa diserahterimakan, apalagi bila terjadi resiko bahaya karena perjanjian jual beli tersebut, misalnya resiko terkena hama.

Letak unsur 'penjualan kucing dalam karung' dalam penjualan buah-buahan sebelum layak dikonsumsi adalah bahwa buah-buahan itu masih dikhawatirkan terkena hama sehingga rusak. Itu adalah tindakan membuat kamuflase yang tidak dibutuhkan. Kalau malapetaka itu terjadi, berarti biaya yang dikeluarkan oleh pembeli menjadi hilang tanpa ada imbalan, atau si pedagang mengambil keuntungan tidak dengan cara yang benar. Hal itu tentu saja dapat menimbulkan kebencian dan permusuhan.

Dikeluarkan oleh al-Bukhari dari Zaid bin Tsabit bahwa ia menceritakan, "Masyarakat di zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam biasa melakukan jual beli buah-buahan. Kalau datang masa panen dan datang para pembeli yang telah membayar buah-buahan itu, para petani berkata, 'Tanaman kami terkena diman, terkena penyakit, terkena qusyam dan berbagai hama lain.' Maka ketika mendengar berbagai polemik yang terjadi dalam hal itu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Bila tidak, jangan kalian menjualnya sebelum buah-buahan itu layak dikonsumsi'."

Contoh lain adalah jual beli hablul habalah anak dalam kandungan binatang, malaqih (hasil cangkokan tanaman), madha-min (sebagian ulama menyatakan ketiganya sama artinya) dan sejenisnya.

Jual beli hablul habalah adalah ungkapan dari menjual hasil produksi yang masih belum jelas. Itu termasuk jual beli yang populer di masa jahiliyah. Mereka terbiasa menjual anak yang masih dalam kandungan binatang bunting, dan menyerahkan secara tertunda. Maka Islam melarangnya.

Letak unsur 'penjualan kucing dalam karung' dalam jual beli hablul habalah ini amat jelas sekali.

Karena kalau tujuannya adalah menjual janin yang masih dalam perut induk unta, maka janin itu jelas belum jelas juntrungannya. Pembelinya berada dalam posisi yang mengkhawatirkan. Karena ia bisa memperoleh apa yang dia beli, dan bisa juga tidak.

Kalau yang tujuannya adalah menjual dengan pembayaran di muka hingga lahirnya anak unta tersebut, unsur penjualan dengan ketidakpastian inipun amat jelas. Karena sama saja menjual sesuatu dengan masa penyerahan yang tidak diketahui. Karena tidak diketahui secara pasti, kapan unta tersebut akan lahir.

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah melarang jual beli hablul habalah, yakni sejenis jual beli yang biasa dilakukan masyarakat jahiliyah. Seseorang membeli seekor unta hingga melahirkan anak unta, kemudian anak dalam kandungan unta tersebut juga lahir pula (secara berantai).

Demikianlah, dengan melarang jual beli ini, Islam memutus kemungkinan terjadinya kerusakan dan pertikaian. Dengan cara itu pula Islam memutuskan berbagai faktor yang dapat menjerumuskan umat ini ke dalam kebencian dan permusuhan dalam kasus jual beli tersebut.

Kedua: (Jual Beli Gharar) yang Tidak Mungkin Diserah-terimakan.
Seperti unta yang sedang kabur, ikan yang ada dalam air dan burung yang terbang di langit.

Bentuk jual beli ini ada yang dipastikan haram ada juga yang masih diperdebatkan. Di antara yang masih diperdebatkan adalah menjual barang jualan sebelum berada di tangan.

Karena sangat dibutuhkannya pengenalan terhadap hukum bentuk jual beli gharar yang terakhir ini, karena kaitannya yang erat dengan pengembangan sistem perbankan, kamipun sengaja mengkhususkan pengkajian untuk lebih mendalami perbedaan pendapat para ulama fiqih dalam persoalan jual beli tersebut, kemudian dalil yang digunakan oleh masing-masing kelompok, kemudian baru mempertimbangkan seluruh dalil-dalil itu untuk sampai kepada pendapat yang kita pilih dalam persoalan yang sudah mendarah daging dalam tubuh berbagai usaha pengembangan modal.

Bolehkah Seseorang yang Membeli Barang Menjualnya Kembali Sebelum Barang Sampai Ke Tangan
Para ulama ahli fiqih berbeda pendapat dalam menjawab pertanyaan di atas:

Kalangan Malikiyah berpendapat bahwa jual beli itu boleh, asal bukan berupa makanan.

Sandaran mereka dalam pendapat itu adalah riwayat dari hadits Malik bin Nafi, dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
"Barangsiapa yang membeli makanan, janganlah ia menjualnya kembali sebelum makanan itu sampai ke tangannya. "

Sengaja hanya makanan yang disebutkan dalam hadits itu, karena hukum itu hanya berlaku pada makanan. Karena kalau tidak ada pengkhususan, maka tidak ada gunanya disebutkannya makanan secara khusus.

Diriwayatkan oleh Malik bahwa beliau memberi juga keringanan untuk jual beli makanan secara borongan sebelum sampai ke tangan. Karena borongan itu sendiri tidak mengharuskan adanya ketepatan jumlah. Menurut mereka itu hanya menjadi tanggung jawab si pembeli terhadap transaksi tersebut.

Sementara Abu Hanifah dan Abu Yusuf berpendapat bahwa jual beli semacam itu tidak boleh kecuali pada harta yang tidak bergerak (rumah, tanah dan sejenisnya).

Dalil mereka dalam pendapat itu adalah riwayat dari Hakim bin Hizam bahwa ia menceritakan, Aku pernah bertanya, "Wahai Rasulullah! Saya biasa membeli sesuatu dan menjualnya kembali. Apa yang halal dan haramnya?" Beliau menjawab, "Jangan engkau jual sesuatu sebelum sampai ke tanganmu."

Mereka menyatakan: (Larangan) dalam hadits itu hanya dikhususkan untuk benda-benda bergerak. Karena alasan larangan itu adalah ketidakjelasan gagal tidaknya perjanjian tersebut sebelum objek transaksi sampai di tangan karena mati misalnya. Karena kematian/kehancuran itu hal yang jarang terjadi pada benda tak bergerak, maka hadits tersebut khusus berlaku pada benda-benda bergerak saja, sehingga jual beli barang tak bergerak dibolehkan meski belum sampai ke tangan (belum diserahterimakan), sebagai aplikasi dari berbagai dalil umum yang membolehkan jual beli dari Kitabullah, Sunnah Rasul dan Ijma' para ulama.

Adapun Imam Syafi'i memilih untuk melarangnya secara mutlak dengan alasan yang juga mengamalkan dalil-dalil umum. Pendapat itu diamini oleh Ibnu Hazm. Di antara dalil beliau dalam persoalan tersebut yaitu: Hadits Hukaim bin Hizam terdahulu.
Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam :
"Tidak dibolehkan jual beli yang disertai peminjaman, keuntungan dari sesuatu yang belum dijamin adanya dan menjual sesuatu yang tidak dimiliki."
Dalam jual beli ini termasuk kasus menjual sesuatu yang belum tentu ada. Karena kepemilikan objek transaksi merupakan syarat memindahkan kepemilikan objek transaksi kepada pihak pembeli. Kasus ini juga termasuk menjual sesuatu yang belum dimiliki.

Dinukil dari Imam Ahmad pendapat yang sama dengan pendapat kalangan Malikiyah dalam persoalan ini. Yakni bahwa hanya makanan saja yang tidak boleh dijualbelikan sebelum diterima, baik itu yang ditakar ataupun ditimbang, atau bisa juga tanpa takaran dan timbangan.

Al-Atsram menceritakan, Aku pernah bertanya kepada Abu Abdillah (Imam Ahmad) tentang arti: "Keuntungan dari sesuatu yang belum dijamin ada." Beliau menjawab, "Itu berlaku untuk makanan dan yang sejenis dengan makanan, yakni yang biasa dimakan dan diminum. Kesemuanya hanya boleh dijual bila sudah berada di tangan."

Kesimpulan yang terlihat oleh penulis dan pengkajian persoalan ini adalah sebagai berikut:

Diharamkannya menjual makanan sebelum sampai ke tangan sebagaimana yang disebutkan dalam nash hadits, sebagaimana yang menjadi kesepakatan para ulama ahli fiqih.

Tidak ada bedanya dalam keharaman untuk dijual sebelum sampai di tangan, antara makanan yang jelas ukuran/takarannya dengan yang tidak jelas, berdasarkan riwayat Muslim dari Ibnu Umar bahwa ia pernah menceritakan, "Dahulu kami biasa membeli makanan dari kafilah dagang dengan borongan, lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang kami untuk menjualnya kembali sebelum kami pindahkan atau kami turunkan dari kendaraannya."

Demikian juga diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa ia berkata: "Aku pernah melihat orang-orang yang membeli makanan dengan borongan. Pada masa hidup Rasulullah, mereka dilarang melakukan jual beli itu sebelum memindahkan barang itu ke kendaraan yang membawanya." Demikian juga keumuman hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: "Barangsiapa yang membeli makanan, janganlah ia menjualnya sebelum ia menerima semua barang beliannya itu. "

Itulah hukumnya bila yang dijual adalah makanan. Bagaimana dengan barang jualan selain makanan?

Dalam persoalan ini ada banyak nash-nash umum yang melarang menjual sesuatu yang belum diterima dan beberapa nash khusus bila yang dijual adalah makanan. Pernyataan kalangan Malikiyah bahwa dikhususkannya makanan yang disebutkan dalam hadits tersebut menunjukkan bahwa hukum larangan itupun berlaku untuk makanan saja. Karena bila tidak demikian, tidak ada gunanya disebutkan makanan secara khusus dalam hadits. Pernyataan mereka itu masih diperdebatkan. Karena nash dalil yang menunjukkan satu kasus tidak secara aksiomatik harus tidak menunjukkan yang lainnya. Itu seandainya hanya ada riwayat atau nash itu saja. Padahal masih banyak lagi nash-nash umum yang melarang secara mutlak jual beli semacam itu, tidak mengkhususkan pada satu komoditi tertentu? Karena antara dalil-dalil umum dengan dalil khusus tidak ada kontradiksi dalam persoalan ini, maka hukum asalnya adalah dilarangnya jual beli tersebut tanpa kriteria tertentu.

Adapun pengkhususan yang dipaparkan oleh Abu Hanifah dan Abu Yusuf terhadap larangan dalam hadits di atas selain pada benda-benda yang tidak bergerak, juga masih diperdebatkan. Karena alasan mereka bahwa sebab larangan itu adalah terjadinya ketidakjelasan batal tidaknya perjanjian karena kemungkinan matinya objek transaksi, itu juga hanya ijtihad belaka dari beliau (Abu Hanifah), tidak bersandar pada nash yang tegas. Kalau kita katakan bahwa sebab larangan adalah mendapatkan keuntungan dari barang yang belum tentu adanya, tidak terlalu jauh dari indikasi dalil-dalil yang ada, bahkan bisa dikatakan bahwa itulah pemahaman yang paling mendekati kebenaran.

Sementara alasan bahwa ada hak kolektif terhadap perjanjian sebelum barang diterima penjual, dan bahwa pihak penjual tetap memiliki barang tersebut, ini juga diperdebatkan. Karena itu bukanlah keputusan final. Hak kolektif bagi para pembeli sebelum barang diterima penjual, masih diperdebatkan oleh para ulama. Ada yang mensahkan ada juga yang menolaknya. Dalil-dalil umum tidak bisa dikhususkan dengan hal-hal yang masih bersifat mungkin saja.

Dengan dasar itu semua maka yang paling tepat menurut penulis -wallahu a'lam- adalah larangan mutlak terhadap menjual sesuatu yang belum dipegang atau diterima, sebagaimana yang menjadi pendapat Imam Syafi’i, Ibnu Hazm, dan juga Muhammad dan Zufar dari kalangan Hanafiyah.

Ketiga: Menjual Barang yang Tidak Diketahui
Bisa jadi objek penjualan itu tidak diketahui secara mutlak, seperti bila seorang penjual mengatakan, "Saya jual sebuah mobil kepada Anda." Bisa juga sesuatu yang tidak diketahui namun tertentu jenis atau ukurannya, seperti yang dikatakan seorang penjual: Saya jual kepada Anda seluruh isi rumah saya," atau, "Saya jual kepada Anda seluruh buku-buku perpustakaanku," dan sejenisnya. Atau bisa juga sesuatu yang tidak diketahui macam dan kriterianya, namun jenis dan ukurannya diketahui, seperti yang dikatakan seorang penjual, "Saya jual kepada Anda pakaian yang ada dalam buntelan kainku," atau, "Saya jual kepada Anda budak milik saya."

Atau sesuatu yang tidak diketahui dan tidak ada kriteria dan ketentuan apa-apa, seperti penjualan barang secara borongan, baik dengan jumlah tertentu atau juga dengan jumlah yang tidak diketahui.

Namun sebagian ulama membedakan antara gharar dengan hal yang tidak diketahui. Mereka beranggapan bahwa majhul atau hal yang tidak diketahui, artinya yang diketahui kapan bisa diperoleh, tetapi tidak diketahui wujud kriterianya. Adapun jual beli gharar adalah jual beli sesuatu yang tidak diketahui kapan diperolehnya.

Tapi yang penting bagi kita adalah membicarakan dengan rinci tentang benda-benda yang tidak hadir karena berhubungan langsung dengan pembahasan inti, sebab-sebab pengembangan-pengembangan usaha modern menuntut penjualan hal-hal yang tidak hadir.

Menjual Barang yang Tidak Hadir
Jual beli ada dua macam:
Pertama: Jual beli barang yang tampak dan ada di lokasi perjanjian. Tidak ada perbedaan pendapat tentang jual beli ini.
Kedua: Jual beli barang yang tidak tampak dan tidak dalam lokasi perjanjian. Jual beli masih diperdebatkan oleh kalangan ahli fiqih.

Sebagian ulama menyatakan bahwa menjual barang yang tidak tampak itu sama sekali tidak diperbolehkan, baik yang dijelaskan kriterianya maupun yang tidak dijelaskan kriterianya. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i dalam pendapat terbarunya, dan demikian juga yang ditegaskan oleh para sahabat beliau, juga pendapat dalam salah satu riwayat dari Imam Ahmad.

Imam Abu Hanifah, "Dibolehkan menjual barang yang tidak diketahui baik dengan kriteria yang telah dijelaskan sekalipun, namun pihak pembeli memiliki hak pilih kalau ia sudah melihat barangnya, bila ia mau ia bisa meneruskan perjanjian, dan bila tidak mau, ia bisa mengembalikannya. Ini juga salah satu riwayat dari Imam Ahmad.

Sementara Imam Malik menyatakan, "Sebagian besar ulama Madinah membolehkan jual beli barang yang tidak diketahui bila jelas kriterianya, dan kalau barang tersebut tidak dikhawatirkan berubah sebelum diterima." Namun kalau kriterianya tidak jelas tidaklah sah. Itu riwayat yang populer dari Imam Ahmad. Kalau si pembeli mendapatkan barang itu sesuai dengan yang dijelaskan kriterianya, ia harus membelinya. Namun bila tidak, ia berhak menentukan pilihan.

Sebagian ulama Malikiyah berpendapat bahwa jual beli barang yang tidak tampak itu boleh meskipun tidak jelas kriterianya namun dengan adanya hak pilih bagi pembeli bila sudah melihat barangnya. Namun pendapat madzhab mereka yang sah adalah sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.

Sebab terjadinya perbedaan pendapat dalam persoalan ini:
Apakah pengenalan yang tanggung terhadap kriteria barang yang berkaitan dengan fisiknya merupakan ketidaktahuan terhadap barang yang mengandung unsur jual beli 'menjual kucing dalam karung' kategori berat sehinga mempengaruhi perjanjian, atau hanya kasus ringan yang tidak mempengaruhinya.

Imam Syafi'i menganggap itu sebagai kasus berat.
Imam Malik dan Ibnu Hazm menyatakan bahwa itu hanya kasus ringan dalam jual beli 'kucing dalam karung'.
Sementara Abu Hanifah berpandangan bahwa dalam kasus ini tidak ada jual beli 'kucing dalam karung' bila kemudian objek transaksi sudah dilihat. Di kalangan Hambaliyah sendiri ada berbagai macam riwayat yang bernada sama dengan pendapat-pendapat tersebut.

Yang penulis pilih dari sekian pendapat yang ada adalah sahnya jual beli tersebut bila disebutkan kriteria barangnya dan tidak sah bila tidak dijelaskan kriterianya. Ini adalah madzhab Malikiyah dan Ibnu Hazm dan pendapat populer dari kalangan Hambaliyah.

Mengenai sahnya jual beli itu bila objek transaksi dijelaskan kriterianya, maka harus dibuktikan terlebih dahulu kejelasan tentang objek transaksi secara sempurna sehingga hilang unsur penjualan 'kucing dalam karung'. Banyak sekali komoditi komersial sekarang ini yang tidak mungkin diperlihatkan pada waktu transaksi, mungkin karena ukurannya yang amat besar atau karena diperlukannya biaya besar untuk pengangkutannya dan amat sulit sekali. Maka cukup disebutkan saja kriterianya yang umumnya dipaparkan dengan cermat dan data-data yang lengkap. Sementara kemungkinan barang itu akan rusak karena banyak dibuka-buka, dilipat-lipat dan dipindahkan dari tangan ke tangan. Kemungkinan-kemungkinan ini tidak seharusnya juga disepelekan atau dipandang sebelah mata. Ibnu Hazm menyatakan, "Kami tidak melihat adanya pendapat terdahulu yang menjadi sandaran pendapat Imam Syafi'i dalam melarang jual beli barang yang tidak tampak meski sudah dijelaskan kriterianya." Kaum muslimin juga sudah terbiasa melakukan jual beli barang dengan membeberkan kriterianya sementara barang itu berada di negeri yang jauh. Utsman pernah menjual barang kepada Ibnu Umar di Khaibar dengan pembayaran yang diserahkan Ibnu Umar di Wadil Qura. Ini hal yang sudah populer di kalangan mareka."

Sementara mengenai tidak sahnya jual beli itu bila tidak dijelaskan kriteria objek transaksinya adalah berdasarkan larangan Rasulullah terhadap jual beli 'kucing dalam karung'. Karena ini adalah kasus jual beli, maka tidak sah bila tanpa diketahui kriteria objek transaksinya, sama halnya dengan jual beli as-Salm.

Jual beli ini juga tidak bisa diqiyaskan dengan nikah. Karena nikah tidak memiliki tujuan tukar-menukar, dan tidak akan batal hanya karena kompensasinya (mahar) dianggap rusak atau karena tidak disebutkan kriterianya. Nikah juga tidak mengenal adanya hak pilih (khiyar). Karena banyak di antara kriteria (mahar) yang dapat diketahui dengan penglihatan bukan menjadi tujuan dalam pernikahan, sehingga tidak membahayakan bila tidak diketahui kriterianya, lain halnya dengan jual beli.

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=indexekonomi&id=1§ion=e001