Artikel : Bulein Annur - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits

Kedahsyatan Ikhlas

Jumat, 08 Oktober 21

Ikhlas Amalan Hati Terpenting
Saudaraku-pembaca yang budiman-, ketahuilah bahwa ikhlas merupakan amalan hati yang terpenting dan paling agung kedudukannya. Bahkan, sesungguhnya amalan-amalan hati itu –secara umum- lebih penting daripada amalan anggota badan. Berkata Ibnu Taimiyyah-ÑóÍöãóåõ Çááåõ-tentang amalan hati, ’Amalan-amalan hati merupakan pondasi keimanan dan pilar agama, seperti, mencintai Allah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì-dan Rasul-Nya-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó-, bertawakkal kepada Allah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì-, mengikhlaskan agama hanya untuk Allah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì- semata, bersyukur kepada-Nya, bersabar terhadap ketentuan hukumNya, takut dan berharap kepadaNya. Kesemua amalan ini wajib hukumnya atas semua makhluk, dengan kesepakatan para imam agama (al-Fatawa, 5/10)

Ibnul Qayyim-ÑóÍöãóåõ Çááåõ-, ketika menjelaskan agungnya amalan hati, mengatakan, ‘Amalan hati merupakan asas, sedangkan amalan anggota badan merupakan ikutan dan penyempurna. Dan sesungguhnya niat itu menempati posisi sebagaimana ruh, sementara amal perbuatan berposisi sebagai badan untuk angota-anggota tubuh yang apabila ruh memisahkan diri darinya nicaya bakal mati (tidak berguna). Oleh kerenanya, mengetahui hukum-hukum hati jauh lebih penting daripada mengetahui hukum-hukum anggota badan (Bada-I’ al-Fawaid, 3/224)

Beliau-ÑóÍöãóåõ Çááåõ-juga mengatakan, “Barangsiapa merenungkan syariat, dalam hal yang menjadi sumbernya, niscaya ia mengetahui hubungan antara amal-amal anggota badan dengan amalan-amalan hati bahwasanya amalan anggota badan itu tidak akan bermanfaat tanpa adanya amalan hati dan bahwa amalan hati itu lebih wajib atas seorang hamba daripada amalan anggota badan. Bukankah seorang mukmin itu terbedakan dari orang munafik hanya karena apa yang ada di dalam hati mereka masing-masing berupa amalan-amalan yang membedakan antara keduanya ?!. Dan, ibadah hati itu jauh lebih agung, jauh lebih banyak, dan lebih langgeng daripada ibadah anggota badan. Maka, amalan hati itu merupakan kewajiban dalam setiap waktu kapan saja. (Bada-i’ al-Fawaid, 3/330)

Dengan ini, Anda-pembaca yang budiman- mengetahui pentingnya amalan-amalan hati itu, betapa tinggi kedudukannya, dan wajibnya merealisasikan amalan-amalan tersebut. Dan, yang paling penting dan paling istimewa di antara amalan-amalan hati tersebut adalah ‘ikhlas.’

Apa ‘ikhlas’ itu ?

ÇóÅö‘wÎúáóÇÕõ (ikhlas) secara bahasa berarti ÇóáäøóÌóÇÉõ (selamat). ÎóáóÕó ÇáÔøóíúÁõ yakni, selamat dan bebas dari segala sesuatu yang melekat. Dan, al-Mukhlish (orang yang ikhlas) adalah orang yang mengesakan Allah--ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì secara murni, karenanya surat Þõáú åõæó Çááøóåõ ÃóÍóÏñ dinamakan dengan surat al-ikhlas, karena orang yang melafalkannya, ia telah mengikhlaskan tauhid hanya untuk Allah-ÚóÒøó æóÌóáøó- semata, dan kalimat al-ikhlas merupakan kalimat at-Tauhid (Lisanul ‘Arob, 7/26, bab : ÇáÕÇÏ, Fasal : ÇáÎÇÁ, Madah : ÎáÕ )

Dan dikatakan pula,ÇóáúÎóÇáöÕõ (al-Khalish) adalah sesuatu yang hilang darinya hal-hal yang menodainya sehingga menjadi jernih (Taaj al-‘Arus, 9/272, bab : ÇáÕÇÏ, Fasal : ÇáÎÇÁ, Madah : ÎáÕ)

Adapun pengertian ikhlas dan batasannya, secara istilah, terdapat banyak ungkapan para ulama mengenai hal tersebut.
Ada yang mendefinisikannya, ‘Menyendirikan hak Allah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì-dengan tujuan dalam melakukan ketaatan.’
Ada juga yang mendefinisikannya, ‘Penjernihan perbuatan dari perhatian makhluk.’
Al-Harawiy mengatakan, ‘Ikhlas adalah menjernihkan amal dari setiap hal yang dapat mengeruhkannya.’
Sebagian yang lainnya mengatakan, ÇóáúãõÎúáöÕõ (al-Mukhlish), orang yang ikhlas adalah orang yang tidak mempedulikan apa pun penilaian hati manusia terhadap dirinya karena kebaikan hatinya bersama Allah-ÚóÒøó æóÌóáøó-, dan ia tak suka manusia mengetahui sedikitpun kadar amal yang dilakukannya.

Kedudukan Ikhlas
Sesungguhnya ikhalas itu merupakan hakikat agama, dan kunci para Rasul- Úóáóíúåöãõ ÇáÓøóáóÇãõ-Allah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì-berfirman,


æóãóÇ ÃõãöÑõæÇ ÅöáøóÇ áöíóÚúÈõÏõæÇ Çááøóåó ãõÎúáöÕöíäó áóåõ ÇáÏøöíäó ÍõäóÝóÇÁó


Padahal mereka hanya diperintahkan menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama (Qs. al-Bayyinah : 5)

Allah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì-juga berfirman,


æóãóäú ÃóÍúÓóäõ ÏöíäðÇ ãöãøóäú ÃóÓúáóãó æóÌúåóåõ áöáøóåö æóåõæó ãõÍúÓöäñ


Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang dengan ikhlas berserah diri kepada Allah, sedang dia mengerjakan kebaikan (Qs. an-Nisa : 125)

Allah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì-juga berfirman,


ÇáøóÐöí ÎóáóÞó ÇáúãóæúÊó æóÇáúÍóíóÇÉó áöíóÈúáõæóßõãú Ãóíøõßõãú ÃóÍúÓóäõ ÚóãóáÇð


Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. (Qs. al-Mulk : 2)

Fudhail bin ‘Iyadh-ÑóÍöãóåõ Çááåõ-mengatakan, (ÃóÍúÓóäõ ÚóãóáÇð yang lebih baik amalnya) yakni, siapa yang paling ikhlas dan paling benar. Orang-orang bertanya kepadanya, ‘Wahai Abu Ali, apa yang dimaksud dengan paling ikhlas dan paling benar ? ia pun menjawab, ‘Sesungguhnya, amal itu bilamana dilakukan dengan penuh keikhlasan namun tidak benar, niscaya tidak diterima. Dan jika amal itu dilakukan dengan benar namun tidak ikhlas, juga tidak akan diterima, hingga benar-benar amal tersebut dilakukan dengan ikhlas lagi benar. Amal yang ikhlas adalah bila amal tersebut dilakukan semata-mata karena Allah, dan amal yang benar bila amal tersebut dilakukan sesuai petunjuk sunnah.’ Kemudian, ia membaca firman-Nya,


Ýóãóäú ßóÇäó íóÑúÌõæ áöÞóÇÁó ÑóÈøöåö ÝóáúíóÚúãóáú ÚóãóáðÇ ÕóÇáöÍðÇ æóáóÇ íõÔúÑößú ÈöÚöÈóÇÏóÉö ÑóÈøöåö ÃóÍóÏðÇ [ÇáßåÝ : 110]


“...Maka barang siapa mengharap pertemuan dengan Tuhan-nya maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (Qs. al-Kahfi : 110)
Dan, Allah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì-berfirman,


ÅöáøóÇ ÇáøóÐöíäó ÊóÇÈõæÇ æóÃóÕúáóÍõæÇ æóÇÚúÊóÕóãõæÇ ÈöÇááøóåö æóÃóÎúáóÕõæÇ Ïöíäóåõãú áöáøóåö ÝóÃõæáóÆößó ãóÚó ÇáúãõÄúãöäöíäó æóÓóæúÝó íõÄúÊö Çááøóåõ ÇáúãõÄúãöäöíäó ÃóÌúÑðÇ ÚóÙöíãðÇ [ÇáäÓÇÁ : 146]


Kecuali orang-orang yang bertaubat dan memperbaiki diri dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan dengan tulus ikhlas (menjalankan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu bersama-sama orang-orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan pahala yang besar kepada orang-orang yang beriman (Qs. an-Nisa : 146)

Dari Abu Hurairah-ÑóÖöíó Çááåõ Úóäúåõ-ia berkata, ‘Aku pernah mendengar Rasulullah-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó-bersabda,


ÞóÇáó Çááøóåõ ÊóÈóÇÑóßó æóÊóÚóÇáóì ÃóäóÇ ÃóÛúäóì ÇáÔøõÑóßóÇÁö Úóäö ÇáÔøöÑúßö ãóäú Úóãöáó ÚóãóáÇð ÃóÔúÑóßó Ýöíåö ãóÚöì ÛóíúÑöì ÊóÑóßúÊõåõ æóÔöÑúßóåõ


Allah-ÊóÈóÇÑóßó æóÊóÚóÇáóì-berfirman, ‘Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barang siapa melakukan suatu amalan di mana di dalamanya ia menyekutukanKu dengan selainKu, niscaya Aku tinggalkan dia dan sekutunya itu (HR. Muslim)

Keikhlasan Memperbesar Balasan
Termasuk hal yang selayaknya diingatkan di sini adalah bahwa bila keikhlasan itu mendominasi sebuah amal ketaatan apa pun bentuknya, niscaya Allah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì-memberikan balasan yang besar terhadap pelakunya, meskipun zhahir amal ketaatan tersebut ringan atau sedikit. Ibnu Taimiyah-ÑóÍöãóåõ Çááåõ-berkata, “Satu jenis amal, bisa jadi dilakukan seseorang, ia menyempurnakan keikhlasannya dan penghambaannya kepada Allah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì-, karenanya Allah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì-mengampuni dosa-dosa besar yang pernah dilakukannya, seperti dalam hadis al-Bithaqah. [1] Ini adalah keadaan orang yang mengucapkannya (yakni, mengucapkan kalimat tauhid, áóÇ Åöáóåó ÅöáøóÇ Çááåõ) dengan penuh keikhlasan dan kejujuran, seperti yang dikatakan oleh orang ini. Kalaulah tidak demikian, para pelaku dosa-dosa besar yang masuk ke dalam Neraka, mereka semuanya mengucapkan kalimat tauhid. Namun, ucapan mereka tersebut tidak dapat mengungguli keburukan-keurukan mereka, seperti halnya ucapan pemilik bithaqah tersebut.”

Kemudian, Ibnu Taimiyah-ÑóÍöãóåõ Çááåõ-menyebutkan hadis yang menceritakan tentang seorang wanita pezina yang memberi minum seekor anjing, lalu Allah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì-mengampuni (dosa)nya.[2] Dan, seorang lelaki yang menyingkirkan gangguan dari jalan, lalu Allah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì- mengampuni (dosa)nya.[3] Lantas, beliau-ÑóÍöãóåõ Çááåõ-mengatakan, “Wanita ini memberikan minum anjing dengan keimanan yang murni yang ada di dalam lubuk hatinya, maka Allah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì-mengampuni (dosa)nya. Kalaulah bukan karena itu, maka tidak setiap wanita pezina yang memberikan minuman terhadap seekor anjing akan diampuni (dosa)nya. Dengan demikian, amal itu bertingkat-tingkat keutamaannya tergantung pada apa yang ada di dalam hati pelakunya berupa keimanan dan pengagungannya. (Minhaj as-Sunnah, 6/218)

Tak Ada Keikhlasan, Tak Ada Nilai Balasan
Sebaliknya, kita dapati bahwa melakukan ketaatan tanpa adanya keikhlasan dan kejujuran terhadap Allah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì-, maka kataatan tersebut tidak bernilai dan tidak pula berpahala. Bahkan, pelakunya membuka diri terhadap ancaman yang keras, sekalipun ketaatan yang dilakukannya tersebut termasuk amalan yang agung, semisal berinfak di jalan-jalan kebaikan, memerangi orang-orang kafir, mempelari ilmu syar’i. Hal ini seperti datang dalam hadis Abu Hurairah- ÑóÖöíó Çááåõ Úóäúåõ- di mana ia mengatakan,’Aku pernah mengdengar Rasulullah-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó- bersabda,


Åöäøó Ãóæøóáó ÇáäøóÇÓö íõÞúÖóì íóæúãó ÇáúÞöíóÇãóÉö Úóáóíúåö ÑóÌõáñ ÇÓúÊõÔúåöÏó ÝóÃõÊöìó Èöåö ÝóÚóÑøóÝóåõ äöÚóãóåõ ÝóÚóÑóÝóåóÇ ÞóÇáó ÝóãóÇ ÚóãöáúÊó ÝöíåóÇ ÞóÇáó ÞóÇÊóáúÊõ Ýöíßó ÍóÊøóì ÇÓúÊõÔúåöÏúÊõ. ÞóÇáó ßóÐóÈúÊó æóáóßöäøóßó ÞóÇÊóáúÊó áöÃóäú íõÞóÇáó ÌóÑöìÁñ. ÝóÞóÏú Þöíúáó.
Ëõãøó ÃõãöÑó Èöåö ÝóÓõÍöÈó Úóáóì æóÌúåöåö ÍóÊøóì ÃõáúÞöìó Ýöì ÇáäøóÇÑö
æóÑóÌõáñ ÊóÚóáøóãó ÇáúÚöáúãó æóÚóáøóãóåõ æóÞóÑóÃó ÇáúÞõÑúÂäó ÝóÃõÊöìó Èöåö ÝóÚóÑøóÝóåõ äöÚóãóåõ ÝóÚóÑóÝóåóÇ ÞóÇáó ÝóãóÇ ÚóãöáúÊó ÝöíåóÇ ÞóÇáó ÊóÚóáøóãúÊõ ÇáúÚöáúãó æóÚóáøóãúÊõåõ æóÞóÑóÃúÊõ Ýöíßó ÇáúÞõÑúÂäó. ÞóÇáó ßóÐóÈúÊó æóáóßöäøóßó ÊóÚóáøóãúÊó ÇáúÚöáúãó áöíõÞóÇáó ÚóÇáöãñ. æóÞóÑóÃúÊó ÇáúÞõÑúÂäó áöíõÞóÇáó åõæó ÞóÇÑöÆñ. ÝóÞóÏú Þöíáó Ëõãøó ÃõãöÑó Èöåö ÝóÓõÍöÈó Úóáóì æóÌúåöåö ÍóÊøóì ÃõáúÞöìó Ýöì ÇáäøóÇÑö.
æóÑóÌõáñ æóÓøóÚó Çááøóåõ Úóáóíúåö æóÃóÚúØóÇåõ ãöäú ÃóÕúäóÇÝö ÇáúãóÇáö ßõáøöåö ÝóÃõÊöìó Èöåö ÝóÚóÑøóÝóåõ äöÚóãóåõ ÝóÚóÑóÝóåóÇ ÞóÇáó ÝóãóÇ ÚóãöáúÊó ÝöíåóÇ ÞóÇáó ãóÇ ÊóÑóßúÊõ ãöäú ÓóÈöíáò ÊõÍöÈøõ Ãóäú íõäúÝóÞó ÝöíåóÇ ÅöáÇøó ÃóäúÝóÞúÊõ ÝöíåóÇ áóßó ÞóÇáó ßóÐóÈúÊó æóáóßöäøóßó ÝóÚóáúÊó áöíõÞóÇáó åõæó ÌóæóÇÏñ. ÝóÞóÏú Þöíáó Ëõãøó ÃõãöÑó Èöåö ÝóÓõÍöÈó Úóáóì æóÌúåöåö Ëõãøó ÃõáúÞöìó Ýöì ÇáäøóÇÑö ».


Sesungguhnya manusia yang pertama-tama diadili pada hari Kiamat adalah seorang lelaki yang meninggal dunia saat berjihad memerangi orang kafir. Ia pun didatangkan, lalu Allah mengingatkan nikmat-nikmat-Nya (yang telah diberikan kepadanya selama hidupnya di dunia), ia pun mengakuinya. Allah berkata (kepadanya), lantas apakah yang telah engkau perbuat terhadap nikmat-nikmat tersebut ?. Ia pun mengatakan, ‘Aku telah berperang karena Engkau hingga aku akhirnya terbunuh.’ Allah berfirman,’kamu dusta, akan tetapi kamu berperang agar dikatakan sebagai seorang pemberani. Dan hal itupun telah dikatakan kepadamu. Lantas, diperintahkanlah agar orang tersebut diseret di atas wajahnya sampai ia dilemparkan ke dalam Neraka.
Dan, seseorang yang belajar ilmu dan ia pun mengajarkannya dan membaca al-Qur’an. Ia didatangkan, lalu Allah mengingatkan akan nikmat-nikmatNya yang telah diberikan kepadanya, ia pun mengakuinya. Lantas, Allah mengatakan (kepadanya), ‘Lalu apa yang kamu perbuat padanya?’ ia menjawab, “Aku mempelajari ilmu (agama), mengajarkannya, dan aku membaca Al-Qur`an karena-Mu.” Allah berfirman, “Kamu berdusta, akan tetapi sebenarnya kamu menuntut ilmu agar kamu dikatakan seorang alim dan kamu membaca Al-Qur`an agar dikatakan, “Dia adalah qari`,” dan hal itu telah dikatakan kepadamu (di dunia).” Kemudian diperintahkan agar ia diseret di atas wajahnya sampai ia dilemparkan ke dalam neraka.
Dan seseorang yang diberikan keluasan (harta) oleh Allah dan Dia memberikan kepadanya semua jenis harta. Maka ia didatangkan lalu Allah mengingatkannya tentang nikmat-nikmat–Nya (yang telah diberikan kepadanya), maka ia pun mengakuinya. Allah berfirman, ‘Lalu apa yang kamu perbuat padanya?’ ia pun menjawab, “Aku tidak meninggalkan satu jalan pun yang Engkau senang kalau seseorang berinfak di situ kecuali aku berinfak di situ karena-Mu.” Allah berfirman, “Kamu berdusta, akan tetapi sebenarnya kamu melakukan hal itu agar dikatakan, “Dia orang yang dermawan,” dan hal itu telah dikatakan padamu (di dunia).” Kemudian diperintahkan agar ia diseret di atas wajahnya sampai ia dilemparkan ke dalam Neraka.”(HR. Muslim)
Ikhlas Membutuhkan Kesungguhan
Tidak diragukan bahwa untuk benar-benar ikhlas dalam mengerjakan segala bentuk ketaatan membutuhkan kepada kesungguhan yang besar hingga seorang hamba mendapatkan keikhlasan itu secara sempurna.

Sahl bin Abdillah at-Tusturiy-ÑóÍöãóåõ Çááåõ-pernah ditanya, ‘Hal apakah yang paling berat atas jiwa ?’ ia menjawab, ‘al-ikhlash’ (keikhlasan), karena tidak ada untuk keikhlasan itu sedikitpun bagian padanya.

Sufyan ats-Tsauriy-ÑóÍöãóåõ Çááåõ-mengatakan, ‘Tak ada sesuatu yang paling berat untuk aku terapi daripada niatku, sesungguhnya niat itu berbolak balik pada diriku.’

Karenanya, maka sesungguhnya nafsu yang memerintahkan kepada keburukan itu mengeruhkan keikhlasan yang ada di dalam hati para Mukallaf (Orang-orang yang telah terkena beban kewajiban syariat). Seperti kata Ibnul Qayyim-ÑóÍöãóåõ Çááåõ-tentang nafsu itu, ‘Dan nafsu itu memperlihatkan keikhlasan dalam rupa yang akan membuat seseorang lari darinya, yaitu keluar dari kendali akal sehat dan lemah yang karenanya setahap demi setahap akan melemahkan keadaan pemiliknya di tengah-tengah manusia. Maka, kapan saja ia berupaya mengikhlaskan amal-amal yang dilakukannya, tidak beramal sedikit pun karena siapa pun, nafsu itu bakal menjauhkan mereka, dan mereka pun akan berupaya menjauhkan diri dari orang yang berupaya untuk ikhlas dalam beramal tersebut. Nafsu yang memerintahkan kepada keburukan itu akan menjadikan mereka benci dan mereka pun akan membenci orang yang berupaya untuk mengikhlaskan amalnya. (ar-Ruuh, hal. 392)

Akhirnya, kita memohon kepada Allah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì- semoga melindungi kita dari rongrongan nafsu yang nemerintahkan kepada kejelekan ini, sehingga kita berharap dapat menjaga keikhlasan niat kita dalam melakukan amal-amal ketaatan kepada Allah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì- apa pun bentuknya. Amin

Wallahu A’lam
(Redaksi)
Rujukan :
1. Al-Ikhlash Wa Asy-Syirk Al-Ashghar, Dr. Abdul Aziz bin Muhammad al-‘Abd al-Lathif.
2. Al-Ikhlash Wa Atsaruhu Fi Qabuli al-A’mal, Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar.

Catatan :
[1] Yaitu hadis berikut ini,


Úðäú ÃóÈöí ÚóÈúÏö ÇáÑøóÍúãóäö ÇóáúÚóÇÝöÑöí Ëõãøó ÇóáúÍóÈóáöí ÞóÇáó : ÓóãöÚúÊõ ÚóÈúÏó Çááåö Èúäö ÚóãúÑöæ Èúäö ÇáúÚóÇÕöí íóÞõæúáõ : ÞóÇáó ÑóÓõæúáõ Çááåö Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æó Óóáøóãó :
Åöäóø Çááóøåó ÓóíõÎóáöøÕõ ÑóÌõáÇð ãöäú ÃõãóøÊöì Úóáóì ÑõÁõæÓö ÇáúÎóáÇóÆöÞö íóæúãó ÇáúÞöíóÇãóÉö ÝóíóäúÔõÑõ Úóáóíúåö ÊöÓúÚóÉð æóÊöÓúÚöíäó ÓöÌöáÇðø ßõáõø ÓöÌöáòø ãöËúáõ ãóÏöø ÇáúÈóÕóÑö Ëõãóø íóÞõæáõ ÃóÊõäúßöÑõ ãöäú åóÐóÇ ÔóíúÆðÇ ÃóÙóáóãóßó ßóÊóÈóÊöì ÇáúÍóÇÝöÙõæäó ÝóíóÞõæáõ áÇó íóÇ ÑóÈöø. ÝóíóÞõæáõ ÃóÝóáóßó ÚõÐúÑñ ÝóíóÞõæáõ áÇó íóÇ ÑóÈöø. ÝóíóÞõæáõ Èóáóì Åöäóø áóßó ÚöäúÏóäóÇ ÍóÓóäóÉð ÝóÅöäóøåõ áÇó Ùõáúãó Úóáóíúßó Çáúíóæúãó ÝóÊóÎúÑõÌõ ÈöØóÇÞóÉñ ÝöíåóÇ ÃóÔúåóÏõ Ãóäú áÇó Åöáóåó ÅöáÇóø Çááóøåõ æóÃóÔúåóÏõ Ãóäóø ãõÍóãóøÏðÇ ÚóÈúÏõåõ æóÑóÓõæáõåõ ÝóíóÞõæáõ ÇÍúÖõÑú æóÒúäóßó ÝóíóÞõæáõ íóÇ ÑóÈöø ãóÇ åóÐöåö ÇáúÈöØóÇÞóÉõ ãóÚó åóÐöåö ÇáÓöøÌöáÇóøÊö ÝóÞóÇáó Åöäóøßó áÇó ÊõÙúáóãõ. ÞóÇáó ÝóÊõæÖóÚõ ÇáÓöøÌöáÇóøÊõ Ýöì ßöÝóøÉò æóÇáúÈöØóÇÞóÉõ Ýöì ßöÝóøÉò ÝóØóÇÔóÊö ÇáÓöøÌöáÇóøÊõ æóËóÞõáóÊö ÇáúÈöØóÇÞóÉõ ÝóáÇó íóËúÞõáõ ãóÚó ÇÓúãö Çááóøåö ÔóìúÁñ


Dari Abu Abdurrahman al-‘Afiriy kemudian al-Habaliy, ia berkata, ‘Aku pernah mendengar Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash berkata, Rasulullah-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó – bersabda,
“Sungguh Allah akan membebaskan seseorang dari umatku di hadapan seluruh manusia pada hari Kiamat. Ketika itu dibentangkan 99 gulungan (dosa) miliknya. Setiap gulungan dosa panjangnya sejauh mata memandang. Kemudian Allah berfirman, ‘Apakah ada yang kamu ingkari dari semua catatan ini, apakah para (malaikat) pencatat amal telah menganiayamu?’ Ia menjawab, ‘Tidak wahai Rabbku’. Allah bertanya, ‘Apakah kamu memiliki uzur (alasan)?’ Ia menjawab, ‘Tidak wahai Rabbku’. Allah berfirman, ‘Bahkan sesungguhnya kamu memiliki satu kebaikan di sisi-Ku dan sungguh pada hari ini kamu tidak dianiaya sedikit pun’.
Kemudian dikeluarkanlah sebuah kartu (bithaqah) bertuliskan :


ÃóÔúåóÏõ Ãóäú áÇó Åöáóåó ÅöáÇóø Çááóøåõ æóÃóÔúåóÏõ Ãóäóø ãõÍóãóøÏðÇ ÚóÈúÏõåõ æóÑóÓõæáõåõ


(Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya)

Lalu Allah berfirman, ‘Datangkan timbanganmu’. Ia berkata, ‘Wahai Rabbku, apalah artinya kartu ini dibandingkan seluruh gulungan (dosa) itu?’ Allah berfirman, ‘Sungguh kamu tidak akan dianiaya’. Kemudian diletakkanlah gulungan-gulungan tersebut pada satu daun timbangan dan kartu itu pada daun timbangan yang lain. Maka gulungan-gulungan (catatan dosa) tersebut terangkat dan bithaqah (kartu) itu lebih berat. Demikianlah, tidak ada satu pun yang lebih berat dari sesuatu yang padanya terdapat nama Allah” (HR. Tirmidzi no. 2563, Ibnu Majah no. 4290, dinilai shahih oleh Al-Albani).
[2] Yaitu hadis berikut ini,


Úóäú ÃóÈöì åõÑóíúÑóÉó ÞóÇáó ÞóÇáó ÑóÓõæáõ Çááøóåö -Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó- « ÈóíúäóãóÇ ßóáúÈñ íõØöíÝõ ÈöÑóßöíøóÉò ÞóÏú ßóÇÏó íóÞúÊõáõåõ ÇáúÚóØóÔõ ÅöÐú ÑóÃóÊúåõ ÈóÛöìøñ ãöäú ÈóÛóÇíóÇ Èóäöì ÅöÓúÑóÇÆöíáó ÝóäóÒóÚóÊú ãõæÞóåóÇ ÝóÇÓúÊóÞóÊú áóåõ Èöåö ÝóÓóÞóÊúåõ ÅöíøóÇåõ ÝóÛõÝöÑó áóåóÇ Èöåö »


Dari Abu Hurairah-ÑóÖöíó Çááåõ Úóäúåõ-, ia berkata, Nabi-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó-bersabda, "Pada suatu ketika ada seekor anjing mengelilingi sebuah sumur. Anjing itu hampir mati kehausan. Tiba-tiba anjing tersebut terlihat oleh seorang wanita pelacur dari kalangan bani Israil. Maka ia membuka sepatu botnya. Kemudian dia menciduk air dengan sepatunya, lalu anjing itu diberi minum. Karena hal itu, dosa-dosa wanita pelacur itu diampuni." (HR. Muslim, no. 5998)
[3] Yaitu hadis berikut ini,


Úóäú ÃóÈöì åõÑóíúÑóÉó ÑóÖöíó Çááåõ Úóäúåõ Úóäö ÇáäøóÈöíøö Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó ÞóÇáó : ãóÑøó ÑóÌõáñ ÈöÔóæßò Ýöí ÇáØøóÑöíÞö ÝóÞóÇáó áóÃóãöíúØóäó åóÐóÇ ÇáÔøóæúßó áóÇ íóÖõÑøõ ÑóÌõáðÇ ãõÓúáöãóÇð ÝóÛóÝóÑó áóåõ


Dari Abu Hurairah- ÑóÖöíó Çááåõ Úóäúåõ-dari Nabi-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó-beliau bersabda,”Seorang lelaki melewati sebuah duri di jalan, lalu ia mengatakan,’Aku benar-benar akan menyingkirkan duri ini agar tidak membahayakan seorang muslim pun’, maka (Allah) mengampuni (dosa)nya.” (HR. al-Bukhari di dalam al-Adab al-Mufrad, no. 229)





Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=lihatannur&id=942