Artikel : Bulein Annur - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits

Kewajiban Bertawakal

Jumat, 22 Januari 21

Abu Dzar –ÑóÖöíó Çááåõ Úóäúåõ- meriwayatkan dari Nabi -Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó- yang beliau riwayatkan dari Allah - ÊóÈóÇÑóßó æóÊóÚóÇáóì- bahwa Dia berfirman,


íóÇ ÚöÈóÇÏöì Åöäøöì ÍóÑøóãúÊõ ÇáÙøõáúãó Úóáóì äóÝúÓöì æóÌóÚóáúÊõåõ Èóíúäóßõãú ãõÍóÑøóãðÇ ÝóáÇó ÊóÙóÇáóãõæúÇ
íóÇ ÚöÈóÇÏöì ßõáøõßõãú ÖóÇáøñ ÅöáÇøó ãóäú åóÏóíúÊõåõ ÝóÇÓúÊóåúÏõæäöì ÃóåúÏößõãú
íóÇ ÚöÈóÇÏöì ßõáøõßõãú ÌóÇÆöÚñ ÅöáÇøó ãóäú ÃóØúÚóãúÊõåõ ÝóÇÓúÊóØúÚöãõæäöì ÃõØúÚöãúßõãú
íóÇ ÚöÈóÇÏöì ßõáøõßõãú ÚóÇÑò ÅöáÇøó ãóäú ßóÓóæúÊõåõ ÝóÇÓúÊóßúÓõæäöì ÃóßúÓõßõãú
íóÇ ÚöÈóÇÏöì Åöäøóßõãú ÊõÎúØöÆõæäó ÈöÇááøóíúáö æóÇáäøóåóÇÑö æóÃóäóÇ ÃóÛúÝöÑõ ÇáÐøõäõæÈó ÌóãöíÚðÇ ÝóÇÓúÊóÛúÝöÑõæäöì ÃóÛúÝöÑú áóßõãú
íóÇ ÚöÈóÇÏöì Åöäøóßõãú áóäú ÊóÈúáõÛõæÇ ÖóÑøöì ÝóÊóÖõÑøõæäöì æóáóäú ÊóÈúáõÛõæÇ äóÝúÚöì ÝóÊóäúÝóÚõæäöì
íóÇ ÚöÈóÇÏöì áóæú Ãóäøó Ãóæøóáóßõãú æóÂÎöÑóßõãú æóÅöäúÓóßõãú æóÌöäøóßõãú ßóÇäõæÇ Úóáóì ÃóÊúÞóì ÞóáúÈö ÑóÌõáò æóÇÍöÏò ãöäúßõãú ãóÇ ÒóÇÏó Ðóáößó Ýöì ãõáúßöì ÔóíúÆðÇ
íóÇ ÚöÈóÇÏöì áóæú Ãóäøó Ãóæøóáóßõãú æóÂÎöÑóßõãú æóÅöäúÓóßõãú æóÌöäøóßõãú ßóÇäõæÇ Úóáóì ÃóÝúÌóÑö ÞóáúÈö ÑóÌõáò æóÇÍöÏò ãóÇ äóÞóÕó Ðóáößó ãöäú ãõáúßöì ÔóíúÆðÇ
íóÇ ÚöÈóÇÏöì áóæú Ãóäøó Ãóæøóáóßõãú æóÂÎöÑóßõãú æóÅöäúÓóßõãú æóÌöäøóßõãú ÞóÇãõæÇ Ýöì ÕóÚöíÏò æóÇÍöÏò ÝóÓóÃóáõæäöì ÝóÃóÚúØóíúÊõ ßõáøó ÅöäúÓóÇäò ãóÓúÃóáóÊóåõ ãóÇ äóÞóÕó Ðóáößó ãöãøóÇ ÚöäúÏöì ÅöáÇøó ßóãóÇ íóäúÞõÕõ ÇáúãöÎúíóØõ ÅöÐóÇ ÃõÏúÎöáó ÇáúÈóÍúÑó
íóÇ ÚöÈóÇÏöì ÅöäøóãóÇ åöìó ÃóÚúãóÇáõßõãú ÃõÍúÕöíåóÇ áóßõãú Ëõãøó ÃõæóÝøöíßõãú ÅöíøóÇåóÇ Ýóãóäú æóÌóÏó ÎóíúÑðÇ ÝóáúíóÍúãóÏö Çááøóåó æóãóäú æóÌóÏó ÛóíúÑó Ðóáößó ÝóáÇó íóáõæãóäøó ÅöáÇøó äóÝúÓóåõ


“Wahai hamba-hamba-Ku! Sungguh, Aku telah mengharamkan kezaliman bagi diri-Ku dan Kujadikan ia diharamkan bagi kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi satu sama lain.
Wahai hamba-hamba-Ku! Masing-masing kalian tersesat kecuali yang Kuberi petunjuk, maka mintalah petunjuk kepada-Ku, niscaya Aku memberi kalian petunjuk.

Wahai hamba-hamba-Ku, masing-masing kalian lapar kecuali yang Kuberi makan, maka mintalah makan kepada-Ku, niscaya Aku memberi kalian makan.
Wahai hamba-hamba-Ku! Masing-masing kalian telanjang kecuali yang Kuberi pakaian, maka mintalah pakaian kepada-Ku, niscaya Aku memberi kalian pakaian.

Wahai hamba-hamba-Ku!, Sungguh, kalian senantiasa melakukan kesalahan pada malam dan siang hari sedangkan Aku mengampuni semua dosa, maka mohonlah ampunan kepada-Ku niscaya Aku memberikan ampunan kepada kalian.
Wahai hamba-hamba-Ku! Sungguh, kalian tidak akan dapat membahayakan-Ku juga tidak dapat memberikan manfaat kepada-Ku.

Wahai hamba-hamba-Ku!, Sekiranya orang pertama hingga terakhir di antara kalian, baik dari kalangan manusia maupun jin, keadaan hati kalian semua seperti hati orang yang paling bertakwa di antara kalian, niscaya hal itu tidak menambah kerajaan-Ku sedikitpun.

Wahai hamba-hamba-Ku!, Sekiranya orang pertama hingga terakhir di antara kalian, baik dari kalangan manusia maupun jin, keadaan hati kalian semua seperti hati orang yang paling durhaka di antara kalian, niscaya hal itu tidak mengurangi kerajaan-Ku sedikitpun.

Wahai hamba-hamba-Ku !, Sekiranya orang pertama hingga terakhir di antara kalian, baik dari kalangan manusia maupun jin, berdiri di sebuah bukit, lalu memohon kepada-Ku, lalu Kupenuhi semua permohonan mereka, niscaya hal itu tidak mengurangi apa yang ada pada-Ku kecuali seperti jarum yang dicelupkan ke laut.

Wahai hamba-hamba-Ku!, Sungguh, perbuatan kalian akan Kuperhitungkan, kemudian Aku memberi kalian balasannya. Barang siapa mendapat kebaikan hendaklah memuji Allah dan barang siapa mendapat selain itu maka jangan sekali-kali mencela selain dirinya.”
(HR. Muslim 2577 dan Tirmidzi 2497).

FiIrman-Nya,


íóÇ ÚöÈóÇÏöì ßõáøõßõãú ÌóÇÆöÚñ ÅöáÇøó ãóäú ÃóØúÚóãúÊõåõ ÝóÇÓúÊóØúÚöãõæäöì ÃõØúÚöãúßõãú


“Wahai hamba-hamba-Ku, masing-masing kalian lapar kecuali yang Kuberi makan, maka mintalah makan kepada-Ku, niscaya Aku memberi kalian makan.”


íóÇ ÚöÈóÇÏöì ßõáøõßõãú ÚóÇÑò ÅöáÇøó ãóäú ßóÓóæúÊõåõ ÝóÇÓúÊóßúÓõæäöì ÃóßúÓõßõãú


“Wahai hamba-hamba-Ku! Masing-masing kalian telanjang kecuali yang Kuberi pakaian, maka mintalah pakaian kepada-Ku, niscaya Aku memberi kalian pakaian.”

Ini menunjukkan dua prinsip yang agung; Pertama, kewajiban bertawakkal kepada Allah -ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì- dalam urusan rizki, mencakup hal yang mendatangkan manfaat seperti makanan dan mencegah madharat seperti pakaian. Kedua, tidak ada yang memiliki kemampuan mutlak memberi makan dan pakaian selain Allah -ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì-, sedangkan kemampuan yang dimiliki sebagian orang terbatas pada melakukan beberapa sebab untuk mewujudkan hal itu.

Allah -ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì- berfirman,


æóÚóáóì ÇáúãóæúáõæÏö áóåõ ÑöÒúÞõåõäøó æóßöÓúæóÊõåõäøó ÈöÇáúãóÚúÑõæÝö


“Kewajiban ayah memberi makan dan pakaian mereka dengan cara yang ma'ruf.” (QS. Al-Baqarah: 233).


æóáóÇ ÊõÄúÊõæÇ ÇáÓøõÝóåóÇÁó ÃóãúæóÇáóßõãõ ÇáøóÊöí ÌóÚóáó Çááøóåõ áóßõãú ÞöíóÇãðÇ æóÇÑúÒõÞõæåõãú ÝöíåóÇ æóÇßúÓõæåõãú


“Janganlah kamu serahkan kepada orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu).” (QS. An-Nisa: 5).

Yang diperintahkan di sini adalah yang mampu dilakukan hamba. Begitu pula yang diperintahkan dalam firman Allah -ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì-:


Ãóæú ÅöØúÚóÇãñ Ýöí íóæúãò Ðöí ãóÓúÛóÈóÉò . íóÊöíãðÇ ÐóÇ ãóÞúÑóÈóÉò . Ãóæú ãöÓúßöíäðÇ ÐóÇ ãóÊúÑóÈóÉò


“Atau memberi makan pada hari kelaparan. (Kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat. Atau orang miskin yang sangat fakir.” (al-Balad: 14-16).


æóÃóØúÚöãõæÇ ÇáúÞóÇäöÚó æóÇáúãõÚúÊóÑ


“Berilah makan orang yang merasa cukup dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.” (al-Hajj: 36).


ÝóßõáõæÇ ãöäúåóÇ æóÃóØúÚöãõæÇ ÇáúÈóÇÆöÓó ÇáúÝóÞöíÑ


“Maka makanlah sebagian darinya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (al-Hajj: 28).


æóÅöÐóÇ Þöíáó áóåõãú ÃóäúÝöÞõæÇ ãöãøóÇ ÑóÒóÞóßõãõ Çááøóåõ ÞóÇáó ÇáøóÐöíäó ßóÝóÑõæÇ áöáøóÐöíäó ÂãóäõæÇ ÃóäõØúÚöãõ ãóäú áóæú íóÔóÇÁõ Çááøóåõ ÃóØúÚóãóåõ


“Apabila dikatakan kepada mereka,'Infakkan sebagian rizki yang diberikan Allah kepadamu.’ Orang-orang kafir itu berkata kepada orang-orang beriman, ‘Apakah pantas kami memberi makan kepada orang-orang yang jika Allah menghendaki Dia akan memberinya makan’.” (Qs. Yasin: 47).

Di sini, Allah -ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì- mencela siapa saja yang meninggalkan perintah karena mengandalkan jalannya takdir semata. Dari sini bisa diketahui bahwa sebab-sebab yang diperintahkan atau yang mubah tidak bertentangan dengan kewajiban bertawakal kepada Allah -ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì- ketika ada sebab. Sebaliknya, kebutuhan kepada Allah -ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì- tetap ada sekalipun sebabnya telah dilakukan. Karena tidak ada satu makhluk pun yang bisa menjadi sebab sempurna dalam mewujudkan tujuan. Karena itu, berbagai peristiwa yang terjadi tidak mesti seiring dengan hal yang dijadikan sebagai sebab kecuali dengan kehendak Allah -ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì-. Karena apa yang dikehendaki Allah -ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì- pasti terjadi dan yang tidak dikehendaki oleh Allah -ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì- pasti tidak terjadi. Barang siapa yang mengandalkan sebab sehingga merasa tidak membutuhkan tawakal, berarti telah meninggalkan apa yang diwajibkan Allah -ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì- kepadanya yaitu bertawakal, yang berarti ia telah merusak kesempurnaan tauhid.

Karena itu, orang yang mengandalkan sebab semacam itu akan dikecewakan. Siapa saja yang mengharapkan kemenangan dan rizki dari selain Allah -ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì-, niscaya Allah -ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì- akan menjadikannya kecewa.
Sebagaimana perkataan Ali bin Abi Thalib -ÑóÖöíó Çááåõ Úóäúåõ-:


áóÇ íóÑúÌõæóäøó ÚóÈúÏñ ÅöáøóÇ ÑóÈøóåõ æóáóÇ íóÎóÇÝóäøó ÅöáøóÇ ÐóäúÈóåõ


"Janganlah sekali-kali seorang hamba berharap kecuali kepada Rabbnya dan janganlah sekali-kali ia takut kecuali kepada dosanya."

Allah -ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì- berfirman,


ãóÇ íóÝúÊóÍö Çááøóåõ áöáäøóÇÓö ãöäú ÑóÍúãóÉò ÝóáóÇ ãõãúÓößó áóåóÇ æóãóÇ íõãúÓößú ÝóáóÇ ãõÑúÓöáó áóåõ ãöäú ÈóÚúÏöåö æóåõæó ÇáúÚóÒöíÒõ ÇáúÍóßöíã


“Apa saja di antara rahmat Allah yang dianugerahkan kepada manusia, maka tidak ada yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan-Nya, maka tidak ada yang sanggup untuk melepaskannya setelah itu. Dialah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (QS. Fathir: 2).


æóÅöäú íóãúÓóÓúßó Çááøóåõ ÈöÖõÑøò ÝóáóÇ ßóÇÔöÝó áóåõ ÅöáøóÇ åõæó æóÅöäú íõÑöÏúßó ÈöÎóíúÑò ÝóáóÇ ÑóÇÏøó áöÝóÖúáöåö íõÕöíÈõ Èöåö ãóäú íóÔóÇÁõ ãöäú ÚöÈóÇÏöåö


“Jika Allah menimpakan suatu bencana kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagimu, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan kepada siapa yang dikehendaki di antara hamba-hamba-Nya ...” (Yunus: 107).


Þõáú ÃóÝóÑóÃóíúÊõãú ãóÇ ÊóÏúÚõæäó ãöäú Ïõæäö Çááøóåö Åöäú ÃóÑóÇÏóäöíó Çááøóåõ ÈöÖõÑøò åóáú åõäøó ßóÇÔöÝóÇÊõ ÖõÑøöåö Ãóæú ÃóÑóÇÏóäöí ÈöÑóÍúãóÉò åóáú åõäøó ãõãúÓößóÇÊõ ÑóÍúãóÊöåö Þõáú ÍóÓúÈöíó Çááøóåõ Úóáóíúåö íóÊóæóßøóáõ ÇáúãõÊóæóßøöáõæäó


“Maka terangkan kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan mudharat kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan mudharat itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya? Katakanlah,'Cukuplah Allah bagiku.' Kepada-Nyalah bertawakal orang-orang yang berserah diri." (QS. Az-Zumar: 38).

Demikian pula, orang yang bertawakal seraya meninggalkan sebab yang diperintahkan, berarti ia bodoh, zalim dan bermaksiat kepada Allah -ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì- karena meninggalkan perintah-Nya, sebab melaksanakan perintah merupakan ibadah kepada Allah -ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì-. Allah -ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì- berfirman,


ÝóÇÚúÈõÏúåõ æóÊóæóßøóáú Úóáóíúåö


“Maka beribadah dan bertawakallah kepada-Nya.” (QS. Hud: 123).


ÅöíøóÇßó äóÚúÈõÏõ æóÅöíøóÇßó äóÓúÊóÚöíäõ


“Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.” (QS. Al-Fatihah: 5).


Þõáú åõæó ÑóÈøöí áóÇ Åöáóåó ÅöáøóÇ åõæó Úóáóíúåö ÊóæóßøóáúÊõ æóÅöáóíúåö ãóÊóÇÈö


“Katakanlah, Dia Rabbku, tidak ada ilah (sesembahan yang hak) selain Dia, hanya kepada-Nya aku bertawakal dan hanya kepada-Nya aku bertaubat.” (QS. Ar-Ra’d : 30).


Úóáóíúåö ÊóæóßøóáúÊõ æóÅöáóíúåö ÃõäöíÈõ


“Kepada-Nya aku bertawakal dan kepada-Nyalah aku kembali.” (QS. Asy-Syura: 10).


ÑóÈøóäóÇ Úóáóíúßó ÊóæóßøóáúäóÇ æóÅöáóíúßó ÃóäóÈúäóÇ æóÅöáóíúßó ÇáúãóÕöíÑõ ]


“Ya Rabb kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali.” (QS. Al-Mumtahanah: 4).

Orang yang melaksanakan perintahNya tapi meninggalkan tawakal yang juga perintahNya, tidak lebih besar dosanya dibandingkan dengan orang yang bertawakal tetapi meninggalkan sebab yang juga diperintahkan kepadanya. Keduanya mengurangi apa yang diwajibkan kepadanya, selain sama dalam hal jenis dosa, bisa jadi salah satunya lebih tercela. Namun, sebenarnya bertawakal juga merupakan salah satu sebab.

Abu Dawud telah meriwayatkan dalam sunannya, "Sesungguhnya Nabi -Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó- pernah memutuskan perselisihan yang terjadi antara dua orang, maka orang yang dikalahkan dalam keputusan itu berkata,


ÍóÓúÈöíó Çááøóåõ æóäöÚúãó Çáúæóßöíúáõ


“Cukuplah Allah bagiku dan Dia sebaik-baik tempat berserah diri.”

Maka, Nabi -Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó- bersabda,


Åöäøó Çááøóåó íóáõæãõ Úóáóì ÇáúÚóÌúÒö æóáóßöäú Úóáóíúßó ÈöÇáúßóíúÓö ÝóÅöÐóÇ ÛóáóÈóßó ÃóãúÑñ ÝóÞõáú ÍóÓúÈöìó Çááøóåõ æóäöÚúãó Çáúæóßöíáõ


“Sesungguhnya Allah mencela sikap lemah, tetapi hendaklah engkau menjadi orang cerdas, jika suatu urusan tidak mampu kau upayakan, barulah ucapkan: ÍóÓúÈöìó Çááøóåõ æóäöÚúãó Çáúæóßöíáõ (Cukuplah Allah bagiku dan Dia sebaik-baik tempat berserah diri).”

Dalam Shahih Muslim diriwayatkan dari Abu Hurairah -ÑóÖöíó Çááåõ Úóäúåõ- bahwa Nabi -Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó- pernah bersabda,


ÇáúãõÄúãöäõ ÇáúÞóæöìøõ ÎóíúÑñ æóÃóÍóÈøõ Åöáóì Çááøóåö ãöäó ÇáúãõÄúãöäö ÇáÖøóÚöíÝö¡ æóÝöì ßõáøò ÎóíúÑñ¡ ÇÍúÑöÕú Úóáóì ãóÇ íóäúÝóÚõßó¡ æóÇÓúÊóÚöäú ÈöÇááøóåö æóáÇó ÊóÚúÌöÒú¡ æóÅöäú ÃóÕóÇÈóßó ÔóìúÁñ ÝóáÇó ÊóÞõáú áóæú Ãóäøöì ÝóÚóáúÊõ ßóÇäó ßóÐóÇ æóßóÐóÇ. æóáóßöäú Þõáú: ÞóÏóÑõ Çááøóåö æóãóÇ ÔóÇÁó ÝóÚóáó¡ ÝóÅöäøó áóæú ÊóÝúÊóÍõ Úóãóáó ÇáÔøóíúØóÇäö


“Orang mukmin kuat itu lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada orang mukmin lemah, dan pada masing-masing terdapat kebaikan. Bersemangatlah untuk meraih apa yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan Allah. Jangan bersikap lemah! Jika suatu musibah menimpamu, janganlah mengatakan, 'Andaikata dulu aku melakukan begini, tentu terjadi begini', tetapi katakanlah, 'Sudah menjadi ketentuan Allah, apa yang Dia kehendaki niscaya terjadi', karena 'andaikata' itu membuka pintu setan.”

Dalam sabda beliau - Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó-,


ÇÍúÑöÕú Úóáóì ãóÇ íóäúÝóÚõßó æóÇÓúÊóÚöäú ÈöÇááøóåö æóáÇó ÊóÚúÌöÒú


“Bersemangatlah untuk meraih apa yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan Allah. Jangan bersikap lemah!.”

Beliau -Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó- memerintahkan untuk mengupayakan sebab yang diperintahkan, yaitu bersemangat dalam upaya meraih hal yang bermanfaat. Sekalipun demikian, beliau -Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó- juga memerintahkan bertawakal, yaitu memohon pertolongan AllahÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì. Barang siapa mengandalkan salah satu dari keduanya, berarti ia telah bermaksiat dalam salah satu perintah itu. Beliau -Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó- juga melarang bersikap lemah yang merupakan kebalikan dari sikap cerdas. Sebagaimana beliau -Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó- bersabda dalam hadits lain,


Åöäøó Çááåó íóáõæúãõ Úóäö ÇáúÚóÌúÒö æóáóßöäú Úóáóíúßó ÈöÇáúßóíúÓö


“Sesungguhnya Allah mencela sikap lemah, tetapi hendaklah kamu bersikap cerdas.”


ÇóáúßóíøöÓõ ãóäú ÏóÇäó äóÝúÓóåõ æóÚóãöáó áöãóÇ ÈóÚúÏó ÇáúãóæúÊö . æóÇáúÚóÇÌöÒõ ãóäú ÃóÊúÈóÚó äóÝúÓóåõ åóæóÇåóÇ æó Êóãóäøóì Úóáóì Çááåö


“Orang cerdas adalah yang mengevaluasi dirinya dan berbuat apa yang akan dihadapi sesudah mati, sedangkan orang lemah adalah yang membiarkan dirinya menuruti hawa nafsunya, seraya mengangankan banyak hal kepada Allah.”

Jadi 'ajiz (orang lemah), menurut hadits tersebut, kebalikan dari kayyis (orang cerdas).

Adapun orang yang mengartikan 'ajiz sebagai kebalikan dari barr (orang berbakti), berarti telah menyimpangkan makna hadits dan tidak memahami maknanya. Di antaranya hadits berikut:


ßõáøõ ÔóíúÁò ÈöÞóÏóÑò ÍóÊøóì ÇáúÚóÌúÒõ æóÇáúßóíøöÓõ


“Segala sesuatu dengan takdir, termasuk sikap lemah maupun sikap cerdas.”

Salah satunya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam shahihnya, dari Ibnu Abbas, ia berkata,

“Dulu para penduduk Yaman biasa berhaji tanpa membawa perbekalan. Mereka mengatakan, 'Kami bertawakal.' Begitu datang, mereka meminta-minta kepada orang-orang. Maka Allah -ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì- berfirman,


æóÊóÒóæøóÏõæÇ ÝóÅöäøó ÎóíúÑó ÇáÒøóÇÏö ÇáÊøóÞúæóì


“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (QS. Al-Baqarah: 197).

Barang siapa yang melaksanakan perintah untuk berbekal, menggunakan bekalnya dalam ketaatan kepada Allah -ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì- dan mendermakan sebagian kepada orang yang membutuhkan, berarti ia telah mentaati Allah -ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì- dalam kedua persoalan ini. Berbeda dengan orang yang meninggalkan perintah itu karena mengharap pemberian dari jama'ah haji yang lain. Jika orang yang berbekal tidak bertawakal kepada Allah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì- dan tidak membantu orang yang membutuhkan, di mana kedua hal itu merupakan kewajibannya, tindakannya meninggalkan perintah ini bisa jadi sama dengan tindakan orang yang tidak melaksanakan perintah berbekal. Nash-nash ini menjelaskan kesalahan beberapa kelompok.

Ada satu kelompok yang melemahkan masalah mengupayakan sebab yang diperintahkan. Mereka menganggapnya sebagai sesuatu yang mengurangi atau menyebabkan cacat dalam tauhid dan tawakal, serta beranggapan bahwa meninggalkan sebab merupakan salah satu wujud kesempurnaan tawakal dan tauhid. Mereka keliru dalam memandang persoalan ini. Kadang kekeliruan itu disertai dengan tindakan memperturutkan hawa nafsu sehingga membuat dirinya merasa nyaman dengan pengangguran.

Karena itu, Anda mendapati meyoritas orang yang meninggalkan perintah "pengupayaan sebab" ini menggantungkan diri kepada sebab lain yang lebih rendah dari itu. Mereka mungkin menggantungkan hati kepada orang lain dengan penuh rasa harap dan takut atau sikap berlebihan mereka dalam tawakal membuat mereka meninggalkan amalan-amalan wajib dan sunnah yang lebih bermanfaat, misalnya bertawakal atas kesembuhan penyakit tetapi tidak mengupayakan obat atau tentang perolehan rezeki tanpa bekerja meski terkadang hal itu berhasil diperolehnya.

Tetapi sebenarnya usaha pengobatan dan amal shalih lebih bermanfaat baginya, bahkan bisa jadi lebih wajib daripada mengonsentrasikan diri dalam persoalan kecil yang nilainya hanya satu dirham atau semacamnya ini.

Yang lebih parah dari mereka adalah orang yang menyangka bahwa tawakal dan doa juga hanya berlaku bagi orang istimewa, karena mereka menganggap bahwa orang-orang istimewa adalah yang menerima takdir apa saja yang terjadi padanya. Sedangkan dalam hadits qudsi ini Allah -ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì- berfirman,


ßõáøõßõãú ÌóÇÆöÚñ ÅöáÇøó ãóäú ÃóØúÚóãúÊõåõ ÝóÇÓúÊóØúÚöãõæäöì ÃõØúÚöãúßõãú


“Masing-masing kalian lapar kecuali yang Kuberi makan, maka mintalah makan kepada-Ku, niscaya Aku memberi kalian makan.”

Dan,


ÝóÇÓúÊóßúÓõæäöì ÃóßúÓõßõãú


“Mintalah pakaian kepada-Ku, niscaya Aku memberi kalian pakaian.”

Wallahu A'lam. (Redaksi).

Sumber:

Majmu'ur Rasailil Muniriyah, Syaikhul Islam Taqiyuddin Ahmad bin Abdulhalim bin Taimiyah, Juz 3, hal.205.

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=lihatannur&id=902