Artikel : Bulein Annur - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits

Adab-adab Menuntut Ilmu

Senin, 30 Nopember 20

Adab-adab Menuntut Ilmu

1. Mengikhlaskan niat karena Allah Ta’ala (semata) dalam menuntut dan mencari ilmu.

2. Mengenal (dengan baik) keutamaan (kedudukan) ilmu syariat dan urgensinya.

3. Berdoa kepada Allah agar mendapatkan taufik untuk menuntut ilmu.

4. Berantusias untuk berpetualang (ke berbagai tempat) dalam rangka menuntut ilmu. [1]

5. Menghadiri majelis-majelis ilmu yang mampu dia lakukan.

6. Apabila seseorang datang terlambat ke suatu majelis ilmu, maka yang lebih utama adalah tidak mengucapkan salam apabila akan mengakibatkan terpotongnya mereka dari pelajaran, sedangkan apabila tidak berpengaruh apa-apa, maka mengucapkan salam merupakan suatu kesunnahan. [2]

7. Diriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullah, bahwasanya seorang laki-laki bertanya kepadanya dengan mengatakan, "Aku telah menuntut ilmu, namun ibuku melarangku dari melakukan itu, karena dia ingin aku menyibukkan diri untuk berdagang (bisnis) saja?" Maka Imam Ahmad berkata kepadanya, "Tetaplah berada di rumahnya, dan buatlah dia ridha, serta jangan meninggalkan menuntut ilmu." [3]

8. Sesungguhnya tidak mengamalkan ilmu adalah salah satu sebab yang dapat menghapus keberkahan ilmu. Sungguh Allah telah mencela orang yang keadaannya seperti ini, seraya berfirman,


íóÇÃóíøõåóÇ ÇáøóÐöíäó ÂãóäõæÇ áöãó ÊóÞõæáõæäó ãóÇ áóÇ ÊóÝúÚóáõæäó . ßóÈõÑó ãóÞúÊðÇ ÚöäúÏó Çááøóåö Ãóäú ÊóÞõæáõæÇ ãóÇ áóÇ ÊóÝúÚóáõæäó


"Hai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian perbuat. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan." (Ash-Shaff: 2-3).

Dan terdapat riwayat dari Imam Ahmad rahimahullah, bahwasanya beliau berkata, "Tidaklah aku menulis suatu hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, melainkan (pasti) aku telah mengamalkannya, hingga aku mendapatkan sebuah hadits,


Ãóäøó ÇáäøóÈöíøó ÇÍúÊóÌóãó æóÃóÚúØóì ÃóÈóÇ ØóíúÈóÉó ÏöíúäóÇÑðÇ


‘Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berbekam, dan memberikan Abu Thaibah (tukang bekam) satu dinar.’ [4] 

Maka aku pun memberikan satu dinar kepada tukang bekam ketika aku berbekam." [5]

9. Merasa sedih terhadap para syaikh yang semasa dengannya dan merasa kehilangan mereka [6] (apabila mereka wafat), serta meneladani adab dan akhlak mereka. Sungguh al-Khallal rahimahullah telah meriwayatkan tentang akhlak Imam Ahmad, dari Ibrahim, dia berkata, “Mereka (para penuntut ilmu) apabila datang kepada seorang ulama untuk mengambil ilmu darinya, maka mereka terlebih dahulu memperhatikan (dari ulama tersebut) shalat, sifat, dan kondisi lahirnya, kemudian baru mereka mengambil darinya.”

Dan dari al-A’masy diriwayatkan bahwasanya beliau berkata, "Para penuntut ilmu itu belajar segala sesuatu dari seorang ulama fikih hingga cara berpakaian dan cara bersandalnya." [7]

10. Beradab dan berperilaku baik dalam menuntut ilmu.

11. Menghadiri majelis ilmu secara kontinu dan tidak bermalas-malasan.

12. Tidak berputus asa dan merasa minder, serta hendaklah senantiasa mengingat Firman Allah Ta’ala,


æóÇááøóåõ ÃóÎúÑóÌóßõãú ãöäú ÈõØõæäö ÃõãøóåóÇÊößõãú áóÇ ÊóÚúáóãõæäó ÔóíúÆðÇ


"Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun." (An-Nahl: 78).

Khususnya ketika merasakan kesulitan pada ilmu yang dipelajarinya.

13. Membaca buku-buku yang berkaitan dengan menuntut ilmu dan mengenal manhaj yang shahih dalam menuntut ilmu, serta dapat mengenali rahasia kelemahan dan kekeliruan yang ada pada dirinya.

14. Berantusias untuk menghadiri majelis ilmu di awal waktu, dan memanfaatkan waktu dengan baik.

15. Berusaha mengejar ketinggalan pelajaran yang luput (diikutinya).

16. Membuat catatan faidah-faidah penting di sampul buku atau di catatan luar (lembar tersendiri).

17. Berantusias untuk mengkaji ulang faidah-faidah ilmiah (yang didapatkan).

18. Ketika membeli suatu kitab, hendaklah dia mengumpulkan (isi)nya dalam rangkuman umum.

19. Tidak melemparkan kitab di lantai. Sungguh seorang laki-laki telah melakukan demikian di hadapan Imam Ahmad rahimahullah, maka beliau marah dan berkata, "Seperti itukah perlakuan terhadap perkataan orang-orang baik?" [8]

20. Tidak memotong (perkataan) guru ketika berbicara, hingga dia selesai dari masalah yang dibicarakannya. Imam al-Bukhari rahimahullah berkata, “Bab Man Su’ila Ilman wa Huwa Musytaghil fi Haditsihi fa Atamma al-Hadits Tsumma Ajaba as-Sa’ila (Bab Tentang Orang yang ditanya tentang suatu ilmu sedangkan dia dalam keadaan sibuk berbicara, maka hendaklah dia meneruskan pembicaraannya sampai sempurna kemudian menjawab pertanyaan penanya)”, kemudian al-Bukhari menyebutkan hadits yang di dalamnya disebutkan,


Ãóäøó ÃóÚúÑóÇÈöíøðÇ ÞóÇáó¡ æóÇáäøóÈöíøõ Õóáøóì Çááøóåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó íóÎúØõÈõ: ãóÊóì ÇáÓøóÇÚóÉõ¿ ÝóãóÖóì ÇáÑøóÓõæúáõ Ýöíú ÍóÏöíúËöåö æóÃóÚúÑóÖó Úóäúåõ ÍóÊøóì ÅöÐóÇ ÞóÖóì ÍóÏöíúËóåõ¡ ÞóÇáó: Ãóíúäó ÃõÑóÇåõ ÇáÓøóÇÆöáõ Úóäö ÇáÓøóÇÚóÉö¿


"Bahwa seorang Arab Badui bertanya, ‘Kapan Kiamat tiba?’, sementara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sedang berdialog, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun meneruskan pembicaraannya, dan berpaling darinya, hingga ketika beliau telah menyelesaikan pembicaraannya, beliau bersabda, ‘Mana orang yang aku duga bertanya tentang Hari Kiamat tadi?’" [9]

21. Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, "Apabila seorang penuntut ilmu sulit memahami suatu pembahasan, maka dia harus bersabar hingga pembahasan tersebut selesai, kemudian dia bertanya kepada gurunya dengan penuh adab dan lemah lembut, dan jangan memotong ucapan gurunya di tengah pembahasan." [10]

22. Bersikap penuh adab dalam mengemukakan pertanyaan kepada guru, maka janganlah seseorang itu bertanya hal-hal yang menyusahkan diri, atau dengan memfasih-fasihkan ucapan, atau bertanya tentang sesuatu yang dia mengetahui jawabannya dengan maksud untuk melemahkan guru, atau menampakkan bahwa dirinya lebih berilmu, atau bertanya tentang sesuatu yang sebenarnya tidak pernah terjadi. Para ulama Salaf mencela pertanyaan semacam ini, apabila di dalam pertanyaan itu terkandung sikap menyusahkan diri. [11]

23. Hendaklah orang yang menuntut ilmu menegakkan hak-hak ilmu di masjid. [12]

24. Orang yang menuntut ilmu itu hendaknya menegakkan hak-hak ilmu di rumahnya. Imam al-Bukhari rahimahullah berkata, "Bab Ta'lim ar-Rajul Amatahu wa Ahlahu (Laki-laki mengajarkan ilmu kepada sahaya dan istrinya).” Kemudian beliau menyebutkan isnad-nya kepada Abu Musa al-Asy'ari radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,


ËóáóÇËóÉñ áóåõãú ÃóÌúÑóÇäö: ÑóÌõáñ ãöäú Ãóåúáö ÇáúßöÊóÇÈö Âãóäó ÈöäóÈöíøöåö æóÂãóäó ÈöãõÍóãøóÏò Õóáøóì Çááøóåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó ¡ æóÇáúÚóÈúÏõ Çáúãóãúáõæúßõ ÅöÐóÇ ÃóÏøóì ÍóÞøó Çááøٰåö æóÍóÞøó ãóæóÇáöíúåö¡ æóÑóÌõáñ ßóÇäóÊú ÚöäúÏóåõ ÃóãóÉñ  ÝóÃóÏøóÈóåóÇ ÝóÃóÍúÓóäó ÊóÃúÏöíúÈóåóÇ¡ æóÚóáøóãóåóÇ ÝóÃóÍúÓóäó ÊóÚúáöíúãóåóÇ¡ Ëõãøó ÃóÚúÊóÞóåóÇ ÝóÊóÒóæøóÌóåóÇ¡ Ýóáóåõ ÃóÌúÑóÇäö


"Ada tiga golongan manusia yang mendapatkan dua pahala: (pertama), seorang laki-laki dari Ahli Kitab yang beriman kepada nabinya dan beriman kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. (Kedua), seorang sahaya apabila memenuhi hak Allah dan hak para tuannya. Dan (ketiga), seorang laki-laki yang memiliki sahaya perempuan lalu dia mendidiknya dan memperbagus pendidikannya, mengajarkannya dan memperbagus pengajarannya, kemudian dia memerdekakannya lalu menikahinya; maka dia mendapatkan dua pahala." [13]

25. Membaca biografi para ulama.

26. Membaca ilmu pada tema-temanya dan ilmu (yang sesuai dengan) momennya yang beragam sebelum waktunya, seperti Ramadhan dan hukum-hukum yang berkaitan dengan puasa, sepuluh hari (pertama) bulan Dzulhijjah, berkurban, dan sebagainya.

27. Berantusias untuk membeli kitab-kitab yang bertema tunggal (tematik) dalam masalah-masalah fikih seperti buku-buku yang berkaitan dengan shalat sunnah rawatib, atau Qiyamul Lail, atau lainnya.

28. Mendahulukan yang lebih penting (prioritas) dalam menuntut ilmu.

29. Memulai dengan yang paling penting. Di antara petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah memulai dari yang paling penting yang karenanya seseorang beraktivitas. Inilah sebabnya ketika Itban bin Malik mengundang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan dia berkata kepada beliau, "Saya ingin Anda datang (kepadaku) untuk shalat di rumahku untuk aku jadikan –dari tempat yang Anda shalat padanya– sebagai mushalla (tempat shalat) bagiku." Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun pergi (ke rumah Itban) bersama sejumlah orang dari sahabat beliau. Tatkala beliau tiba di rumah Itban dan meminta izin (bertamu) lalu masuk, ternyata Itban telah menyiapkan makanan untuk mereka. Akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memulai dengan (menyantap) makanan tersebut, justru beliau bersabda, “Di mana tempat yang engkau inginkan agar aku shalat padanya?” Maka dia pun memperlihatkannya kepada beliau, lalu beliau shalat, kemudian beliau duduk untuk (menyantap) makanan tersebut. [14]

30. Waspada dari sifat sok berilmu.

31. Senantiasa memuji Allah saat mengingatNya.

32. Bershalawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika mengingat beliau.

33. Mendoakan para sahabat agar mendapatkan keridhaan Allah (radhiyallahu ‘anhum) ketika menyebut nama mereka.

34. Mendoakan rahmat bagi para ulama (rahimahumullah) ketika menyebut nama mereka. [15]

35. Tidak menisbatkan suatu perkataan kepada suatu kitab rujukan kecuali apabila Anda telah membaca isi kandungannya.

36. Tidak menisbatkan hadits kepada selain al-Bukhari dan Muslim, apabila hadits bersangkutan terdapat pada riwayat mereka berdua atau salah seorang dari mereka berdua.

37. Melakukan verifikasi dalam menukil perkataan.

38. Menisbatkan poin penting ilmiah kepada pemiliknya.

39. Tidak menganggap remeh suatu poin penting, walaupun itu sedikit.

40. Waspada dari sikap menyembunyikan poin penting ilmiah.

41. Waspada dari memperkuat pendapat dengan hadits yang lemah dan maudhu' (palsu).

42. Tidak (terburu-buru) mendhaifkan hadits kecuali setelah melakukan penelitian dan bertanya (kepada ahlinya).

43. Tidak meremehkan permasalahan yang ditanyakan, karena pertanyaan biasanya membuka pintu untuk melakukan penelitian dan penelaahan secara seksama.

44. Membiasakan diri membawa buku catatan kecil untuk menulis poin penting dan masalah-masalah ilmiah.

45. Waspada dari banyak menyibukkan diri dengan hal-hal yang mubah.

46. Tidak menyibukkan diri dengan banyak memfotokopi manuskrip-manuskrip dan meneliti berbagai cetakan yang begitu banyak untuk satu kitab, kecuali untuk suatu faidah. (Karena itu akan lebih banyak membuang waktu ketimbang faidah asasi yang didapatkan).

47. Mengunjungi perpustakaan dan menelaah kitab-kitab yang bagus.

48. Menghindari generalisasi istilah ilmiah yang mirip dalam sisi lafazh. [16]

49. Memiliki semangat yang kuat untuk membaca kitab-kitab yang menjelaskan istilah para penulis, atau menjelaskan metodologi kitab dan obyek pembahasannya.

50. Tidak terburu-buru dalam memahami perkataan, baik perkataan yang dibaca maupun yang didengar. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan dari Ayyub as-Sakhtiyani rahimahullah bahwasanya apabila beliau ditanya oleh seseorang, maka beliau berkata kepadanya, "Ulangi." Jika orang itu mengulangi pertanyaannya sebagaimana dia bertanya kepadanya pertama kali, maka beliau menjawabnya, namun jika tidak, maka beliau tidak menjawabnya. [17]

51. Memperbanyak (porsi) membaca kitab-kitab fatwa.

52. Tidak terburu-buru dalam menafikan yang umum (dari suatu faidah ilmiah atau suatu pendapat, Pent.).

53. Apabila seseorang meriwayatkan suatu hadits secara maknawi, maka hendaklah dia menjelaskannya. [18]

54. Menghindari penggunaan lafazh (yang memiliki konotasi) pengagungan untuk memuji diri sendiri.

55. Menerima kritik dan nasihat dengan tulus (ikhlas), dan bukan basa-basi.

56. Tidak berkecil hati karena sedikitnya orang-orang yang mengambil faidah (mengaji kepadanya). Imam adz-Dzahabi rahimahullah menyebutkan dalam biografi Atha’ bin Abi Rabah, bahwa tidaklah orang yang duduk bersama beliau (untuk mengambil ilmunya, Pent.) melainkan sembilan atau delapan orang. [19]

57. Waspada dari menyia-nyiakan waktu dalam rangka meneliti masalah-masalah yang tidak ada faidahnya, seperti masalah-masalah syadz (pendapat yang nyeleneh, Pent.) dan perkara-perkara yang aneh, misalnya tentang warna anjing Ashabul Kahfi, pohon yang Nabi Adam ‘alaihissalam memakan buahnya, panjang perahu Nabi Nuh ‘alaihissalam, dan seterusnya.

58. Tidak menyibukkan diri dengan mengambil faidah-faidah dan pembahasan tambahan lainnya ketika tengah melakukan penelitian terhadap suatu masalah.

59. Tidak memperdalam diri pada (aktivitas) memilih (redaksi) lafazh-lafazh. Dan kejelasan ucapan itu sesuai kadar yang dimungkinkan, dan tidak menggunakan ungkapan yang samar, serta istilah-istilah yang asing.

60. Tidak berkata tanpa ilmu, dan tidak perlu merasa berdosa disebabkan meninggalkan pertanyaan tanpa menjawabnya.

61. Tidak terpengaruh oleh tindakan penghinaan yang berkaitan dengan pribadi apabila agamamu telah selamat. Ingatlah perkataan seorang penyair:


æóÅöäú ÈõáöíúÊó ÈöÔóÎúÕò áóÇ ÎóáóÇÞó áóåõ Ýóßõäú ßóÃóäøóßó áóãú ÊóÓúãóÚú æóáóãú íóÞõáö


Jika engkau diberi cobaan dengan (tindakan) seseorang yang tidak memiliki bagian (dari kebaikan)

Maka jadilah engkau seakan-akan belum pernah mendengarnya, dan dia tidak pernah mengatakannya

62. Waspada dari rasa bosan (jenuh).

63. Berantusias untuk melaksanakan shalat sunnah malam (Qiyamul Lail).

64. Meninggalkan istirahat, bicara, dan tidur yang berlebihan, demi ilmu.

65. Seorang penuntut ilmu khususnya dan orang Muslim umumnya, harus berantusias memenuhi hajat-hajat orang banyak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,


ÇöÔúÝóÚõæúÇ ÊõÄúÌóÑõæúÇ


"Jadilah kalian perantara (untuk memenuhi kebutuhan manusia), niscaya kalian diberi pahala." [20]

66. Memenuhi janji. Dan (dalam kaitan ini), sungguh Allah Ta’ala telah memuji para nabi dan rasulNya, sebagaimana Dia berfirman tentang Nabi Isma’il ‘alaihissalam,


Åöäøóåõ ßóÇäó ÕóÇÏöÞó ÇáúæóÚúÏö


"Sesungguhnya dia adalah seorang yang benar janjinya." (Maryam: 54).

67. Santun dan lemah lembut. Allah Ta’ala berfirman,


ÎõÐö ÇáúÚóÝúæó æóÃúãõÑú ÈöÇáúÚõÑúÝö æóÃóÚúÑöÖú Úóäö ÇáúÌóÇåöáöíäó


"Jadilah engkau pemaaf, dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh." (Al-A'raf: 199).

As-Sam'ani menyebutkan dalam al-Ansab, begitu juga Imam adz-Dzahabi dalam Tajrid ash-Shahabah dalam biografi Auf bin Nu'man, "Dahulu di masa Jahiliyah, seorang laki-laki itu suka jika mati dalam keadaan kehausan, tetapi tidak suka jika mati dalam keadaan mengingkari janji." Sungguh telah dikatakan,


ÅöÐóÇ ÞõáúÜÊó Ýöí ÔóÜÜíúÁò: äóÚóÜÜãú¡ ÝóÃóÊöÜÜãøóåõ        ÝóÅöäøó äóÚóãú Ïóíúäñ Úóáóì ÇáúÍõÑøö æóÇÌöÈõ

æóÅöáøóÇ ÝóÞõáú: áóÇ¡ ÝóÇÓúÊóÑöÍú æóÃóÑöÍú ÈöåóÇ       áößóíúáóÇ íóÞõæúáó ÇáäøóÇÓõ: Åöäøóßó ßóÇÐöÈõ


Apabila engkau mengatakan "Ya" pada sesuatu, maka sempurnakanlah (janji itu)

Karena (mengatakan) "Ya" itu merupakan hutang yang wajib atas seorang yang merdeka

Jika tidak, maka katakanlah "Tidak" lalu beristirahatlah, serta legakanlah orang lain dengannya

Agar orang-orang tidak mengatakan, "Sesungguhnya engkau adalah seorang pendusta."

68. Rendah hati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,


Åöäøó Çááøٰåó ÃóæúÍóì Åöáóíøó Ãóäú ÊóæóÇÖóÚõæúÇ ÍóÊøóì áóÇ íóÝúÎóÑó ÃóÍóÏñ Úóáóì ÃóÍóÏò¡ æóáóÇ íóÈúÛö ÃóÍóÏñ Úóáóì ÃóÍóÏò


"Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian berendah hati, hingga seseorang tidak membanggakan diri terhadap orang lain, dan seseorang tidak berbuat melampaui batas terhadap orang lain." [21]

69. Senantiasa bersikap ramah kepada orang-orang dan berlapang dada, serta mendengar segala permasalahan mereka.

70. Bercakap-cakap (tentang agama) dan menyampaikan nasihat kepada orang-orang. Ikrimah meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, di mana beliau berkata, "Sampaikan nasihat kepada orang-orang sekali dalam seminggu. Jika engkau hendak memperbanyak penyampaian, maka dua kali dalam seminggu. Jika engkau hendak memperbanyak penyampaian, maka tiga kali, dan jangan membuat orang jenuh dari (penyampaian) al-Qur’an ini. Jangan pula engkau mendekati suatu kaum yang sedang berbincang-bincang, lalu kamu memotong perbincangan mereka, sehingga kamu dapat membuat mereka bosan, akan tetapi diamlah, lalu jika mereka memintamu (berbicara), maka berbicaralah kepada mereka ketika mereka merasa berminat untuk mendengarnya. Jauhilah dari bersajak dalam berdoa, karena saya telah mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat beliau tidak melakukannya. [22]

71. Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, "Berbicaralah kepada orang-orang dengan apa-apa yang mereka pahami." Dan dalam perkataan beliau terkandung arahan yang menunjukkan bahwa al-mutasyabih (perkataan yang dilalah-nya[23] samar) tidak sepatutnya disebutkan di hadapan orang awam, dan hendaklah berbicara kepada orang-orang dengan apa-apa yang dapat mereka tangkap dengan level akal mereka. Dan mirip dengan ini adalah perkataan Ibnu Mas'ud radhiyallahu ‘anhu, "Tidaklah Anda berbicara kepada suatu kaum suatu pembicaraan (agama) yang tidak mampu dijangkau oleh akal mereka, melainkan akan menjadi fitnah untuk sebagian mereka." [24]


Referensi:

Panduan Lengkap dan Praktis Adab & Akhlak Islami Berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, Majid Sa’ud al-Ausyan, Darul Haq, Cetakan  VI, Dzulhijjah 1440 H. (08. 2019 M.)


Keterangan:

[1] Di antara hadits yang beredar pada lisan (pembicaraan) kaum Muslimin adalah hadits, "Tuntutlah ilmu sekalipun sampai negeri Cina", tetapi hadits ini tidak shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Ibnu Hibban berkata, "Hadits ini adalah batil, dan tidak punya asal usul. Hadits ini telah disampaikan kepada Imam Ahmad rahimahullah, maka beliau mengingkarinya dengan keras. Nash-nash hadits yang banyak tentang keutamaan mencari dan menuntut ilmu telah mencukupi dari hadits yang batil ini. (Lihat Ahadits Muntasyirah La Tatsbut An an-Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, karya Syaikh Abdul Aziz as-Sadhan).

[2] Ini dikatakan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin. (Al-Fatawa al-Islamiyah, 1/175).

[3] Al-Adab asy-Syar'iyyah wa al-Minah al-Mar’iyyah, Muhammad bin Muflih al-Hanbali, Np: Alam al-Kutub, t.th, 2/35.

[4] Muttafaq 'alaih.

[5] Al-Adab asy-Syar'iyyah wa al-Minah al-Mar’iyyah, Muhammad bin Muflih al-Hanbali, Np: Alam al-Kutub, t.th, 2/14. Dan Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang menulis hadits, lalu memperbanyak (menulis)nya, maka beliau menjawab, "Sepatutnya dia juga memperbanyak pengamalan ilmu sesuai dengan kadar peningkatannya dalam menuntut ilmu."

[6] Ibnu Aqil berkata di dalam al-Funun, "Di antara yang aku dapatkan pada adab Ahmad adalah bahwa dia pernah bersandar, dan disebutkanlah nama Ibnu Thahman di sisinya, maka dia menghindarkan punggungnya untuk bersandar, seraya berkata, ‘Tidak seharusnya saat nama orang-orang shalih sedang disebut, sementara kami dalam keadaan bersandar’.” Lihat Al-Adab asy-Syar'iyyah, Muhammad bin Muflih al-Hanbali, Np: Alam al-Kutub, t.th, 2/26.

[7] Al-Adab asy-Syar'iyyah wa al-Minah al-Mar’iyyah, Muhammad bin Muflih al-Hanbali, Np: Alam al-Kutub, t.th, 2/145.

[8] Al-Adab asy-Syar'iyyah wa al-Minah al-Mar’iyyah, Muhammad bin Muflih al-Hanbali, Np: Alam al-Kutub, t.th, 3/389.

[9] Fath al-Bari, 1/171.

[10] Al-Adab asy-Syar'iyyah wa al-Minah al-Mar’iyyah, Muhammad bin Muflih al-Hanbali, Np: Alam al-Kutub, t.th, 2/163.

[11] Tahdzib at-Tahdzib, al-Hafizh Ibnu Hajar, India: Mathba’ah Da`irah al-Ma’arif an-Nizhamiyyah, 1326 H, 8/274; dan Siyar A'lam an-Nubala`, Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman adz-Dzahabi, Beirut: Mu`assasah ar-Risalah, 1402 H, 1/398.

[12] Sehingga menjadi orang-orang yang menyegerakan diri datang menuju Shalat Jum'at dan Shalat Jama'ah dan lain sebagainya.

[13] Fath al-Bari, 1/229. (Penerjemah menambahkan: Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 97).

[14] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 425; dan Muslim, no. 263. Dan hadits ini disebutkan juga oleh Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dalam Syarah Riyadh ash-Shalihin, 3/98.

[15] Sungguh Ibnu Jama’ah al-Kinani telah berkata di dalam Tadzkirah as-Sami’ wa al-Mutakallim, hal. 64, "Boleh jadi sebagian mereka membaca hadits dengan sanadnya, lalu dia mendoakan untuk semua perawi sanad tersebut."

[16] Sebagai contoh: istilah "Muttafaq 'alaih" yang beredar luas dan berlaku umum bahwa maknanya adalah hadits itu diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, tetapi ungkapan "Muttafaq 'alaih" dalam kitab Muntaqa al-Akhbar, milik Majduddin Ibnu Taimiyah, maknanya adalah hadits itu diriwayatkan oleh Ahmad, al-Bukhari dan Muslim.

[17] I'lam al-Muwaqqi'in an Rabb al-Alamin, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1411 H, 2/187.

[18] Sungguh terdapat riwayat dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu ‘anhu bahwa apabila dia menceritakan suatu hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka dia bergetar (ketakutan) karenanya, dan berkata,


 Ãóæú ßóãóÇ ÞóÇáó ÑóÓõæúáõ Çááøٰåö Õóáøóì Çááøóåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó


"Atau sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam." Lihat, Jami' Bayan al-Ilmi wa Fadhlihi.

Dan boleh meriwayatkan hadits secara maknawi menurut Jumhur (mayoritas) ulama ahli hadits dengan syarat: pertama, hendaklah orang yang meriwayatkan itu berilmu tentang apa yang dia riwayatkan. Kedua, agar tidak mengakibatkan –atas perubahan lafazh– perubahan hukum, dengan menambahkan atau mengurangi. (Al-Kitabah fi Ilmi ar-Riwayah, hal. 295).

[19] Siyar A'lam an-Nubala`, Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman adz-Dzahabi, Beirut: Mu`assasah ar-Risalah, 1402 H, 8/107.

[20] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, (no. 1432, Pent.).

[21] Diriwayatkan oleh Muslim, (no. 2865, Pent.).

[22] Sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 6337. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata,


ÍóÏøöËö ÇáäøóÇÓó ßõáøó ÌõãõÚóÉò ãóÑøóÉð¡ ÝóÅöäú ÃóÈóíúÊó ÝóãóÑøóÊóíúäö¡ ÝóÅöäú ÃóßúËóÑúÊó ÝóËóáóÇËó ãöÑóÇÑò¡ æóáóÇ Êõãöáøó ÇáäøóÇÓó åٰÐóÇ ÇáúÞõÑúÂäó æóáóÇ ÃõáúÝöíóäøóßó ÊóÃúÊöí ÇáúÞóæúãó æóåõãú Ýöíú ÍóÏöíúËò ãöäú ÍóÏöíúËöåöãú ÝóÊóÞõÕøõ Úóáóíúåöãú ÝóÊóÞúØóÚõ Úóáóíúåöãú ÍóÏöíúËóåõãú ÝóÊõãöáøõåõãú¡ æóáٰßöäú ÃóäúÕöÊú¡ ÝóÅöÐóÇ ÃóãóÑõæúßó ÝóÍóÏøöËúåõãú æóåõãú íóÔúÊóåõæúäóåõ¡ ÝóÇäúÙõÑö ÇáÓøóÌúÚó ãöäó ÇáÏøõÚóÇÁö ÝóÇÌúÊóäöÈúåõ¡ ÝóÅöäøöíú ÚóåöÏúÊõ ÑóÓõæúáó Çááøٰåö a æóÃóÕúÍóÇÈóåõ áóÇ íóÝúÚóáõæúäó ÅöáøóÇ Ðٰáößó¡ íóÚúäöí áóÇ íóÝúÚóáõæúäó ÅöáøóÇ Ðٰáößó ÇáúÇöÌúÊöäóÇÈó


"Bercakap-cakaplah dengan manusia (untuk menasihati) satu kali pada setiap Jum’at. Lalu jika kamu enggan (melakukannya sekali), maka lakukanlah dua kali. Lalu jika kamu menghendaki banyak, maka tiga kali. Dan janganlah kamu membuat bosan orang-orang pada al-Qur’an ini. Dan janganlah aku mendapatimu mendatangi suatu kaum sementara mereka sedang berbincang-bincang, lalu engkau mengisahkan (suatu nasihat) kepada mereka, lalu kamu memotong pembicaraan mereka, sehingga kamu membuat mereka bosan. Akan tetapi diamlah, lalu apabila mereka menyuruhmu (berbicara), maka berbicaralah kepada mereka dalam keadaan mereka berminat (mendengar)nya. Lalu lihatlah sajak dari doa, lalu jauhilah ia, karena sesungguhnya aku telah mengetahui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya tidak melakukannya kecuali itu." Dia (Ibnu Abbas) memaksudkan, "Mereka tidak melakukan doa (bersajak) kecuali menjauhinya."

[23] (Penunjukannya, Ed.T.).

[24] Diriwayatkan oleh Muslim, (di Muqaddimah Shahihnya, Pent.). Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,


ãóÇ ÃóäúÊó ÈöãõÍóÏøöËò ÞóæúãðÇ ÍóÏöíúËðÇ áóÇ ÊóÈúáõÛõåõ ÚõÞõæúáõåõãú ÅöáøóÇ ßóÇäó áöÈóÚúÖöåöãú ÝöÊúäóÉð


"Tidaklah kamu berbicara pada suatu kaum pembicaraan (tentang agama) yang akal mereka tidak sampai kepadanya, melainkan (pasti) akan menjadi fitnah bagi sebagian mereka."

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=lihatannur&id=891