Artikel : Bulein Annur - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits

Ngalap Berkah dengan Al-Qur’an

Rabu, 30 Januari 19

Kemuliaan dan keutamaan al-Qur’an al-Karim adalah perkara yang tidak diragukan lagi oleh kaum muslimin dari dulu sampai sekarang dan sampai hari Kiamat. Terlebih Allah ‘Azza wa Jalla telah menegaskan dalam firmanNya


æóåóٰÐóÇ ßöÊóÇÈñ ÃóäúÒóáúäóÇåõ ãõÈóÇÑóßñ


“Dan ini (al-Qur’an) adalah Kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi.” (QS. Al- An’am: 92).

Lantas apakah setiap perbuatan yang banyak dilakukan oleh kaum Muslimin terkait ngalap (mencari) berkah dengan al-Qur’an bisa dibenarkan semua secara syariat? Tentunya hal ini tidak bisa serta merta diklaim keabsahannya sebelum kita mengetahui prinsip amalan dan sumber yang menjadi pijakan mereka. Di bawah ini adalah hal-hal seputar ngalap berkah dengan al-Qur’an, sekaligus pandangan syariat tentangnya.

1. Membacakan al-Qur’an pada air kemudian memberikannya kepada orang yang sakit.

Dalam Sunan Abi Dawud dan Shahih Ibni Hibban disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah membacakan al-Qur’an pada air untuk Tsabit bin Qais bin Syams yang ketika itu sedang sakit, kemudian menuangkan air itu padanya. (Sunan Abi Dawud, 4/214, Shahih Ibni Hibban, 7/623).

Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia memperbolehkan pembacaan ta’awwudz (permohonan perlindungan kepada Allah) pada air, kemudian dituangkan kepada orang yang sakit. (Al-Mushannaf Fil Ahadits Wal Atsar, 7/386). Ia juga pernah membacakan surat al-Falaq dan An-Naas pada sebuah bejana air, lalu ia memerintahkan agar menuangkannya pada orang yang sakit. (Tafsir al- Qurthubi, 10/318).

Ada penjelasan mengenai diperbolehkannya hal tersebut dari Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz dengan perkataannya, “…dan demikian pula ruqyah yang dilakukan dengan air, maka hal itu diperbolehkan. Yaitu, dengan membacakan (al-Qur’an) pada air tersebut, lalu meminumkannya kepada orang yang sakit atau dituangkan padanya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melakukan hal itu, para ulama salaf juga pernah melakukan hal yang sama, jadi hal demikian diperbolehkan.” (Majmu’ Fatawa Wa Maqalat Mutanawi’ah, 1/52).

2. Menulis al-Qur’an atau dzikir pada bejana berisi air kemudian meminumnya. Sejumlah ulama salaf berpendapat bahwa hal itu diperbolehkan dan sebagian mereka menganggap makruh.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwasannya ia pernah memerintahkan agar menulis dua ayat al-Qur’an dan beberapa kalimat (pada bejana berisi air) untuk seorang perempuan yang sedang kesulitan dalam proses persalinannya, kemudian (air bejana itu) dibasuhkan dan diminumkan kepadanya. (Al-Mushannaf, 7/385).

Diriwayatkan dari Abu Qilabah pernah menuliskan sebagian ayat al-Qur’an (pada bejana berisi air) kemudian ia membasuh dirinya dengan air itu dan meminumkannya kepada seorang laki-laki yang sedang sakit. (Syarhus Sunnah, 12/166).

Akan tetapi yang lebih utama adalah tidak melakukannya dan merasa cukup dengan apa yang telah ditetapkan dalam syariat berupa ruqyah dengan menggunakan al-Qur’an dan nama-nama Allah yang indah (Asma-ul Husna), serta dzikir-dzikir dan doa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang shahih, ataupun semacamnya, yang dapat diketahui maknanya dan tidak ternodai oleh syirik.

3. Menulis beberapa ayat al-Qur’an pada anggota tubuh orang yang sakit.

Ibnul Qayyim menyebutkan dalil yang membolehkan hal itu, dan gurunya, Ibnu Taimiyyah, pernah melakukannya terhadap dirinya sendiri dan orang lain. Misalnya, Ibnul Qayyim pernah bercerita mengenai sesuatu yang ditulis untuk sakit mimisan, “Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah pernah menulis di atas dahinya,


æóÞöíáó íóٰٓÃóÑúÖõ ٱÈúáóÚöì ãóÂÁóßö æóíóٰÓóãóÂÁõ ÃóÞúáöÚöì æóÛöíÖó ٱáúãóÂÁõ æóÞõÖöìó ٱáúÃóãúÑõ


Dan difirmankan, “Hai bumi telanlah airmu, dan hai langit (hujan) berhentilah.” Sungguh, air pun disurutkan, perintah pun diselesaikan…” (QS. Huud: 44)

Namun, perlu diperhatikan bahwa Ibnul Qayyim tidak menyebutkan satu dalil pun yang membolehkannya, baik dari al-Qur’an maupun as-sunnah dan perbuatan ulama salaf, selain apa yang telah disebutkan oleh gurunya (Ibnu Taimiyyah). Oleh karena itu, yang lebih utama adalah tidak melakukannya dan hanya melakukan ruqyah syar’iyah yang telah ditetapkan.

4. Menggantungkan tama-im (jimat) yang berasal dari al-Qur’an atau lafadz-lafadz tertentu (selain al- Qur’an) untuk mencari berkah.

Tamimah adalah sesuatu yang digantungkan kepada orang yang sakit, anak kecil, atau binatang ternak, untuk menolak ‘ain (sorotan mata jahat) atau penyakit-penyakit lainnya dengan berbagai cara. Hukum menggantungkan jimat jika tidak berasal dari al-Qur’an ataupun dzikir adalah haram, bahkan ia termasuk bentuk syirik, seperti yang ditunjukkan oleh hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,


Åöäøó ÇáÑøõÞóì æÇáÊøóãóÇÆöã æÇáÊøöæóáóÉó ÔöÑúß


"Sesungguhnya ruqyah (jampi-jampi), tamimah (jimat) dan tiwalah adalah kemusyrikan.” (HR. Ahmad, 3615, Abu Dawud, 3883, Ibnu Majah, 3530).

Juga hadits Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu,


ãóäú ÚóáóøÞó ÊóãöíãóÉð ÝóÞóÏú ÃóÔúÑóßó


"Barangsiapa menggantungkan tamimah, berarti telah berbuat syirik.” (HR. Ahmad, 4/156).

Sesungguhnya alasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan tamimah sebagai perbuatan syirik, karena mereka bermaksud dengan tamimah itu dapat menolak takdir yang telah ditentukan atas mereka, lalu mereka mencari media penolak akan hal tersebut dari selain Allah, padahal Dialah yang Maha Menolaknya. Akan tetapi, jika yang digantungkan itu berasal dari al-Qur’an atau doa-doa yang diperbolehkan dalam rangka mencari berkah dan mencari kesembuhan, maka para ulama berbeda pendapat mengenai hukumnya.

Diantara ulama salaf yang membolehkannya ialah Abdullah bin Amr bin Ash. Ini juga merupakan pendapat Imam Ahmad dalam satu riwayatnya. Karena mereka memahami bahwa tamimah yang mengandung al-Qur’an dan nama-nama Allah ‘Azza wa Jalla serta sifat-sifat-Nya, maka hal itu sama halnya dengan ruqyah.

Adapun ulama yang tidak membolehkannya seperti Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Imam Ahmad dan murid-murid Ibnu Mas’ud serta ulama-ulama mutaakhirin (yang datang sepeninggal mereka). Dan di antara alasan tidak bolehnya menggunakan tamimah meski berisi al-Qur’an atau dzikir-dzikir dan doa yang dibolehkan ialah

a. Saddudz Dzari’ah (tindakan antisipasi), yaitu mengantisipasi untuk tidak menyebarluaskan perbuatan menggantungkan sesuatu yang tidak sesuai dengan yang disyari’atkan.

b. Menjaga al-Qur’an dari penghinaan terhadapnya. Karena kadang-kadang jimat itu dibawa tidak dalam keadaan suci atau dibawa ketika hendak membuang hajat. (Fathul Majid, 96).

Ketika menjelaskan tamimah dan perbuatan orang-orang yang menggunakannya, Syaikh Muhammad bin Ibrahim berkata, “Kemudian, di sini, mereka terjerumus ke dalam syu-m (perasaan sial), karena pada gilirannya nanti, mereka akan menjadikan mushaf kecil sebagai tamimah, lalu membawanya memasuki tempat menjijikan, sehingga mereka menjadikan mushaf tersebut seperti halnya benda biasa. Cukuplah pendapat tersebut dianggap lemah, karena akan berdampak lain, yaitu menjadikan mushaf kecil tersebut digantung di leher, dibuat kalung oleh orang yang sedang junub dan perempuan yang sedang haidh.” (Fatawa wa Rasaa-il Samahatisy Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 1/99).

Dengan demikian, pendapat yang melarang menggantungkan tamimah lebih mendekati kebenaran dan lebih berhati-hati, dan merasa cukuplah dengan ruqyah yang telah disyariatkan dan ditetapkan.

5. Menulis atau menggantungkan beberapa ayat atau (lafadz-lafadz) dzikir di dinding dan semacamnya dalam rangka mencari keberkahan.

Sejumlah ulama salaf, ketika membicarakan adab-adab yang khusus terhadap al-Qur’an, menetapkan secara mutlak atas dimakruhkannya menulis al-Qur’an di dinding, di dalam masjid, dan lainnya, atau pada pakaian dan semacamnya, dan mereka tidak mengecualikan tulisan yang tujuannya untuk mencari keberkahan.

Berdasarkan hal ini, sesungguhnya menulis ayat-ayat al-Qur’an di dinding dan semacamnya atau menulisnya di atas daun, papan, wadah dan semacamnya, kemudian menggantungnya karena mencari berkah untuk mendatangkan kebaikan dan menolak bahaya, tidak disyari’atkan. Bahkan ia termasuk perkara yang diada-adakan (bid’ah) dan bertentangan dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihii wasallam, para sahabat, dan para imam salaf.

Sama halnya dengan ketika sesuatu yang ditulis atau yang digantung ini berasal dari lafadz-lafadz dzikir yang disyari’atkan, seperti hadits nabawi atau nama-nama dan sifat-sifat Allah ‘Azza wa Jalla, untuk tujuan mencari berkah dengannya, maka hal ini juga tidak patut dilakukan. Apabila hal ini tidak disyariatkan, maka mencari berkah dengan lafadz-lafadz yang tidak disyari’atkan tentu lebih utama lagi (untuk tidak disyari’atkan dan tidak dilakukan).

6. Meletakkan mushaf di suatu tempat untuk mencari berkah.

Meletakkan mushaf di tempat tertentu untuk mencari berkah dengan al-Qur’an, agar dapat mendatangkan kebaikan dan menolak bahaya, seperti meletakkannya di dalam mobil, pesawat terbang, dan semacamnya, dengan tujuan mencegah kecelakaan atau mengusir setan atau menolak ‘ain (sorotan mata jahat) dan semacamnya, atau meletakkan mushaf tersebut di depan toko untuk mencari berkah dengannya agar dapat mendatangkan rezeki, ataupun di tempat- tempat lainnya adalah perbuatan yang bertentangan dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, para sahabatnya, dan ulama-ulama salaf setelah mereka.

Perbuatan semacam ini tidak disyariatkan, bahkan hukum perbuatan ini lebih berat lagi, terutama setelah sekarang ini telah tersebar cetakan mushaf yang berukuran sangat kecil sehingga tidak dapat dibaca, atau dengan ukuran yang sangat besar, yang tidak dimaksudkan untuk dibaca, hanya untuk keberkahan. Tidak diragukan lagi bahwa hal semacam ini merupakan perbuatan bermain-main (mempermainkan) terhadap Kitabullah.

Jadi, mencari berkah dengan al-Qur’an yang mulia bukanlah dengan cara-cara yang diada-adakan seperti ini, akan tetapi dengan membacanya, merenungkannya, mengamalkan kandungannya, dan mencari penyembuhan dengannya, berdasarkan cara yang telah disyari’atkan. Wallahu a’lam bishawab.

(Redaksi)

Sumber :
Diringkas dari “At-tabarruk, An-Waa’uhu Wa Ahkamuhu”, (edisi bahasa Indonesia), DR. Nashir bin Abdurrahman bin Muhammad Al-Judai.

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=lihatannur&id=810