Artikel : Bulein Annur - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits

Safar Yang Terlarang

Jumat, 06 September 13

Edisi Th. XVIII No. 920/ Jum`at IV/Sya'ban 1434 H/ 28 Juni 2013 M

Anggapan adanya tempat-tempat keramat seperti masjid-masjid, kuburan-kuburan wali atau petilasan-petilasan tertentu telah mendorong sebagian orang dengan sengaja mempersiapkan bekal untuk melakukan perjalanan jauh (safar) menuju tempat tersebut, baik sendirian ataupun berombongan. Mereka berkeyakinan tempat-tempat itu bisa berperan menjadikan doa dan ibadah menjadi lebih mustajab (terkabul) daripada di tempat-tempat selainnya. Karenanya merekapun mengkhususkan beribadah di sana terlebih lagi bila itu adalah kuburan orang-orang shalih atau wali, mereka bahkan bisa beri’tikaf dan bermalam hingga berhari-hari.

Secara umum melakukan perjalanan jauh atau safar tidaklah dilarang di dalam Islam bahkan Islam mengajarkan adab safar. Akan tetapi sengaja bersafar ke suatu tempat hanya untuk melakukan peribadatan khusus di sana, seperti fenomena di atas adalah perbuatan terlarang yang bertentangan dengan hadits Nabi yang dikenal dengan hadits “Syaddur Rihal”. Nabi bersabda,


áóÇ ÊõÔóÏõø ÇáÑöøÍóÇáõ ÅöáóøÇ Åöáóì ËóáóÇËóÉö ãóÓóÇÌöÏó: ãóÓúÌöÏö ÇáúÍóÑóÇãö¡ æóãóÓúÌöÏö ÇáúÃóÞúÕóì¡ æóãóÓúÌöÏöí

“Tidaklah diikat pelana unta (tidak dilakukan perjalanan jauh safar) kecuali menuju tiga masjid: Masjidil Haram, Masjid Al-Aqsha, dan masjidku (Masjid Nabawi).” (HR. al-Bukhari, no. 1197, dari Abu Sa’id al Khudri).

Ibnu Hajar al-Asqalany asy-Syafi’i berkata, “Yang dimaksud dengan

(æóáÇó ÊõÔóÏõø ÇáÑöøÍóÇáõ)

adalah larangan bersafar menuju selainnya (tiga masjid itu). Ath-Thibi berkata, “Larangan dengan gaya bahasa bentuk penafian (negasi) seperti ini lebih tegas daripada hanya kata larangan semata, seolah-olah dikatakan sangat tidak pantas melakukan ziarah ke selain tempat-tempat ini.”(Fathul Bari, 3/64).

Tiga masjid tersebut lebih utama daripada masjid lainnya, dikarenakan ketiganya itu masjid para nabi.Masjidil Haram kiblat kaum muslimin dan tujuan berhaji, Masjidil Aqsha kiblat kaum terdahulu dan masjid Nabawi masjid yang terbangun di atas ketakwaan [lihat Fathul Bari, 3/64].

Apakah Hanya Untuk Masjid?
Ada persangkaan bahwa larangan bersafar untuk ibadah khusus ini adalah hanya ke masjid-masjid selain yang tiga itu, sehingga bersafar ke tempat selain masjid adalah boleh, semisal petilasan, kuburan dan situs lainnya. Ini tidak benar, karena ada riwayat berikut,


Úä ÚóÈúÏö ÇáÑóøÍúãóäö Èúäö ÇáúÍóÇÑöËö Èúäö åöÔóÇãò Ãóäóøåõ ÞóÇáó áóÞöíó ÃóÈõæ ÈóÕúÑóÉó ÇáúÛöÝóÇÑöíõø ÃóÈóÇ åõÑóíúÑóÉó æóåõæó ÌóÇÁò ãöäú ÇáØõøæÑö ÝóÞóÇáó ãöäú Ãóíúäó ÃóÞúÈóáúÊó ÞóÇáó ãöäú ÇáØõøæÑö ÕóáóøíúÊõ Ýöíåö ÞóÇáó ÃóãóÇ áóæú ÃóÏúÑóßúÊõßó ÞóÈúáó Ãóäú ÊóÑúÍóáó Åöáóíúåö ãóÇ ÑóÍóáúÊó Åöäöøí ÓóãöÚúÊõ ÑóÓõæáó Çááóøåö íóÞõæáõ áóÇ ÊõÔóÏõø ÇáÑöøÍóÇáõ ÅöáóøÇ Åöáóì ËóáóÇËóÉö ãóÓóÇÌöÏó ÇáúãóÓúÌöÏö ÇáúÍóÑóÇãö æóãóÓúÌöÏöí åóÐóÇ æóÇáúãóÓúÌöÏö ÇáúÃóÞúÕóì

“Dari Abdurrahman ibnul Harits bin Hisyam, berkata, “Abu Basrah al-Ghifari berjumpa dengan Abu Hurairah yang baru tiba dari Bukit Thur, lantas ia bertanya, ‘Dari mana engkau?’ “Dari Bukit Thur, aku shalat di sana,” jawab Abu Hurairah.
Abu Bashrah berkata, “Andai aku sempat menyusulmu sebelum engkau berangkat ke sana, niscaya engkau tidak akan berangkat. Aku mendengar Rasulullah bersabda, “Tidaklah pelana itu diikat -tidak boleh bersengaja bersafar dalam rangka ibadah ke suatu tempat - kecuali ke tiga masjid: Masjidil Haram, Masjid Rasul dan Masjidil Aqsha.”
(HR. Ahmad 6/7. Syaikh Syu’aib al-Arnauth berkata sanad hadits ini shahih).

Bukit Thur bukanlah masjid tetapi bukit tempat turunnya Taurat, tempat Nabi Musa diajak bicara dan diangkat menjadi Rasul oleh Allah, tempat dikumpulkannya Musa dan Bani Israel setelah Fir’aun binasa. Bukit Thur diangkat oleh Allah untuk mengambil sumpah setia Bani Israel. (Lihat QS. al-Qashash:29, al-Baqarah:63,93; an-Nisa’:154; Maryam:52, dan Thaha: 80). Jadi, bukit ini merupakan bukit yang diberkahi Allah.

Akan tetapi Abu Basrah al-Ghifari mengingkari perbuatan Abu Hurairah dengan berdalil hadits “Syaddur Rihal” ini, yang berarti semakin menegaskan bahwa larangan safar ini tidak terbatas pada masjid saja, akan tetapi pada setiap tempat yang dianggap istimewa, keramat dan berbarakah semisal Bukit Thur sehingga orang bersafar untuk beribadah di sana.

Termasuk kategori ini yakni kuburan-kuburan, pohon-pohon atau petilasan-petilasan tertentu yang dianggap keramat dan berbarakah sehingga dikunjungi untuk beribadah taqarrub kepada Allah, mencari (ngalap) barakah disertai keyakinan tempat-tempat itu berperan bisa menjadikan doa dan ibadah menjadi lebih mustajab daripada di tempat selainnya.

Al-Imam Ibnu Abdil Barr berkata, “Ucapan Abu Hurairah, “Aku pergi ke bukit Thur,” jelas sekali dalam hadits ini bahwa ia tidak pergi ke sana kecuali demi mencari barakah dan shalat di sana.” [at-Tamhid, 23/28].

Imam as-Suyuthi menjelaskan, “Jika seorang manusia menyengaja shalat di kuburan atau berdoa untuk dirinya sendiri terkait kepentingan dan urusannya, dengan tujuan mendapat barakah dengannya serta mengharapkan terkabulnya doa di tempat tersebut, maka ini merupakan inti penentangan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Menyimpang dari agama dan syariat-Nya, juga digolongkan bid’ah dalam agama yang ini tidak diizinkan Allah, Rasul-Nya, maupun para Imam kaum muslimin yang setia mengikuti ajaran dan tuntunan beliau.” [Lihat al-Amr bi al-Ittiba’, hal. 139 dan Iqtidha’ ash-Shirath al-Mustaqim, 2/193].

Bukan Melarang Ziarah Kubur
Ada kalanya ketika diingatkan dengan hadits ini, sebagian orang menyangka kami telah melarang ziarah kubur. Maka ini adalah kesalahan besar, karena ziarah kubur itu disyariatkan dengan tujuan sebagai pengingat kematian. Tetapi bersafar untuk ziarah kubur dengan tujuan ngalap berkah disertai keyakinan-keyakinan seperti di atas terkena larangan Nabi tersebut.

Al-Hafizh Ibnu ‘Abdil Hadi berkata,“Ada perbedaan yang sangat mendasar antara bersafar untuk ziarah kubur dengan berziarah kubur tanpa bersafar. Barangsiapa yang keliru menyamakan status dan hukum kedua perkara ini, mencela golongan yang membedakan keduanya serta menakut-nakuti manusia agar membenci golongan tersebut, maka pada hakikatnya dirinyalah yang diharamkan untuk mendapatkan taufik dan telah menyimpang dari jalan yang lurus.” [Ash-Sharimul Munki, hal. 27, dinukil dari Khashaishul Musthafa bainal Ghuluw wal Jafa’ , hal. 161].

Pengagungan yang Menyebabkan Syirik
Adanya pelarangan safar jenis ini bertujuan untuk menghindarkan umat Islam dari perbuatan kemusyrikan. Betapa banyak manusia tertipu sehingga mengkeramatkan pohon, batu, situs, petilasan, atau kuburan wali, sehingga terbersit di hati mereka untuk mengagungkan dan meminta kepada selain Allah semisal jin penunggu, arwah nenek moyang, pangeran, raja, ratu atau kyai fulan yang telah wafat.

Syaikh Waliyullah adh-Dhahawi menyatakan, “Dahulu kaum musyrikin jahiliyah sering bepergian ke tempat-tempat yang dianggap keramat. Mereka berziarah dan mencari (ngalap) barakah dengan tempat-tempat itu. Maka tampaklah berbagai bentuk pelanggaran dan kerusakan di tempat-tempat itu. Oleh karena itu, Nabi mencegah kerusakan ini agar syi’ar Islam tidak ternodai dan tercampur dengan sesuatu yang asing. Tindakan beliau juga bertujuan agar kerusakan yang muncul di berbagai tempat ini tidak menjadi sarana yang dapat mengantarkan manusia beribadah kepada selain Allah. Pendapat yang benar menurutku adalah kuburan dan berbagai tempat peribadatan para wali Allah (petilasan) termasuk bukit Thursina, seluruhnya tercakup dalam larangan tersebut.” (Aunul Ma’bud, 6/13).
Imam at-Thabari juga meriwayatkan dalam tafsirnya “Dari Mujahid, ia berkata: “Al-Lata (berhala kaum musyrikin jahiliyah) dahulu orang yang membuat adonan makanan bagi mereka, lalu iapun meninggal, maka mereka pun beritikaf di kuburannya maka akhirnya mereka pun menyembahnya” (Tafsir at-Thabari, 22/47)

Imam asy-Syaukani berkata, “Sungguh seorang yang bodoh jika melihat sebuah kuburan dari kuburan-kuburan yang dibangun kubah di atasnya lalu ia lihat di atas kuburan ada kain-kain (kelambu) yang indah, lampu-lampu yang menyala, dan di sekitarnya harum semerbak wewangian, maka tidak ragu lagi hatinya akan dipenuhi dengan pengagungan atas kuburan itu, dan pikirannya sempit hingga di benaknya bisa tergambar akan kedudukan tinggi si penghuni kubur. Dan setan akan menanamkan untaian keyakinan-keyakinan yang rusak ke hatinya berupa rasa takut dan haibah (kharisma si penghuni kubur). Rasa merinding dan gambaran wibawa orang mati penghuni kubur ini adalah termasuk tipuan setan yang sangat besar kepada kaum muslimin, dan sarana terkuat untuk menyesatkan seorang hamba hingga menggoncangkannya dari Islam sedikit demi sedikit, hingga akhirnya ia meminta kepada si orang mati penghuni kubur tersebut sesuatu yang tidak ada yang mampu melakukannya kecuali Allah, maka jadilah ia termasuk dalam barisan kaum musyrikin.” (Syarh as-Sudur bi Tahrim Raf’i al-Qubur, hal 13 (Maktabah Syamilah)

Imam Asy Syafi’i menegaskan “Dan aku benci seorang makhluk dikultuskan sehingga kuburnya dijadikan sebagai tempat peribadatan (masjid) karena aku khawatir fitnah menimpa dirinya dan orang-orang yang hidup setelahnya.” (Al-Majmu’, 5/314).

Namun yang menyedihkan justru itulah yang saat ini terjadi, yakni pengagungan terhadap tempat-tempat yang dianggap keramat oleh kaum muslimin sebagai akibat jauhnya mereka dari menuntut ilmu agama.
Akhirnya semoga tulisan ringkas ini –dengan berharap kepada Allah semata– dapat menuntun kita untuk menjauhi hal-hal yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya serta membimbing kita untuk bersemangat di dalam menuntut ilmu agama. Amin. (Binawan Sandy)
[Sumber: Disadur dari berbagai sumber]

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=lihatannur&id=734