Artikel : Bulein Annur - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits

KIAT MENGATASI ISU

Rabu, 29 Agustus 07

Isu bisa jadi lebih berbahaya, lebih jahat, dan lebih banyak menimbulkan dosa bila terkait dengan dua kelompok manusia, yaitu para penguasa (waliyyul amri) dan para ulama. Isu yang berkenaan dengan waliyyul amri, imbasnya tidak hanya sebatas terhadap mereka saja, sekalipun hal itu diharam kan, tetapi juga terhadap setiap individu yang ada dalam umat ini sebab mereka bertanggung jawab atas keamanan negeri dan seluruh urusan nya, baik terkait dengan individu maupun kelompok.! Sedangkan isu yang beredar di tengah para ulama, maka imbasnya juga tidak hanya terhadap mereka tetapi terhadap syariat dan ilmu yang mereka emban. Ia dapat membuat orang-orang mengecilkan dan meremehkan ilmu mereka sehingga tidak mau mengambil pendapat atau merujuk kepada mereka. Sehingga akan berakibat memperlemah kekuatan syari'at dan kewajiban melaksanakan aturan-aturan dan hukum-hukumnya.!

Terhadap setiap penebar isu, harus diambil sikap yang sesuai dengan syariat dan tegas, khususnya bila hal itu terkait dengan waliyyul amri atau para ulama. Agar seorang Mukmin dapat menjaga agamanya, arif dan cerdas dalam perkataan dan perbuatannya, maka bila mendengar suatu ucapan, berita, perkataan atau isu, maka hendaknya ia tidak menerimanya begitu saja lalu menyampaikannya kepada orang lain.!

Manhaj al-Qur'an dalam Mengatasi Isu

Al-Qur'an banyak menyinggung tentang kiat-kiat mengatasi isu yang wajib bagi seorang Muslim untuk memperhatikannya secara seksama, di antaranya:

1. Firman Allah subhanahu wata。ヲala yang artinya, "Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahui nya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)." (QS. an-Nisa': 83).

Dalam seluruh urusan, baik syari'at atau agama, kecil atau besar, baik atau sebaliknya, maka semua itu harus dikembalikan kepada Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya serta ulama syari'at. Dengan demikian, maka seluruh urusan akan menjadi jelas dan transparan, tepat dan murni memiliki manfa'at yang hanya dipahami oleh orang yang dianugerahi taufik untuk melakukan kebaikan, yang hal itu tersembunyi bagi orang lainnya.

2. Firman Allah subhanahu wata。ヲala yang artinya, "Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebab- kan kamu menyesal atas perbuatanmu itu." (QS. al-Hujurat: 6).

Bagi orang yang merenungi sebab turunnya ayat ini, pasti sudah cukup sebagai pelajaran dan wejangan untuk tidak sembarang mengambil perkataan dan berita kecuali setelah melakukan tabayyun (cek-ricek), sikap hati-hati, teliti, mengetahui hakikat-hakikat dan misteri-misterinya, baik dengan cara sendiri atau melalui orang-orang terpercaya.

Ibn al-Qayyim rahimahullah menyebutkan, bahwa ayat tersebut turun terhadap al-Walid bin 'Uqbah bin Abi Mu'ith yang diutus Rasulullah shallallahu 。・alaihi wasallam untuk mengambil zakat dari Bani al-Mushthaliq setelah terjadinya perang Bani al-Mushthaliq, namun ia akhirnya tidak jadi melaksana kannya lantaran antara dirinya dan Bani Mushthaliq masih tersisa permusuhan, sehingga ia curiga bakal dibunuh oleh mereka.

Al-Walid kemudian melaporkan kepada Rasulullah shallallahu 。・alaihi wasallam hal yang bertolak belakang dengan sikap dan ketulusan kaum itu dalam berislam. Akibat perbuatannya, hampir saja Rasulullah shallallahu 。・alaihi wasallam memerangi Bani al-Mushthaliq, namun untunglah beliau shallallahu 。・alaihi wasallam masih menahan dan menyelidiki terlebih dahulu kejadian sebenarnya dengan mengutus Khalid bin al-Walid radhiyallahu 。・anhu. Ternyata, Khalid melihat kondisi yang bertolak belakang dengan laporan al-Walid. Ia pun mengambil zakat dari mereka dan melaporkan kepada Nabi shallallahu 。・alaihi wasallam. Isu, berita dan perkataan yang disampaikan seseorang tidak terlepas dari tiga kondisi:

Pertama, keterkaitannya dengan kepentingan umum.

Ke dua, khusus untuk orang lain.

Ke tiga, khusus untuk dirinya.

Pada kondisi pertama dan ke dua, yang lebih utama dan lebih baik bagi seorang Muslim adalah tidak terlibat di dalamnya, tidak menyebarkan dan menyampaikannya. Yang demikian ini lebih selamat bagi tanggungan dirinya. Ada pun bila hal itu khusus untuk dirinya sendiri, maka hendaknya ia bersikap sebagai berikut:

Pertama, komitmen untuk senantiasa teliti dan cek-ricek, tidak tergesa-gesa dan menerima apa yang didengarnya bahwa ia sesuatu yang benar terjadi.

Ke dua, bersikap keras terhadap pembawa isu atau berita itu, sebab seperti diketahui, siapa saja yang menggunjing orang lain di sisimu, maka pasti ia juga akan menggunjingmu di sisi orang selainmu.!?

Ke tiga, bila benar apa yang disampai kan kepadanya, maka hendaknya bersabar dan mengharap pahala dari Allah subhanahu wata。ヲalaハsemata atau pergi langsung menemui orang yang mengatakannya dan mendiskusikan bersamanya sesuai dengan kondisinya kala itu; bila ia menerima dan meminta ma'af, maka itu baik dan bila tidak, ancamlah ia dengan peringatan Allah subhanahu wata。ヲala, jelaskan kepadanya bahwa yang menyebabkan manusia masuk neraka adalah buah lisan mereka.

Ke empat, antusias untuk menyikapi nya sesuai dengan ketentuan-ketentuan syari'at, tidak emosionil ataupun temperamental sehingga perkataan dan perbutan seseorang menjadi transparan, bersih dan objektif.!

3. Merenungi surat al-Ahzab, ayat 60-61, yang artinya, 。ァSesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu), niscaya Kami perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar,dalam keadaan terla'nat. Di mana saja mereka dijumpai, mereka ditangkap dan dibunuh dengan sehebat-hebatnya.。ィ Dan membaca apa yang dikatakan para ulama mengenainya, karena di situ akan didapati pelajaran dan wejangan bagaimana menghindari setiap hal yang diancam Allah subhanahu wata。ヲalaハdengan laknat dan pembunuhan.

4. Merenungi peristiwa kabar burung (Haditsatul Ifki) sebagaimana tersebut dalam surat an-Nur, ayat 12-18 yang terkait dengan fitnah yang menimpa 'Aisyah radhiyallahu 。・anha di mana Allah subhanahu wata。ヲala menurunkan al-Qur'an yang dibaca hingga hari Kiamat berisi pemutihan terhadap Ummul Mukminin dari segala tuduhan keji. Dalam ayat tersebut terdapat dasar-dasar dan kaidah-kaidah syari'at dalam menyikapi perkataan dan berita yang didengar oleh seseorang sepanjang masa. Dan, dengan membaca pendapat para mufassir mengenai tafsir ayat-ayat tersebut akan menambah jelas lagi bagi kita maksud ayat mengenai kejadian ini.

5. Ibn Katsir rahimahullah berkata, ketika menafsirkan surat an-Nur ayat 19, yang artinya, 。ァSesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat.Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.。ィ Beliau berkata, "Ini merupakan pelajaran ke tiga bagi orang yang mendengarkan perkataan buruk, sekecil apa pun, lalu terbersit di pikirannya sesuatu darinya; maka janganlah ia memperbanyaknya, menyebarkan atau memberitakannya. Sebab orang-orang yang memilih timbulnya perkataan buruk berkenaan dengan kaum mukminin pasti akan mendapatkan azab yang pedih di dunia dan akhirat. Yang sesuai dengan petunjuk adalah mengembalikan hal itu kepada Allah subhanahu wata。ヲala."

6. Dalam surat al-Isra', ayat 36, Allah subhanahu wata。ヲalaハmelarang berkata tanpa ilmu, yang hanya berdasarkan prasangka sebagaimana larangan-Nya dalam ayat QS. al-Hujurat:12), artinya, 。ァHai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguh nya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yaang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Rasulullah shallallahu 。・alaihi wasallam bersabda, "Jauhilah prasangka, sesungguhnya prasangka adalah sedusta-dustanya perkataan." (HR. al-Bukhari dan Muslim)

7. Dalam surat al-Ahzab, ayat 58, Allah subhanahu wata。ヲalaハmemperingatkan agar tidak menyakiti kaum mukminin dan mukminat, seperti menisbatkan suatu perbuatan yang tidak pernah mereka lakukan dan perkataan yang tidak pernah mereka ucapkan dengan tujuan mencela dan menghina mereka.

8. Hendaknya seorang muslim penuh semangat dalam beribadah kepada Allah subhanahu wata。ヲalaハdan memperkuat hubungan dengan-Nya agar dapat menggapai ketakwaan yang dapat mencegah dari setiap perbuatan atau perkataan yang diharamkan dan melenceng, yang konsekuensi logisnya mendapatkan istiqamah yang hakiki dalam segala urusan, sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Ahzab, ayat 70-71. Keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat serta keberuntungan besar hanya dapat diraih dengan berbuat taat kepada Allah subhanahu wata。ヲalaハdan Rasul-Nya. Yaitu melakukan perintah-perintah dan kewajiban-kewajiban-Nya serta menjauhi larangan-larangan dan hal-hal yang diharamkan-Nya.

9. Firman-Nya, "Tiada suatu ucapan pun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir." (QS. Qaaf:18). Andaikata setiap orang memperhatikan secara seksama, mengingat, dan merenungi ayat ini, serta memahami maknanya ketika ingin berkata-kata, maka pastilah ia akan selamat dan tidak pernah tergelincir. Ibn Hajar rahimahullah berkata, "Ibn Baththal berkata, 。ァDiriwayatkan dari al-Hasan bahwa keduanya (malaikat itu-red) mencatat segala sesuatu." Ikrimah berkata, "Keduanya mencatat kebaikan dan keburukan saja." (Hafied M Chofie)

Sumber: Khathar asy-Sya`i'at Wa Atsaruha 'Ala al-Afrad Wa al-Mujtama'at, Dr Sulaiman bin Abdullah Abu al-Khail, Majalah ad-Da'wah, Vol. 1888, April 2002

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=lihatannur&id=441