Artikel : Tokoh Islam - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits

HAKIM BIN HIZAM radhiyallahu 'anhu (Wafat 54 H)

Selasa, 12 Juli 11

Nama:

Nama lengkapnya adalah Hakim bin Hizam bin Asad bin Abdul Gazi, keponakan Khadijah radhiyallahu 'anha, istri Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Sebelum dan setelah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam diangkat menjadi nabi beliau ini adalah teman akrab Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Sewaktu kaum Quraisy memboikot Rasulullah, beliau tidak termasuk orang yang ikut memboikot, karena menghormati Nabi. Beliau baru masuk Islam ketika Fathu Makkah (penaklukan kota Makkah) dan beliau terkenal sebagai orang yang banyak jasa dan derma.

Kelahiran Beliau radhiyallahu 'anhu di Dalam Ka’bah

Sejarah mencatat, dia adalah satu-satunya anak yang lahir dalam Ka’bah yang agung. Ceritanya sebagai berikut:”Pada suatu hari ibunya yang sedang hamil tua masuk ke dalam Ka'bah bersama rombongan orang-orang sebayanya untuk melihat-lihat Kabah. Hari itu Ka'bah dibuka untuk umum sesuai dengan ketentuan. Ketika berada dalam Ka'bah, tiba-tiba perut sang ibu terasa hendak melahirkan, dia tidak sanggup lagi berjalan keluar Ka'bah. Seseorang lalu memberikan tikar kulit kepadanya, dan lahirlah bayi itu di atas tikar tersebut. Bayi itu adalah Hakim bin Hizam bin Khuwailid radhiyallahu 'anhu, yaitu anak laki-laki dari saudara Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwailid radhiyallahu 'anha.

Pertumbuhan Beliau radhiyallahu 'anhu

Hakim bin Hizam dibesarkan dalam keluarga keturunan bangsawan ,kaya lagi dermawan. Karena itu, tidak heran kalau dia menjadi orang pandai, mulia, dan banyak berbakti. Dia diangkat menjadi kepala kaumnya dan diserahi urusan rifadah (lembaga yang menangani orang-orang yang kehabisan bekal ketika musim haji) di masa Jahiliah. Oleh karena itu dia banyak berkorban harta pribadinya. Dia bijaksana dan bersahabat dekat dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sebelum beliau shallallahu 'alaihi wasallam menjadi Nabi.
Sekalipun Hakim bin Hizam kira-kira lima tahun lebih tua dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, tetapi dia lebih senang, lebih ramah, dan lebih suka berteman dan bergaul dengan beliau.

Rasulullah mengimbanginya pula dengan kasih sayang dan persahabatan yang lebih akrab. Kemudian, ditambah pula dengan hubungan kekeluargaan, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menikahi bibi Hakim, yaitu Khadijah binti Khuwailid radhiyallahu 'anha. Oleh sebab itu, hubungan di antara keduanya bertambah erat.

Keterlambatan Beliau radhiyallahu 'anhu Masuk Islam

Anda boleh jadi heran, walaupun hubungan persahabatan dan kekerabatan antara keduanya demikian erat, ternyata Hakim bin Hizam radhiyallahu 'anhu bukanlah generasi awal yang masuk Islam. Ia tidak masuk Islam melainkan setelah Fathu Makkah (pembebasan kota Makkah) dari kekuasaan kafir Quraisy, kira-kira dua puluh tahun sesudah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam diangkat menjadi Nabi dan Rasul. Orang memperkirakan Hakim bin Hizam, yang dikaruniai Allah akal sehat dan pikiran tajam ditambah dengan hubungan kekeluargaan, serta persahabatan yang akrab dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, akan menjadi orang yang pertama-tama membenarkan (beriman dengan) dakwah Muhammad, dan menerima ajarannya dengan spontan. Tetapi, Allah berkehendak lain. Dan, kehendak Allah jualah yang berlaku.

Kita heran dengan terlambatnya Hakim bin Hizam radhiyallahu 'anhu masuk Islam, tetapi Hakim sendiri pun tidak kurang keheranannya. Setelah dia masuk Islam dan merasakan nikmat iman, timbullah penyesalan mendalam, karena umurnya hampir-hampir dihabiskan dalam kemusyrikan dan mendustakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Putranya pernah melihat dia menangis, lalu bertanya:“Mengapa Bapak menangis?”
“Banyak sekali hal-hal yang menyebabkan Bapak menangis, hai anakku!”
Jawab Hakim.

Pertama, keterlambatan masuk Islam menyebabkan aku tertinggal meraih banyak kebajikan. Seandainya aku nafkahkan emas sepenuh bumi, belum seberapa artinya dibandingkan dengan kebajikan yang mungkin aku peroleh dengan Islam. Kedua, sesungguhnya Allah telah menyelamatkanku dalam Perang Badar dan Uhud, lalu aku berkata kepada diriku ketika itu, aku tidak akan lagi membantu kaum Quraisy memerangi Muhammad, dan tidak akan keluar dari kota Makkah. Tetapi, aku senantiasa ditarik-tarik kaum Quraisy untuk membantu mereka. Ketiga, setiap aku hendak masuk Islam, aku lihat pemimpin-pemimpin Quraisy yang lebih tua tetap berpegang pada kebiasaan-kebiasaan jahiliah. Lalu, aku ikuti saja mereka secara fanatik. Kini aku menyesal, mengapa aku tidak masuk Islam lebih dini. Tidak ada yang mencelakakan kita selain sikap fanatik buta terhadap bapak-bapak dan nenek moyang kita. Bagaimana aku tidak akan menangis karenanya, hai anakku?”

Sebagaimana kita heran dengan terlambatnya Hakim bin Hizam radhiyallahu 'anhu masuk Islam, Hakim radhiyallahu 'anhu sendiri heran terhadap dirinya. Demikian juga Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun heran terhadap orang-orang yang berpikiran tajam dan berpaham luas seperti Hakim bin Hizam, tetapi menutup diri untuk menerima Islam. Padahal, dia dan golongan orang-orang yang seperti dia ingin segera masuk Islam.

Semalam sebelum memasuki kota Makkah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada para sahabat:“Di Makkah terdapat empat orang yang tidak suka kepada kemusyrikan, dan lebih cenderung kepada Islam.”Para Shahabat radhiyallahu 'anhum bertanya:“Siapa mereka itu, wahai Rasulullah?”. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab:“Mereka adalah 'Attab bin Usaid, Jubair bin Muth'im, Hakim bin Hizam, dan Suhail bin Amr. Maka, dengan karunia Allah, mereka masuk Islam secara serentak.”

Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memasuki kota Makkah sebagai pemenang, beliau tidak ingin memperlakukan Hakim bin Hizam, melainkan dengan cara terhormat. Maka, beliau perintahkan juru pengumuman agar menyampaikan beberapa pengumuman.

Siapa yang mengaku tidak ada Tuhan selain Allah yang maha Esa, tiada

sekutu bagi-Nya, dan mengaku Muhammad sesungguhnya hamba Allah dan Rasul-Nya, dia aman.

Siapa yang duduk di Ka'bah, lalu meletakkan senjata, dia aman.

Siapa yang mengunci pintu rumahnya, dia aman.

Siapa yang masuk ke rumah Abu Sufyan, dia aman.

Siapa yang masuk ke rumah Hakim bin Hizam, dia aman.

Rumah Hakim bin Hizam radhiyallahu 'anhu terletak di kota Makkah bagian bawah, sedang rumah Abu Sufyan bin Harb terletak di bagian atas kota Makkah.

Setelah Keislaman Beliau radhiyallahu 'anhu

Hakim bin Hizam memeluk Islam dengan sepenuh hati, dan iman mendarah daging di kalbu. Dia bersumpah akan selalu menjauhkan diri dari kebiasaan-kebiasaan jahiliah dan menghentikan bantuan dana kepada Quraisy untuk memenuhi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabat beliu. Hakim menempati sumpahnya dengan sungguh-sungguh.

Sekali peristiwa di Darun Nadwah (Balai Sidang), -suatu tempat terhormat bagi kaum Quraisy di masa Jahiliah untuk bermusyawarah- para pemimpin, tetua-tetua, dan para pembesar mereka memutuskan dalam musyawarah hendak membunuh Rasulullah. Hakim ingin melepaskan diri dari kenangan pada putusan tersebut. Untuk itu, dia membuat tirai penutup yang dapat melupakan ingatannya pada masa lalu yang dibencinya itu. Lalu dibelinya gedung Darun Nadwah tesebut seharga seratus ribu dirham.

Para pemuda Quraisy bertanya kepadanya:“Untuk apa gedung yang dimuliakan kaum Quraisy itu Anda beli, hai paman?” Jawab Hakim“Bukan begitu, wahai anakku! segala kemuliaan telah sirna. Yang mulia hanyalah takwa. Aku tidak hendak membelinya, melainkan karena ingin menjual kembali untuk membeli rumah di surga. Aku saksikan kepada kalian semuanya, uangnya akan kusumbangkan untuk perjuangan fi sabilillah.”

Sesudah masuk Islam, Hakim bin Hizam pergi menunaikan ibadah haji. Dia membawa seratus ekor unta yang diberinya pakaian kebesaran yang megah. Kemudian unta-unta itu disembelihnya sebagai kurban untuk mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla.

Waktu haji tahun berikutnya, dia wukuf di Arafah, beserta seratus orang hamba sahayanya. Masing-masing sahaya tergantung di lehernya sebuah kalung perak bertuliskan kalimat,”Bebas karena Allah Azza wa jalla” dari Hakim bin Hizam. Selesai menunaikan ibadah haji, budak-budak itu dimerdekakan semuanya.

Waktu naik haji ketiga kalinya. Hakim bin Hizam mengurbankan seribu ekor biri, seribu ekor persis, disembelihnya di Mina, untuk dimakan dagingnya oleh fakir miskin, guna mendekatkan dirinya kepada Allah Azza wa Jalla.

Sesudah Perang Hunain, Hakim bin Hizam meminta harta rampasan kepada Rasulullah lalu diberi oleh beliau. Kemudian ia meminta lagi, diberi pula oleh beliau. Akhirnya harta rampasan yang diterima Hakim dengan jalan meminta-minta itu berjumlah seratus ekor unta yang kini menjadi cerita (hadis) dalam Islam.

Rasulullah lalu berkata kepada Hakim:“Sesungguhnya harta itu manis dan hijau (segar). Siapa yang mengambilnya dengan rasa sukur dan rasa cukup, dia akan diberi barakah dengan harta itu. Dan, siapa yang mengambilnya dengan nafsu serakah, dia tidak akan mendapat barakah dengan harta itu, bahkan dia seperti orang makan yang tidak pernah merasa kenyang. Tangan yang di atas (memberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (meminta atau menerima).”

Mendengar sabda Rasulullah tersebut, Hakim bin Hizam radhiyallahu 'anhu bersumpah:“Ya Rasulullah, demi Allah yang mengutus engkau dengan agama yang hak, aku berjanji tidak akan meminta-minta apa pun kepada siapa saja sesudah ini. Dan, aku berjanji tidak akan mengambil sesuatu dari orang lain sampai aku berpisah dengan dunia.”

Sumpah tersebut dipenuhi Hakim dengan sungguh-sungguh. Pada masa pemerintahan Abu Bakar radhiyallahu 'anhu, dia disuruh supaya mengambil gajinya dari baitul mal, tetapi dia tidak mengambilnya. Tatkala jabatan khalifah pindah kepada ‘Umar al-Faruq radhiyallahu 'anhu, Hakim pun tidak mau mengambil gajinya setelah dipanggil beberapa kali.

Khalifah Umar mengumumkan di hadapan orang banyak:“Ya, maasyiral muslimin! saya telah memanggil Hakim bin Hizam beberapa kali supaya mengambil gajinya dari baitul mal, tetapi dia tidak mengambilnya.”

Begitulah, sejak mendengar sabda Rasulullah tersebut di atas, Hakim selamanya tidak mau mengambil sesuatu dari seseorang sampai dia meninggal.

Wafat Beliau radhiyallahu 'anhu

Beliau radhiyallahu 'anhu wafat pada tahun 50 H, dan ada yang berpendapat tahun 54 , atau 58 H dan ada pula yang berpendapat 60 H. Dan beliau adalah salah seorang Shahabat yang berumur 120 tahun, separuhnya di zaman Jahiliyah dan separuhnya di zaman Islam. (al-Ishabah fii Ma’rifatish Shahabah, Ibnu Hajar rahimahullah)

(Sumber: Shuwar min Hayatish Shahabah dinukil dari Biografi ‘Ulama Ahli Sunnah, dengan sedikit tambahan dan perubahan. Diposting oleh Abu Yusuf Sujono)



Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=lihattokoh&id=214