Artikel : Al-Quran - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits

Meraih Cinta Allah

Kamis, 18 Juli 19

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


Ţőáú Ĺöäú ßőäúĘőăú ĘőÍöČřőćäó Çáářóĺó ÝóÇĘřóČöÚőćäöí íőÍúČöČúßőăő Çáářóĺő ćóíóŰúÝöŃú áóßőăú ĐőäőćČóßőăú ćóÇáářóĺő ŰóÝőćŃń ŃóÍöíăń


“Katakanlah, ‘Jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (QS. Ali Imran: 31).

Sebab turun ayat ini

Para Ulama menyebutkan beberapa riwayat yang berkenaan tentang sebab turunnya ayat ini yang berkisar pada dua kisah:
1. Dikeluarkan oleh Imam Ibnu Jarir, Ibnul Munzir dan Ibnu Abi Hatim dari Al-Hasan dengan berbagai jalan periwayatannya, beliau berkata, “Ada beberapa kaum berkata,’Demi Allah, wahai Muhammad, kami mencintai Rabb kami”, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat ini. Diriwayatkan pula dari jalur Yahya bin Katsir dan Ibnu Juraij riwayat yang semakna.
2. Dikeluarkan oleh Imam Ibnu Jarir dari Muhammad bin Ja`far bin Az-Zubair tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Katakanlah, ‘Jika kalian benar-benar mencintai Allah’” maksudnya jika ini perkataan kalian wahai orang-orang Nasrani tentang (mengikuti) Isa ‘alaihissalam dalam rangka cinta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengagungkan-Nya, “maka ikutilah aku niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian” yaitu dosa-dosa yang telah lewat dari kekufuran kalian. “Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (Fathul Qadir, Asy-Syaukani, 1/214).

Penjelasan ayat

Ayat ini sebagai hakim bagi orang yang mengaku mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala akan tetapi tidak di atas syariat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, maka sesungguhnya ia dengan pengakuannya tersebut adalah dusta sampai ia mengikuti syariat dan agama beliau dalam segala ucapan, perbuatan, dan keadaan. Al-Hasan Al-Bashri dan ulama salaf yang lain berkata, “Sebagian kaum mengira bahwa mereka mencintai Allah, maka Allah menguji mereka dengan ayat ini”. (Tafsir Ibnu Katsir, 3/46).

Oleh karena itu, para ulama menjuluki ayat ini sebagai ayat mihnah (ujian) akan kejujuran cinta seseorang kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, apakah dia jujur atau dusta dengan pengakuannya tersebut. Karena tanda cinta yang jujur kepada Allah dan Rasul-Nya adalah dengan mengikuti (petunjuk) beliau. Orang yang menyelisihi beliau dan sekedar mengaku cinta semata adalah pendusta dan mengada-ada, karena jika dia mencintai beliau niscaya mentaatinya. Sudah maklum di kalangan umum bahwa cinta membuahkan ketaatan. (Adhwaul Bayan, Asy-Syinqity, 1/327).

Inilah ayat mihnah (ujian), Syaikh Abdurahman As-Sa`di memberikan komentar yang sangat dalam dan bagus, beliau berkata, “Ayat ini merupakan dalil tentang wajibnya mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala, tanda-tandanya, hasil dan buahnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah, ‘Jika kalian benar-benar mencintai Allah,” maksudnya kalian mengklaim mendapatkan martabat yang tinggi ini, tidak ada lagi martabat yang paling tinggi setelahnya, tidak cukup hanya bermodal klaim semata, tapi harus jujur.

Ciri kejujuran adalah taat kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam dalam segala keadaan, baik ucapan maupun perbuatan, dalam masalah pokok-pokok ajaran agama maupun cabang-cabangnya, yang tampak maupun yang tersembunyi.

Barangsiapa mengikuti Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan kebenaran pengakuannya cinta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mencintainya dan mengampuni dosanya, merahmati dan membimbing kelurusan dalam segala tindak-tanduknya.

Barangsiapa yang tidak mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bukanlah orang yang mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharuskan untuk mengikuti Rasul-Nya.

Barangsiapa yang tidak mengikutinya berarti menunjukkan ketidakcintaanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia berdusta dengan klaimnya tersebut. Walaupun sebenarnya rasa cinta itu ada namun tidak bermanfaat dikala syaratnya tidak ada (yaitu ittiba’). Dengan ayat ini seluruh manusia diukur (kecintaannya) sesuai kadar besarnya ittiba’ kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam, apabila kadar ittiba’-nya kepada beliau besar, sebesar itu pula kecintaanya kepada Allah q dan sebaliknya, jika berkurang ittiba`-nya kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam berkurang pula kadar kecintaanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala (sesuai kadar yang ditinggalkan)”. (Taisirul Karimirahman, Syaikh As-Sa`di, hal. 128).

Syarat diterima amal

Dengan pemaparan di atas menjadi jelas bahwa tidak mungkin amalan itu akan mendapat kecintaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali harus memenuhi 2 syarat terpenting dalam beramal, yaitu ikhlas dan ittiba’ (mengikuti) petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Barangsiapa beramal sesuai dengan petunjuk yang benar namun tidak ikhlas, maka tertolak amalannya dan sebaliknya betapapun ikhlas seseorang beramal namun tidak sesuai dengan petunjuk yang benar maka tertolak juga. (Al-Ishbah fii Bayan Manhajis Salaf fit Tarbiyah wal Ishlah, DR. Abdullah Al-`Ubailan, hal. 11-18).

Kiat meraih cinta Allah Subhanahu wa Ta’ala

Imam Ibnu Qayyim menyebutkan bahwa kiat-kiat meraih kecintaan Allah Subhanahu wa Ta’ala ada sepuluh, yaitu:
1. Membaca Al-Qur`an dengan penghayatan dan memahami maknanya sesuai dengan yang dimaksud oleh Syariat.
2. Mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan ibadah-ibadah sunnah setelah mampu menjalankan ibadah-ibadah yang wajib.
3. Selalu ingat (dzikir) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala di setiap waktu dengan lisan, hati, dan amalan. Besarnya kecintaan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada seorang hamba sesuai kadar dzikir dia kepada-Nya.
4. Mendahulukan apa yang dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala daripada apa yang kamu cintai ketika terdorong oleh hawa nafsu.
5. Hati selalu menelaah nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, menyaksikan pengaruh-pengaruhnya, dan selalu berekreasi dalam taman-taman keindahan dan keluasan nama-nama dan sifat-sifat-Nya.
6. Menyaksikan kebaikan dan kenikmatan-kenikmatan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tampak maupun yang tersembunyi.
7. Yang menakjubkan, yaitu meleburkan hati dan bersimpuh di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
8. Menyendiri bersama Allah Subhanahu wa Ta’ala di sepertiga malam terakhir, di kala Allah Subhanahu wa Ta’ala turun ke langit dunia, sambil membaca Al-Qur`an, ditutup dengan istighfar dan taubat, memohon ampunan
kepada-Nya.
9. Berteman dengan orang-orang yang tulus dalam mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala, mendengarkan ucapan-ucapan mereka yang baik, engkau tidak berbicara kecuali ketika masalahatnya besar dan terdapat motivasi bagimu (untuk beramal saleh) dan bermanfaat bagi orang lain.
10. Menjauhi segala sebab yang memisahkan dirimu dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dengan sepuluh kiat ini, orang-orang yang mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala akan sampai ke derajat cinta yang hakiki dan akan bertemu dengan Dzat yang dicintai, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Fathul Majid, Abdurahman Alu Syaikh, hal. 322-323). (Amirudin bin Salimin Bashori, Lc., M.S.I).

Referensi:

1. Fathul Qadir, Imam Asy-Syaukani.
2. Taisirul Karimirahman, Syaikh As-Sa`di.
3. Adhwaul Bayan, Asy-Syinqity.
4. Fathul Majid, Abdurahman Alu Syaikh, dll.

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=lihatquran&id=311