Artikel : Al-Quran - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits

MAKNA “AL-QUR’AN TURUN DALAM TUJUH HURUF” (Bagian-2)

Selasa, 01 Nopember 11

Pendapat yang paling kuat di antara pendapat-pendapat itu semua adalah pendapat pertama, dan bahwasanya yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh bahasa (dialek) dari bahasa-bahasa Arab dalam satu makna. Seperti kata أَقْبِلْ, تَعَال,هَلُمَّ,عَجِّلْ dan أَسْرِعْ yang lafazh-lafazh tersebut sekalipun berbeda namun maknanya adalah sama (yaitu kemari). Dan yang berpendapat dengan pendapat ini adalah, Sufyan bin ‘Uyainah, Ibnu Jarir, Ibnu Wahb dan yang lainnya. Dan Ibnu Abdil Barr menyandarkan pendapat ini kepda kebanyakan ulama. Dan yang menunjukkan hal ini adalah hadits Abi Bakrah radhiyallahu 'anhu:


أن جِبْرِيلُ قَالَ: يا محمد اقْرَأ الْقُرْآنَ عَلَى حَرْفٍ.فَقَالَ مِيكَائِيلُ اسْتَزِدْهُ فقَالَ: عَلَى حَرْفَيْنِ حَتَّى بَلَغَ ستة أو سَبْعَةَ أَحْرُفٍ فَقَالَ: كُُلُّهَا شَافٍ كَافٍ مَا لَمْ تَخْتِمْ آيَةَ عَذَابٍ بِرَحْمَةٍ أَوْ آيَةَ رَحْمَةٍ بِعَذَابٍ نَحْوَ قَوْلِكَ تَعَالَ وَأَقْبِلْ وَهَلُمَّ وَاذْهَبْ وَأَسْرِعْ وَعْجِّلْ

”Sesungguhnya Jibril 'alaihissalam berkata:”Wahai Muhammad, bacalah al-Qur’an dalam satu huruf.” Maka Mikail 'alaihissalam berkata:”Mintalah tambahan huruf.” Maka Jibril 'alaihissalam berkata:”Dalam dua huruf.” Dan Jibril 'alaihissalam terus menerus menambahkannya sampai dalam enam atau tujuh huruf. Lalu ia mengatakan:”Semuanya adalah obat penawar yang memadai, selama ayat adzab (ayat yang menceritakan tentang siksa) tidak ditutup dengan ayat rahmat (ayat yang menceritakan tentang rahmat/kasih sayang) dan ayat rahmat tidak ditutup dengan ayat adzab. Seperti ucapanmu:تَعَالَ , أَقْبِلْ, اذْهَبْ , أَسْرِعْ , dan عْجِّلْ” (HR Imam Ahmad no. 21055)

Imam Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah berkata:”Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyebutkan lafazh-lafazh tersebut hanyalah untuk memberikan contoh terhadap huruf-huruh (dialek) yang dengannya al-Qur’an diturunkan, dan bahwasanya ia adalah makna-makna yang sama pemahamannya, dan beda pengucapannya. Dan tidak ada satupun di dalamnya makna yang saling bertentangan, dan tidak ada sisi makna yang kotradiksi dan menafikkan makna sisi yang lain, seperti kata rahmat yang berlawanan dengan adzab.”

Dan pendapat ini dikuatkan oleh hadits yang banyak, di antaranya:


قرأ رجل عند عمر بن الخطاب رضي الله عنه فغيَّر عليه، فقال: لقد قرأتُ على رسول الله صلى الله عليه وسلم فلم يغيِّر عليَّ. قال: فاختصما عند النبي صلى الله عليه وسلم، فقال: يا رسول الله، ألم تقرئني آية كذا وكذا؟ قال: بلى! قال: فوقع في صدر عمرَ شيء، فعرف النبي صلى الله عليه وسلم ذلك في وجهه، قال: فضربَ صدره وقال: ابعَدْ شيطانًا -قالها ثلاثًا- ثم قال: يا عمرُ، إن القرآن كلَّه صواب، ما لم تجعلْ رحمةً عذابًا أو عذابا رحمةً.

”Ada seorang laki-laki yang membaca al-Qur’an di sisi ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu 'anhu, lalu hal itu membuat ‘Umar marah, lalu orang itu berkata:”Aku telah membacanya di sisi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, namun beliau tidak memarahiku.” Perawi hadits berkata:”Lalu keduanya berselisih pendapat di hadapan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.” Maka orang itu berkata:”Wahai Rasulullah bukankah anda membacakan kepadaku ayat ini dan ini?” Beliau bersabda:”Ya benar” Perawi berkata:”Maka dalam diri ‘Umar radhiyallahu 'anhu ada sesuatu yang mengganjal (ketika mendengar jawaban Nabi), maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengetahui hal itu dari wajahnya. Lalu beliau menepuk dada ‘Umar dan bersabda:”Jauhilah setan” Beliau mengulanginya tiga kali. Kemudian beliau juga berkata:”Wahai ‘Umar, Al-Qur’an itu seluruhnya adalah benar, selama ayat rahmat tidak dijadikan ayat adzab, dan ayat adzab tidak dijadikan rahmat.” (Tafsir ath-Thabari)

Dari Busr bin Sa’id radhiyallahu 'anhu:


أن أبا جُهيم الأنصاري أخبره: أن رجلين اختلفا في آية من القرآن، فقال هذا: تلقَّيتها من رسول الله صلى الله عليه وسلم. وقال الآخر: تلقَّيتها من رسول الله صلى الله عليه وسلم، فسألا رسولَ الله صلى الله عليه وسلم عنها، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إنّ القرآن أنزل على سبعة أحرف، فلا تمَارَوْا في القرآن، فإنَ المِراء فيه كفرٌ (1)

” Abu Juhaim al-Anshari telah mengabarkan kepadaku, bahwa ada dua orang laki-laki berselisih mengenai satu ayat di dalam Al Qur'an. Salah satu dari keduanya berkata:"Sesungguhya saya telah menerima langsung dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam." Sedangkan yang lain berkata:"Saya juga menerimanya langsung dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam." Lalu keduanya menanyakan hal itu kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka beliau pun bersabda:"Sesungguhnya Al-Qur`an itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka janganlah Al-Qur'an itu diperdebatkan dan diperselisihan. Karena perdebatan mengenai ayat Al-Qur'an itu merupakan kekufuran." (HR. Ahmad dalam al-Musnad, Ath-Thabari dalam Tafsirnya)

Dari al-A’masy rahimahullah, ia berkata:”Anas radhiyallahu 'anhu membaca ayat إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا وَ أَصْوَبُ قِيلًا ) (QS. Al-Muzamil: 6) Maka sebagian orang berkata kepadanya:”Wahai Abu Hamzah (Anas), kalimat itu ialah أَقْوَمُ (bukan أَصْوَبُ ). Maka beliau pun berkata:”أَقْوَم, أَصْوَبُ dan أَهْيَأ maknanya sama.” (HR. Imam ath-Thabari)

Dan dari Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata:


نُبئت أن جبرائيل وميكائيل أتيا النبي صلى الله عليه وسلم فقال له جبرائيل: اقرإ القرآن على حرفين. فقال له ميكائيل: استزده. فقال: اقرإ القرآن على ثلاثة أحرف. فقال له ميكائيل: استزده. قال: حتى بلغ سبعة أحرف، قال محمد: لا تختلفُ في حلال ولا حرام، ولا أمرٍ ولا نهي،هو كقولك: تعال وهلم وأقبل، قال: وفي قراءتنا { إِنْ كَانَتْ إِلا صَيْحَةً وَاحِدَةً } [سورة يس: 29، 53]، في قراءة ابن مسعود (إن كانت إلا زقية واحدة)

”Aku diberitahukan bahwa Malaikat Jibril dan Mikail 'alaihimassalam menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, lalu Jibril 'alaihissalam berkata:”Bacalah al-Qur’an dengan dua huruf.” Maka Mikail 'alaihissalam berkata kepada beliau:”Mintalah tambah” Maka Jibril 'alaihissalam berkata:”Bacalah al-Qur’an dengan tiga huruf” Lalu Mikail 'alaihissalam brrkata lagi:”Mintalah tambah” Perawi berkata:”Hingga sampai tujuh huruf” Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata:”Huruf-huruf (bacaan-bacaan) tersebut tidak berbeda dalam masalah halal haram, dan tidak pula dalam masalah perintah dan larangan. Namun ia hanya seperti perkataanmu:’Ta’aal, Halumma, dan Aqbil. Dan seperti dalam qira’ah kita:


{ إِنْ كَانَتْ إِلا صَيْحَةً وَاحِدَةً } [سورة يس: 29، 53]

Dan dalam qira’ahIbnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu:


(إن كانت إلا زقية واحدة)

(Diriwayatkan oleh Imam ath-Thabari dalam Tafsirnya)

Pendapat yang kedua yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh bahasa (dialek) dari bahasa-bahasa (dialek) Arab yang dengannya al-Qur’an diturunkan, yang artinya bahwa secara keseluruhan kalimat-kalimat al-Qur’an tidak keluar dari ketujuh huruf tersebut dan ketujuh huruf tersebut terkumpul dalam al-Qur’an. Pendapat ini dijawab bahwa bahasa Arab lebih dari tujuh. Dan bahwasanya ‘Umar radhiyallahu 'anhu dan Hisyam bin Hakim keduanya adalah orang Quraisy, satu kabilah, namun keduanya berbeda dalam bacaan mereka. Dan mustahil kalau ‘Umar radhiyallahu 'anhu mengingkari bahasanya sendiri, maka hal itu menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf bukanlah apa yang dimaksud oleh mereka (pendapat kedua). Dan tidak ada maksud yang lain (dari tujuh huruf) kecuali ia adalah perbedaan alfazh dalam mengungkapkan satu makna, dan itu adalah pendapat yang kami rajihkan.

Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah setelah membawakan dalil-dalil (yang menguatkan pendapatnya) beliau berkata dalam rangka membatalkan pendapat kedua:”Bahkan tujuh huruf yang dengannya al-Qur’an diturunkan adalah tujuh bahasa dalam satu huruf, dan satu kalimat dengan perbedaan lafazh-lafazh dan kesesuaian makna. Seperti perkataan anda:”هَلُمَّ, أَقْبِلْ, تَعَال, إِلَيَّ, قَصْدِي نَحْوِي, قُرْبِي dan yang lain, dari lafazh-lafazh yang pengucapannya berbeda namun maknanya sama, sekalipun lisan-lisan mereka berbeda dalam menjelaskannya. Seperti yang kami riwayatkan dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan yang kami riwayatkan dari Shahabat radhiyallahu 'anhum. Dan itu seperti perkataan anda:” هَلُمَّ, أَقْبِلْ, تَعَال. juga perkataan:”Maa Yanzhuruuna Illa Zaqiyyatn.’ dan dibaca pula:“Illaa Shaihatan.”

Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah menjawab pertanyaan yang mungkin terlontar:”Di kitab Allah yang mana kita dapati satu huruf dibaca dengan tujuh bahasa (dialek) yang berbeda lafazh dan sama dalam makna?” Maka beliau rahimahullah menjawab:”Kamu tidak mengklaim kalau hal itu ada sekarang ini” Dan terhadap pertanyaan lain:”Lalu bagaimana dengan keenam huruf lainnya, kenapa ia tidak ada?” Beliau jawab:”Umat Islam diperintahkan untuk menjaga (menghafalkan) al-Qur’an, dan mereka diberi pilihan untuk membaca dan menghafalnya dengan huruf mana saja dari ketujuh huruf tersebut yang mereka suka. Kemudian setelah itu ada alasan yang mengharuskan mereka membacanya dengan satu huruf pada zaman ‘Utsman radhiyallahu 'anhu dikarenakan khawatir munculnya fitnah. Kemudian ummat sepakat di atas hal tersebut (membaca dengan satu huruf) , yang mana mereka terjaga dari kesesatan (maksudnya kesepakatan mereka adalah benar karena ummat ini dijaga dari kesesatan).” (Tafsir ath-Thabari)

Pendapat ketiga yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh sisi bahasa; yaitu berupa amr (perintah), nahyu (larangan), halal, haram, muhkam, mutaysabih, dan matsal (perumpamaan). Maka bisa dijawab bahwa zhahir (makna yang nampak) dalam hadits-hadits tersebut menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah suatu kalimat yang dibaca dengan dua, tiga sampai tujuh model bacaan dalam rangka memberikan kelonggaran bagi ummat ini. Dan satu perbuatan atau benda tidak mungkin menjadi halal atau haram dalam satu ayat, dan makna kelonggaran bukan dalam hal mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram dan juga bukan dengan merubah sesuatu dari maknanya yang disebutkan.

Dan yang ada dalam hadits-hadts yang lalu menjelaskan bahwa para Shahabat radhiyallahu 'anhumyang berselisih dalam bacaan menghadap kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, lalu beliau meminta masing-masing dari mereka untuk membaca, kemudian beliau shallallahu 'alaihi wasallam membenarkan masing-masing dari bacaan mereka sekalipun bacaannya berbeda-beda. Sampai-sampai sebagian shahabat bingung terhadap pembenaran beliau terhadap bacaan-bacaan tersebut. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada para Shahabat yang bingung ketika beliau membenarkan semua bacaan:


إنَّ الله أمَرَني أن أقرأ على سبعة أحوف

”Sesungguhnya Allah memerintahkan aku untuk membaca al-Qur’an dengan tujuh huruf.”

Dan sudah dimaklumi bahwa perdebatan (perselisihan) mereka dalam hal-hal yang mereka perselisihkan di dalamnya adalah bagian dari itu (dalam masalah bacaan). Seandainya perdebatan mereka dan perselisihan mereka dalam makna yang ditunjukkan oleh bacaan mereka berupa, penghalalan, pengharaman, janji, ancaman dan yang semisalnya tentu mustahil bagi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk membenarkan semuanya (perbedaan mereka), dan (mustahil) memerintahkan masing-masing mereka untuk berpegang teguh dengan bacaannya masing-masing di atas apa yang ada pada mereka.

Dan juga seandainya hal itu boleh dibenarkan maka berarti Allah Yang Mahaterpuji telah memerintahkan sesuatu dan mewajibkannya –dalam bacaan orang yang bacaannya menunjukkan wajib- dan sekaligus melarang hal yang sama dan memperingatkannya –dalam bacaan orang yang bacaannya menunjukkan larangan dan peringatan- dan juga membolehkan perbuatan itu. Dan berarti juga Dia membolehkan bagi siapa saja para hamba-Nya untuk melakukan apa yang mereka suka untuk mereka perbuat, dan bagi siapa dari para hambanya untuk meninggalkannya dalam bacaan orang yang bacaannya menunjukkan takhyiir (pilihan).

Dan hal menjadikan orang yang berkata dengan pendapat ini menetapkan –seandainya ia mengatakannya- apa yang telah dinafikkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam kitab-Nya:


أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْءَانَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلاَفاً كَثِيرًا {82}

” Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur'an? Kalau kiranya al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. An-Nisaa’: 82)

Dan dalam penafian (peniadaan) Allah Yang Mahaterpuji terhadap adanya perbedaan (perselisihan) itu, adalah dalil yang sangat jelas bahwa Dia tidaklah menurunkan kitab-Nya melalui lisan Nabi-Nya, Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam melainkan dengan satu hukum yang disepakati oleh seluruh makhluknya, bukan dengan hukum-hukum yang berbeda-beda.

Adapun pendapat keempat yang mengatakan bahwa maksud dari tujuh huruf adalah sisi-sisi perbedaan yang di dalamnya terjadi perbedaan. Maka pendapat ini dijawab bahwa sekalipun pendapat ini menyebar dan bisa diterima, namun ia tidak tegak dihadapan dalil-dalil pendapat pertama yang secara tegas menunjukkan bahwa ia (maksud tujuh huruf) adalah perbedaan dalam lafazh dan kesamaan makna. Dan sebagian sisi perubahan atau perbedaan yang mereka sebutkan datang lewat Qira’ah Ahad (tidak mutawatir). Dan tidak ada perbedaan di kalangan ulama bahwa semua yang ada di dalam al-Qur’an ditetapkan lewat riwayat yang mutawatir. Dan kebanyakannya kembali kepada bentuk kalimat atau cara penyampaian, yang tidak menjadikan adanya perbedaan dalam lafazh. Seperti perbedaan dalam ‘Irab, Tashrif (Sharf), Tafkhim (penebalan bacaan huruf), Tarqiq (penipisan bacaan huruf), Fath, Imalah, Izhar, Idgham, dan Isymam. Dan ini bukan termasuk perbedaan yang di dalamnya ada bermacam-macam lafazh dan makna, karena sifat-sifat tersebut yang berbeda dalam pengucapannya tidak keluar dari statusnya sebagai satu lafazh.

Dan pembela pendapat ini memandang bahwa mushaf-mushaf ‘Utsmani telah mencakup ketujuh huruf ini semua, dalam artian bahwasanya ia mencakup huruf-huruf (bacaan) yang memungkinkan ditunjukkan oleh rasm (tulisan) tersebut.

Maka ayat:


وَالَّذِينَ هُمْ لأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ {8}

”Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.” (QS. Al-Mu’minun: 8) yang dibaca dengan bentuk jamak dan mufrad (tunggal) dalam rasm ‘Utsmani ditulis لأَمنتِهِمْ , bersambung dan di atasnya ada alif kecil (di atas huruf Miim dan Nuun).seperti dalam firman-Nya dalam surat Saba’ ayat 19:


فَقَالُوا رَبَّنَا بَاعِدْ بَيْنَ أَسْفَارِنَا … {19}

Di dalam mushaf ‘Utsmani ditulis بَعِدْ dengan menyambung huruf Ba’ dengan ‘Ain dan ada alif kecil (di atas huruf Ba’).

Dan ini tidak bisa diterima pada setiap sisi perbedaan yang mereka sebutkan. Seperti pebedaan dengan penambahan dan pengurangan, seperti dalam firman-Nya dalam surat at-Taubah ayat 100:


… وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا اْلأَنْهَارُ …{100

Dan dibaca تَجْرِي من تَحْتَهَا اْلأَنْهَارُ dengan tambahan من dan firman-Nya dalam surat al-Lail ayat 3:


وَمَاخَلَقَ الذَّكَرَ وَاْلأُنثَى {3}

Dan dibaca والذَّكَرَ وَاْلأُنثَى dengan mengurangi kata وَمَاخَلَقَ

Dan perbedaan dengan cara mendahulukan dan mengakhirkan, seperti dalam firman-Nya dalam surat Qaaf ayat 19:


وَجَآءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَقِّ … {19}

Dibaca juga dengan:


وَجَآءَتْ سَكْرَةُ الْحَقِّ بِالْمَوْتِ … {19}

Dan perbedaan dalam penggantian, seperti dalam firman-Nya dalam surat al-Qari’ah ayat 5:


وَتَكُوْنُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ الْمَنْفُوْشِ {5}

Dibaca dengan:


وَتَكُوْنُ الْجِبَالُ كَالْصوف الْمَنْفُوْشِ {5}

Dengan mengganti كَالْعِهْنِ dengan كَالْصوف

Kalau seandainya hal-hal ini terkandung dalam mushaf ‘Utsmani maka tidak mungkin ia (mushaf ‘Utsmani) menjadi pemutus (solusi) perselisihan dalam masalah perbedaan bacaan. Hal ini dikarenakan penyelesaian perbedaan itu hanyalah dengan mengumpulkan manusia di atas satu huruf di antara huruf yang tujuh yang dengannya al-Qur’an diturunkan. Kalau bukan karena itu (dengan cara itu) niscaya perbedaan tersebut akan berlangsung terus. Dan seandainya demikian niscaya tidak ada perbedaan antara pengumpulan al-Qur’an di zaman ‘Utsman radhiyallahu 'anhu dengan zaman Abu Bakar radhiyallahu 'anhu.

Namun yang ditunjukkan oleh atsar-atsar (riwayat) dalam masalah ini adalah bahwa pengumpulan (penyusunan) al-Qur’an yang dilakukan oleh ‘Utsman radhiyallahu 'anhu ada dengan cara menyalin salah satu huruf dari ketujuh huruf, sehingga menyatukan manusia di atas satu bacaan, yang mana beliau berpendapat bahwa pembolehan membaca al-Qur’an dengan tujuh huruf adalah dalam rangka mengangkat kesusahan dan kesulitan (dalam membaca dan menghafal) di masa-masa awal Islam, dan kebutuhan akan hal itu sudah berakhir. Maka kuatlah alasan untuk menghilangkan sumber Khilaf (perbedaan) dengan cara menyatukan manusia di atas satu huruf. Dan para Shahabatpun menyepakati hal itu.

Dan para Shahabat radhiyallahu 'anhum di zaman ‘Abu Bakar dan ‘Umar radhiyallahu 'anhuma belum butuh terhadap pengumpulan al-Qur’an seperti yang terjadi pada pengumpulan di zaman ‘Utsman radhiyallahu 'anhu. Karena di zaman keduanya belum terjadi perbedaan sebagaimana yang terjadi di zaman ‘Utsman radhiyallahu 'anhu. Dengan demikian ‘Utsman radhiyallahu 'anhu telah diberikan taufiq (ilham dan kemudahan) untuk melakukan hal yang besar, yaitu menghilangkan perbedaan, menyatukan ummat dan menenteramkan mereka.

Bersambung Insya Allah…..

(Sumber: مباحث في علوم القرآن Syaikh Manna al-Qaththan, Maktabah Ma’arif Linasyr wat Tauzi’ Riyadh, hal 162-167. Diterjemahkan dan dipsoting oleh Abu Yusuf Sujono)











Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=lihatquran&id=201