Artikel : Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits
Janda Menikah; Izin Wali Atau Tanpa Izin Wali?
Jumat, 13 Juni 14

Pertanyaan :

Assalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh

"Apa hukumnya seorang janda menikah tanpa izin wali (ayahnya) yang masih hidup?"

Jawaban :

Wa'alaikumussalam Warahmatullah Wabarakatuh

Masalah perwalian dalam nikah memang menjadi perbedaan pendapat di antara ulama-ulama ahli fikih. Jumhur mengatakan bahwa wali dalam nikah merupakan rukun dalam akad nikah, sehingga menikah tanpa adanya wali/izin wali maka nikahnya tidak sah.

Sementara Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa wali bukanlah termasuk rukun dalam nikah melainkan hanya sebatas syarat kesempurnaan nikah. Jika seorang perempuan sudah masuk usia baligh atau dia seorang janda, maka ia berhak untuk menikahkan dirinya sendiri tanpa harus meminta izin walinya dan tanpa keberadaan seorang wali. Menurut pendapat Imam Abu Hanifah
tersebut, pernikahan semacam itu hukumnya sah.

Akan tetapi, jika kita melihat beberapa hujjah yang disampaikan oleh Imam Abu Hanifah, pendapat beliau tersebut adalah pendapat yang lemah. Di antara hujjahnya ialah dalil qiyas (analogi), yaitu jika seorang wanita boleh dan berhak atas dirinya untuk melakukan akad jual beli, maka ia pun berhak untuk melakukan sendiri akad nikahnya tanpa adanya wali.

Qiyas beliau di atas adalah qiyas yang lemah karena adanya nash-nash shahih yang menyelisihi makna qiyas tersebut. Di antaranya ialah sabda Rasulullah: "Tidaklah sah pernikahan tanpa adanya wali dan dua orang saksi." (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad: 2260, Al-Arba'ah (Abu Dawud: 2085, At-Tirmidzi: 1101, An-Nasa'i, dan Ibnu Majah: 1880), dan dishahihkan oleh Ibnu Al-Madini, At-Tirmidzi dan Ibnu Hibban)

Dalam sebuah riwayat lain, Aisyah mengatakan bahwa Rasulullah telah bersabda: "Siapa saja dari seorang wanita yang menikah tanpa izin dari walinya, maka nikahnya batal. Jika (sang laki-laki tersebut) sampai menggaulinya, maka wanita tersebut berhak mendapatkan mahar sebagai imbalan atas dihalalkannya farjinya. Dan jika terjadi perselisihan, maka hakim adalah wali bagi mereka yang tidak memiliki wali." (Diriwayatkan oleh Imam yang empat (At-Tirmidzi: 1102, Ibnu Majah: 1880) kecuali An-Nasa'i, dan dishahihkan oleh Abu 'Awanah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim)

Adapun kritikan Imam Abu Hanifah terhadap beberapa hadits yang berkaitan dengan wali yang dianggapnya lemah, para ulama telah meluruskan pendapat beliau dan membantah pendapat-pendapat beliau tersebut. Lihat selengkapnya dalam kitab Subulussalam, 4/454-455.

Ada pula sebuah hadits riwayat Abu Hurairah yang mengatakan: "Tidak boleh seorang wanita menikahkan wanita yang lain, dan tidak boleh seorang wanita menikahkan dirinya sendiri. Sesungguhnya wanita pezina ialah orang yang menikahkan dirinya sendiri" (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah :1882, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani tanpa redaksi, "Sesungguhnya wanita pezina ialah ….." )

Rasulullah juga pernah bersabda: "Perempuan janda lebih berhak atas (perkawinan) dirinya daripada walinya, sementara wanita perawan harus dimintai (persetujuannya untuk dinikahkan) dan izinnya ialah diamnya." (Diriwayatkan oleh Muslim: 1421, Abu Dawud: 2099, dan Ahmad: 1897)

Dalam kitab Subulussalam disebutkan tentang makna hadits tersebut, "(Seorang wali) harus meminta perintah dari wanita janda (saat hendak menikahkannya). Dan perintahnya itu ialah wali tidak boleh menikahkan wanita janda tersebut sampai wali itu mendapatkan izin untuk melaksanakan akad bagi dirinya. Yang dimaksud dari semua itu ialah keridhaannya. Inilah makna hadits (seorang wanita janda) lebih berhak (atas perkawinan dirinya) daripada walinya. Ungkapan wanita perawan harus dengan meminta persetujuannya, sementara wanita janda dengan meminta perintahnya menunjukkan adanya perbedaan di antara keduanya. Ia juga menjadi penguat akan pentingnya bermusyawarah dengan wanita yang sudah menjanda. Dimana
seorang wali membutuhkan kejelasan perkataan (wanita janda tersebut) sebagai bentuk izin untuk menikahkannya. Adapun izin dari seorang wanita perawan hanya berkutat antara perkataan dan diamnya. Ini sangat berbeda dengan sebuah perintah yang membutuhkan kejelasan sebuah kata-kata. Kalau seorang wanita perawan cukup diketahui dari diamnya, karena biasanya mereka lebih malu untuk mengungkapkan sesuatu secara terang-terangan. " (Subulus Salam: 4/458)

Dengan demikian, hak seorang wali untuk menikahkan seorang wanita janda tergantung dari perintah wanita janda tersebut sebagai bentuk keridhaannya. Jika dirinya tidak ridho dengan laki-laki yang baru meminangnya, maka wali tidak boleh memaksakan wanita janda tersebut untuk menikah dengannya. Sebaliknya, seorang wali harus segera menikahkan wanita janda tersebut jika ia sudah mengetahui keridhaannya. Karena biasanya seorang wanita janda itu sudah sedikit banyak tahu tentang seluk beluk kehidupan rumah tangga bersama suaminya yang pertama, sehingga ketika ia hendak menikah dengan laki-laki yang lain, dirinya lebih mengetahui akan kecocokannya atau tidak daripada walinya.

Inilah hikmah bahwa seorang wali hanya boleh menikahkan wanita janda tatkala sudah mengetahui keridhaannya bahwa ia sudah merasa cocok dengan laki-laki yang datang meminangnya.

Kesimpulannya, seorang wanita tidak boleh menikah kecuali atas izin dari walinya, meskipun ia seorang wanita janda yang sudah mengenal dan merasakan manis pahitnya sebuah rumah tangga bersama suaminya yang pertama. Wallohu a'lam bishowab

Oleh : Saed As-Saedy
Referensi :
- Subulus salam, Ash-Shon'ani

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=lihatkonsultasi&id=3646