Artikel : Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits
Adakah Tuntunan Islam dalam Menghadapi Tahun Baru
Rabu, 17 September 08
Tanya :

Kepada Bapak Ustadz yang saya hormati, mohon dijawab pertanyaan dari saya berikut ini. Beberapa bulan lagikan akan datang Tahun Baru Islam, pertanyaannya: Adakah tuntunan / amalan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang mengajarkan kepada kita dalam menghadapi datangnya tahun baru? Mohon dijelaskan, SYUKRON
Dari : Fadly

Jawab :
Ykh, sdr/ Fadly
Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarokaatuh

Terima kasih atas kepercayaan anda kepada kami, semoga ukhuwwah islamiyyah diantara kita tetap terjalin dengan baik. Islam ini adalah Dienullah/agama Allah, jadi Dia-lah yang mengatur semuanya karena ia adalah milik-Nya. Aturan itu termaktub di dalam kitab-Nya, al-Qur'an. Untuk mempraktek- kan dan menerapkan isi al-Qur'an itu, Dia mengutus rasul-Nya yang paling mulia, Muhammad Shallallahu A'laihi wa Sallam.

Sebagai kitab induk, tentunya di dalam al-Qur'an sangat sedikit ditemukan rincian dan penjelasan-penjelasan yang panjang lebar. Untuk memahaminya itu, kita harus merujuk kepada hadits-hadits Rasululllah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Penjelasan tentang shalat misalnya; berapa raka'atnya, berapa kali waktunya, bagaimana melakukannya... itu semua ada penjelasannya di dalam hadits Nabi. Dalam hal ini, al-Qur'an sendiri menyebutkan bahwa Nabi itu tidak berbicara sesuatu berdasarkan hawa nafsu, akan tetapi semuanya berdasarkan wahyu. Oleh karena itu, semua kegiatan yang mengatasnamakan al-Islam hendaknya merujuk kepada kedua sumber tersebut.

Tentunya, al-Qur'an tidak disangsikan lagi keotentikan/keasliannya sedangkan hadits Nabi, haruslah berdasarkan kualitas periwayatannya, sebab bila ditinjau dari sisi diterima atau ditolaknya suatu periwayatan, hadits terbagi menjadi 4 macam: Pertama, hadits Shahih (inilah yang paling utama dan standar dijadikannya sebagai hujjah). Kedua, hadits Hasan (ini dibawah sedikit dari hadits shahih dan dapat dijadikan hujjah). Ketiga, hadits Dho'if/lemah {ini tidak dapat dijadikan hujjah, sedangkan dalam Fadhaailul A'maal [amalan-amalan yang diutamakan] para ulama memberikan persyaratan: Diantaranya, hadits tersebut tidak dho'if sekali, ketika menyampaikannya di dalam majlis hendaklah dijelaskan ke-dho'ifannya, tidak meyakini keshahihannya & tidak menyandarkan kepada Rasulullah, tidak bertentangan dengan ushul [hal-hal yang bersifat esensial yang sudah ada nashnya], dan ia berada dibawah dalil yang umum. Keempat, hadits Maudhu'/palsu (ini merupakan pendustaan atas nama Nabi dan tidak boleh dijadikan hujjah).

Dari sini, kemudian baru bisa diketahui, apakah suatu amalan atau ibadah yang berkaitan itu berlandaskan kepada dalil atau tidak. Kemudian, meskipun dalam penerapannya nanti telah didapati dalil yang shahih dan kuat, tetapi hal itu haruslah sesuai dengan pemahaman as-Salaf ash-Shalih (yaitu generasi tiga abad pertama), yakni para Shahabat Nabi, karena mereka itulah saksi dan pelaku utama turunnya wahyu atau orang yang berinteraksi dengan mereka yakni para Tabi’in, atau orang yang berinteraksi dengan orang yang berinteraksi dengan orang yang menyaksikan wahyu, yakni para Tabiut taabi’in. Mereka itulah yang dikenal dengan shahabat, Tabi'in dan Tabi'ut Tabi'in. Tentu mustahil dan tidak ilmiyah bila ingin memahami al-Islam merujuk ke dunia Barat dan belajar Islam di sana, misalnya. Atau langsung merujuk kepada pendapat orang-orang yang datang kemudian dari mereka.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka sepanjang yang kami ketahui, tidak ada dalil yang mensyari'atkan kita untuk merayakan Tahun Baru Hijriah. Sebab, bila memang ada, tentu akan ada riwayat yang menjelaskan bahwa Rasululullah pernah melakukan atau menganjurkan hal itu. Karena sumber agama ini –baik dari al-Qur’an atau as-Sunnah- akan selalu dijaga oleh Allah sehingga kesempurnaan syariat-Nya akan tetap terjaga juga sampai hari kiamat. Dan Rasulullah tidak mungkin khianat atau menyembunyikan sebagian dari syariat yang beliau bawa.

Alasan lainnya adalah; sesungguhnya penetapan perhitungan tahun Hijriyah itu dilakukan di zaman Khalifah Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhu. Jadi, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam masih hidup hitungan Hijriyah atau tahun baru Hijriyah itu belum ada. Dan para shahabat pun tidak pernah menyambut atau merayakan tahun baru hijriah. Padahal mereka itu, -sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah- adalah sebaik-baik generasi. Beliau juga menganjurkan kepada kita agar mengikuti petunjuk mereka, sedang mereka tidak melakukan perayaan atau penyambutan.

Dengan demikian, orang yang melakukan parayaan tahun baru atau menganjurkan penyambutan tahun baru dengan mengatasnamakan agama Islam berarti ia telah mengadakan sesuatu yang dibuat- buat dalam agama. Karena Rasulullah dan juga para shahabatnya tidak pernah mencontohkan hal tersebut. Padahal kita tahu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, "Barangsiapa yang melakukan suatu amalan/pekerjaan yang tidak ada perintahnya dari kami maka hal itu ditolak". (HR. Imam Muslim)

Jadi, peringatan atau perayaan Tahun Baru Hijriah itu tidak ada landasan syar'inya, untuk itu tidak boleh di yakini sebagai suatu ajaran dari agama ini. Sebenarnya, kenapa mesti hanya dengan momen ini kita bersemangat untuk menegakkan ajaran Islam atau mempererat ukhuwwah Islamiyyah, dst...Bukankah kita bisa melakukannya setiap saat? Bukankah kita sudah diperintahkah untuk selalu bersatu, bertemu dan berkumpul lima kali dalam sehari? Bukankah perintah shalat berjama’ah sudah jelas nashnya? Bukankah perintah menjaga hubungan keluarga dan tetangga sudah jelas? Bukankah perintah mempelajari agama Islam sudah jelas? Bukankah perintah untuk selalu menelada- ni Rasulullah juga sudah jelas?

Terakhir, sesungguhnya perayaan atau penyambutan yang demikian itu bisa menyerupai tradisi / kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang Nasrani yang biasa menyambut Tahun Baru Masehi nya, atau agama lain yang biasa melakukan penyambutan atau perayaan hari-hari tertentu. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda dalam haditsnya yang shahih, “Barangsiapa berusaha menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari kaum itu”. Tentunya hadits yang mulia ini adalah perkataan yang harus kita pegang dan kita jadikan landasan dalam masalah ini. Jangan sampai kita menyerupai suatu kaum dalam hal-hal yang sudah menjadi kebiasaan mereka. Padahal perayaan atau penyambutan tahun baru itu tidak pernah dicontohkan oleh Nabi dan para shahabatnya. Wallahu A’lam. Wassalamu 'Alaikum Warahmatullaahi Wabarokaatuh.

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=lihatkonsultasi&id=2032