Artikel : Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits
POLIGAMI DALAM ARAHAN ISLAM
Kamis, 30 Oktober 08
KHUTBAH PERTAMA:



Åöäø ÇáúÍóãúÏó öááåö äóÍúãóÏõåõ æóäóÓúÊóÚöíúäõåõ æóäóÓúÊóÛúÝöÑõåõ æóäóÚõæúÐõ ÈöÇááåö ãöäú ÔõÑõæúÑö ÃóäúÝõÓöäóÇ æóÓóíøÆóÇÊö ÃóÚúãóÇáöäóÇ ãóäú íóåúÏöåö Çááåõ ÝóáÇó ãõÖöáø áóåõ æóãóäú íõÖúáöáú ÝóáÇó åóÇÏöíó áóåõ ÃóÔúåóÏõ Ãóäú áÇó Åöáåó ÅöáÇø Çááåõ æóÃóÔúåóÏõ Ãóäø ãõÍóãøÏðÇ ÚóÈúÏõåõ æóÑóÓõæúáõåõ
Çóááåõãø Õóáø æóÓóáøãú Úóáì ãõÍóãøÏò æóÚóáì Âáöåö æöÃóÕúÍóÇÈöåö æóãóäú ÊóÈöÚóåõãú ÈöÅöÍúÓóÇäò Åöáóì íóæúãö ÇáÏøíúä.
íóÇÃóíøåóÇ ÇáøÐóíúäó ÂãóäõæúÇ ÇÊøÞõæÇ Çááåó ÍóÞø ÊõÞóÇÊöåö æóáÇó ÊóãõæúÊõäø ÅöáÇø æóÃóäúÊõãú ãõÓúáöãõæúäó
íóÇÃóíøåóÇ ÇáäóÇÓõ ÇÊøÞõæúÇ ÑóÈøßõãõ ÇáøÐöí ÎóáóÞóßõãú ãöäú äóÝúÓò æóÇÍöÏóÉò æóÎóáóÞó ãöäúåóÇ ÒóæúÌóåóÇ æóÈóËø ãöäúåõãóÇ ÑöÌóÇáÇð ßóËöíúÑðÇ æóäöÓóÇÁð æóÇÊøÞõæÇ Çááåó ÇáóÐöí ÊóÓóÇÁóáõæúäó Èöåö æóÇúáÃóÑúÍóÇã ó Åöäø Çááåó ßóÇäó Úóáóíúßõãú ÑóÞöíúÈðÇ
íóÇÃóíøåóÇ ÇáøÐöíúäó ÂãóäõæúÇ ÇÊøÞõæÇ Çááåó æóÞõæúáõæúÇ ÞóæúáÇð ÓóÏöíúÏðÇ íõÕúáöÍú áóßõãú ÃóÚúãóÇáóßõãú æóíóÛúÝöÑúáóßõãú ÐõäõæúÈóßõãú æóãóäú íõØöÚö Çááåó æóÑóÓõæúáóåõ ÝóÞóÏú ÝóÇÒó ÝóæúÒðÇ ÚóÙöíúãðÇ¡ ÃóãøÇ ÈóÚúÏõ ...
ÝóÃöäø ÃóÕúÏóÞó ÇáúÍóÏöíúËö ßöÊóÇÈõ Çááåö¡ æóÎóíúÑó ÇáúåóÏúìö åóÏúìõ ãõÍóãøÏò Õóáøì Çááå Úóáóíúåö æóÓóáøãó¡ æóÔóÑø ÇúáÃõãõæúÑö ãõÍúÏóËóÇÊõåóÇ¡ æóßõáø ãõÍúÏóËóÉò ÈöÏúÚóÉñ æóßõáø ÈöÏúÚóÉò ÖóáÇóáóÉð¡ æóßõáø ÖóáÇóáóÉö Ýöí ÇáäøÇÑö.

Ma'asyiral Muslimin Jama'ah Jum'at Rahimakumullah!
Salah satu tema hangat yang banyak dibicarakan oleh banyak kalangan, baik masyarakat awam, para tokoh, pejabat, dan juga para aktivis lembaga Swadaya Masyarakat dan Hak Asasi Manusia adalah masalah poligami. Masalah ini senantiasa menjadi isu yang hangat dibicarakan oleh masyarakat dari waktu ke waktu, baik oleh mereka yang bersikap pro maupun yang bersikap kontra terhadapnya. Dari segi pandangan hukum syar'i, poligami sebenarnya bukanlah masalah yang sangat istimewa dan aneh, ia tidak ada bedanya dengan pernikahan pertama, yakni seorang pria menikahi wanita menurut tata cara syariat yang telah ditentukan. Yang membeda-kan adalah masalah syarat, yakni harus mampu dan adil, adapun selebihnya adalah sama, seperti harus adanya khitbah, ada wali, saksi, mahar, akad atau ijab qabul, dan seterusnya. Sebenarnya sampai di sini seorang Muslim tidak akan mempermasalahkan poligami, karena ia merupakan sesuatu yang sah, baik berdasarkan al-Qur`an, as-Sunnah maupun kesepakatan (ijma') para ulama.
Di dalam al-Qur`an secara gamblang Allah telah menyebut-kan tentang bilangan dalam poligami, Allah Ta’ala berfirman,


æóÅöäú ÎöÝúÊõãú ÃóáÇøó ÊõÞúÓöØõæÇú Ýöí ÇáúíóÊóÇãóì ÝóÇäßöÍõæÇú ãóÇ ØóÇÈó áóßõã ãøöäó ÇáäøöÓóÇÁ ãóËúäóì æóËõáÇóËó æóÑõÈóÇÚó ÝóÅöäú ÎöÝúÊõãú ÃóáÇøó ÊóÚúÏöáõæÇú ÝóæóÇÍöÏóÉð Ãóæú ãóÇ ãóáóßóÊú ÃóíúãóÇäõßõãú Ðóáößó ÃóÏúäóì ÃóáÇøó ÊóÚõæáõæÇú

"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: Dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya." (An-Nisa`: 2-3).

Ayat ini secara tegas dan jelas menjadi dalil tentang bolehnya poligami, dan sekaligus memberikan batasan tentang jumlah dalam berpoligami yaitu empat istri. Apabila poligami merupakan ben-tuk kezhaliman, merupakan bentuk penindasan terhadap hak-hak wanita, atau pelanggaran terhadap hak asasi misalnya, maka tentu Allah tidak akan membolehkannya. Karena ketika Allah memboleh-kannya, maka sama saja Allah membolehkan kezhaliman, mem-bolehkan penindasan, dan pelanggaran terhadap hak asasi, dan ini tentu tidak mungkin bagi Allah yang Maha Adil dan yang telah mengharamkan kezhaliman bagi diriNya maupun hambaNya. Jadi jelas sekali bahwa yang dilarang oleh syariat adalah kezhaliman, bukan poligami. Maka ketika seseorang menikah lebih dari satu orang istri namun ia berbuat adil dan tidak menzhalimi salah satu dari istrinya tersebut, jelas ia lebih baik daripada seseorang yang menikah hanya dengan satu istri namun ia menzhalimi istrinya.

Ma'asyiral Muslimin Rahimakumullah!
Perlu senantiasa kita ingat, bahwa timbulnya sebuah perma-salahan atau problem di tengah masyarakat kaum Muslimin selalu saja terjadi pada faktor manusianya, bukan konsep atau ajarannya. Biasanya permasalahan akan timbul ketika seseorang bersikap tidak proporsional dalam menyikapi satu kasus, yakni antara tafrith (me-remehkan atau menggampangkan) dan ifrath (berlebihan atau ekstrim). Padahal manhaj Islam adalah manhaj pertengahan, manhaj wasathan, dan manhaj mu'tadil.

Salah satu contoh adalah dalam kasus poligami ini, kita men-dapati ada sebagian orang yang sangat menggampangkan poligami tanpa melihat beratnya persyaratan yang ditetapkan oleh Islam. Kapan ingin menikah, maka ia melakukannya, adapun apa yang terjadi setelahnya, maka dia tidak peduli, apakah mampu menafkahi seluruh istrinya secara lahir maupun batin, apakah bisa berbuat adil atau tidak, yang penting menikah. Padahal pembolehan poli-gami dalam Islam tentu bukan untuk manusia-manusia tipe seperti ini dan bukan untuk tujuan ini, yakni semata-mata hanya untuk mengikuti kemauan hawa nafsu belaka. Kemudian sebaliknya, di lain pihak kita melihat adanya sebagian orang yang sangat anti terhadap poligami dan menentangnya dengan begitu keras. Andai-kan misalnya ada orang yang memenuhi persyaratan berpoligami, yakni mampu memberikan nafkah lahir dan batin dan dapat berbuat adil, maka orang tersebut tetap saja menentang dan menolaknya dengan membabi buta. Sekali lagi, ma'asyiral Muslimin, kesalahan bukan pada konsep yang ditawarkan Islam tetapi pada manusia sebagai pelakunya.

Jama'ah yang Dirahmati Allah
Marilah kita lihat bagaimana sikap adilnya Islam dalam masalah poligami ini! Yang pertama, Islam selalu mengaitkan antara perintah dengan kemampuan seseorang termasuk dalam hal poligami. Bahkan bukan hanya dalam poligami, monogami pun demi-kian. Dalam hal poligami, maka Allah telah berfirman sebagaimana dalam ayat di atas, "Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya."

Ayat ini menunjukkan bahwa poligami dibolehkan bagi me-reka yang mampu berbuat adil. Adapun jika ada kekhawatiran diri-nya tidak mampu untuk adil, maka lebih baik tidak melakukannya, yakni cukup menikah dengan seorang istri saja. Adil di sini tentu menurut ukuran standar lahiriah, misalnya dalam pemberian naf-kah, tempat tinggal, pakaian, bermalam, dan lain sebagainya. Kalau sampai seseorang tidak adil dalam masalah ini, maka ia mendapat-kan ancaman yang berat nanti di Hari Kiamat, sebagaimana di-sabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ,


ãóäú ßóÇäóÊú áóåõ ÇãúÑóÃóÊóÇäö ÝóãóÇáó Åöáóì ÅöÍúÏóÇåõãóÇ ÌóÇÁó íóæúãó ÇáúÞöíóÇãóÉö æóÔöÞøõåõ ãóÇÆöáñ.

"Barangsiapa memiliki dua istri lalu ia condong kepada salah satu dari keduanya, maka ia akan datang pada Hari Kiamat dalam keadaan condong sebelah." (HR. Abu Dawud).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah bersabda, tatkala beliau menasihati para pemuda,


íóÇ ãóÚúÔóÑó ÇáÔøóÈóÇÈö¡ ãóäö ÇÓúÊóØóÇÚó ãöäúßõãõ ÇáúÈóÇÁóÉó ÝóáúíóÊóÒóæøóÌú¡ ÝóÅöäøóåõ ÃóÛóÖøõ áöáúÈóÕóÑö æóÃóÍúÕóäõ áöáúÝóÑúÌö¡ æóãóäú áóãú íóÓúÊóØöÚú ÝóÚóáóíúåö ÈöÇáÕøóæúãö ÝóÅöäøóåõ áóåõ æöÌóÇÁñ.

"Wahai sekalian para pemuda! Barangsiapa di antara kalian telah mampu, maka hendaknya ia menikah, karena sesungguhnya ia lebih dapat menahan terhadap pandangan dan dapat memelihara kema-luan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah dia berpuasa karena ia merupakan perisai." (Muttafaq alaih).

Di sini kita dapat melihat bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyebutkan syarat kemampuan bagi pemuda yang akan menikah. Adapun jika tidak atau belum ada kemampuan, maka beliau dalam kelanjutan hadits memberikan solusi dengan berpuasa.

Oleh karena itu, bagi siapa pun yang kira-kira merasa dirinya tidak mampu memenuhi persyaratan dalam berpoligami hendaknya menahan diri dari melakukannya. Karena jika memaksakan diri, maka berarti menjerumuskan dirinya dalam keburukan dan mem-bebani diri dengan sesuatu yang melebihi kemampuannya. Dan hal ini juga akan memberikan dampak negatif terhadap poligami itu sendiri, yakni menanamkan kesan buruk dan penilaian salah di tengah masyrakat tentang poligami.

Selanjutnya, Islam juga membatasi jumlah istri dalam berpoligami, yakni maksimal empat orang istri saja. Hal ini karena per-nikahan dalam Islam bukan semata-mata hanya untuk menuruti dorongan nafsu biologis semata, tetapi sebuah ikatan yang di dalam-nya terdapat konsekuensi antara hak dan kewajiban yang berat, sampai-sampai Allah menyebut pernikahan sebagai mitsaqan gha-lizha (ikatan yang sangat kuat). Oleh karenanya Islam tidak main-main dalam masalah ini, dalam arti biarpun seseorang misalnya dari segi materi mampu untuk menafkahi lebih dari empat istri, maka tetap saja ia tidak boleh menikah lebih dari empat istri tersebut. Maka jelas sekali Islam tidak membuka kran poligami ini dengan sebebas-bebasnya, sebagaimana hal ini dilakukan sebagian orang, namun sebaliknya juga tidak menutup rapat-rapat tanpa memberi-kan toleransi bagi mereka yang mampu untuk melakukannya. Mengapa demikian jama'ah sekalian? Karena jika kran poligami dibuka lebar-lebar, maka tentu ini akan disalahgunakan oleh seba-gian orang untuk kepentingan hawa nafsu dan pribadinya saja. Selain itu dengan tanpa adanya pembatasan jumlah istri dalam poligami, maka itu akan menjadikan pelaku poligami sibuk dengan urusan keluarganya saja, padahal urusan dalam Islam dan kehi-dupan sangatlah banyak, yang masing masing urusan harus menda-patkan porsi yang memadai.

Ma'asyiral Muslimin!
Begitu pula Islam tidak menutup kran poligami ini dengan rapat-rapat. Ini tentunya mengandung hikmah yang sangat besar, mengapa? Karena tidak semua pernikahan monogami itu berjalan mulus, tidak semua pernikahan monogami itu dapat mengantar-kan pada tujuan pernikahan. Ada sebagiannya yang mengalami hambatan, misalnya pernikahan yang tidak dikaruniai anak, ada seorang istri yang sakit berkepanjangan sehingga berhalangan untuk menjalankan tugasnya sebagai istri dengan baik, ada pula seorang suami yang memang diberi kelebihan oleh Allah dari segi harta dan kekuatan fisik, sementara ia memandang mampu untuk berbuat adil, lalu adanya fakta bahwa jumlah kaum wanita berlipat jika dibandingkan dengan jumlah kaum pria, dan masih banyak lagi hal-hal lain yang semisal ini.

Kalau kita teliti semua problem-problem di atas, maka tidak ada jalan keluar yang paling baik untuk menyelesaikannya selain dengan poligami. Mentalak istri yang belum bisa memberikan ketu-runan, atau mencerainya karena sakit adalah sesuatu yang tidak selayaknya dilakukan dan bertentangan dengan etika moral Islam. Begitu pula membiarkan para wanita berada dalam kondisi yang tidak mengenal kehidupan suami istri dan rumah tangga juga me-rupakan sesuatu yang bertentangan dengan fitrah dan ini dapat menimbulkan dampak negatif di tengah masyarakat. Maka ke manakah jalan keluar itu, maka ke manakah mereka akan berlari? Cuma ada dua pilihan, kalau tidak kepada yang halal maka akan terjerumus kepada yang haram. Tidak ada satu ikatan pun yang menghalalkan hubungan wanita dengan laki-laki secara terhormat dan sah selain daripada pernikahan. Jadi benarlah Islam dengan memberikan solusi pernikahan, tidak sebagaimana yang diprak-tikkan di negeri kafir yang memberlakukan pergaulan bebas, yang justru merusak tatanan masyarakat, merendahkan martabat wanita dan menjerumuskan mereka ke dalam jurang kesengsaraan dan penderitaan.


ÈóÇÑóßó Çááøٰåõ áöíú æóáóßõãú ÈöÇáúÞõÑúÂäö ÇáúÚóÙöíúãö æóäóÝóÚóäöíú æóÅöíøóÇßõãú ÈöãóÇ Ýöíúåö ãöäó ÇáúÂíóÇÊö æóÇáÐøößúÑö ÇáúÍóßöíúãö æóÊóÞóÈøóáó Çááٰøåõ ãöäøöíú æóãöäúßõãú ÊöáóÇæóÊóåõ Åöäøóåõ åõæó ÇáÓøóãöíúÚõ ÇáúÚóáöíúãõ. æóÃóÓúÊóÛúÝöÑõ Çááٰøåó ÇáúÚóÙöíúãó áöíú æóáóßõãú æóáöÓóÇÆöÑö ÇáúãõÓúáöãöíúäó æóÇáúãõÓúáöãóÇÊö æóÇáúãõÄúãöäöíúäó æóÇáúãõÄúãöäóÇÊö ÝóÇÓúÊóÛúÝöÑõæúåõ Åöäøóåõ åõæó ÇáúÛóÝõæúÑõ ÇáÑøóÍöíúãõ.


KHUTBAH KEDUA:


Åöäøó ÇáúÍóãúÏó áöáٰøåö äóÍúãóÏõåõ æóäóÓúÊóÚöíúäõåõ æóäóÓúÊóÛúÝöÑõåõ¡ æóäóÚõæúÐõ ÈöÇááøٰåö ãöäú ÔõÑõæúÑö ÃóäúÝõÓöäóÇ æóãöäú ÓóíøöÆóÇÊö ÃóÚúãóÇáöäóÇ¡ ãóäú íóåúÏöåö Çááøٰåõ ÝóáóÇ ãõÖöáøó áóåõ æóãóäú íõÖúáöáú ÝóáóÇ åóÇÏöíó áóåõ¡ æóÃóÔúåóÏõ Ãóäú áóÇ Åöáٰåó ÅöáøóÇ Çááøٰåõ æóÍúÏóåõ áóÇ ÔóÑöíúßó áóåõ æóÃóäøó ãõÍóãøóÏðÇ ÚóÈúÏõåõ æóÑóÓõæúáõåõ. Õóáøóì Çááøٰåõ Úóáóíúåö æóÚóáóì Âáöåö æóÕóÍúÈöåö æóÓóáøóãó ÊóÓúáöíúãðÇ ßóËöíúÑðÇ.
ÃóíøõåóÇ ÇáúÍóÇÖöÑõæúäó¡ ÇöÊøóÞõæÇ Çááٰøåó ÝóÞóÏú ÝóÇÒó ÇáúãõÊøóÞõæúäó¡ æóÇÚúáóãõæúÇ Ãóäøó Çááøٰåó ãóÚó ÇáøóÐöíúäó ÇÊøóÞóæúÇ æóÇáøóÐöíúäó åõãú íõÍúÓöäõæúäó.
Åöäøó Çááٰøåó æóãóáÇóÆößóÊóåõ íõÕóáøõæúäó Úóáóì ÇáäøóÈöíøö íóÇ ÃóíøõåóÇ ÇáøóÐöíúäó ÁóÇãóäõæúÇ ÕóáøõæúÇ Úóáóíúåö æóÓóáøöãõæúÇ ÊóÓúáöíúãðÇ. Çááøٰåõãøó Õóáøö Úóáóì ãõÍóãøóÏò æóÚóáóì Âٰáö ãõÍóãøóÏò ßóãóÇ ÕóáøóíúÊó Úóáóì ÅöÈúÑóÇåöíúãó æóÚóáóì Âٰáö ÅöÈúÑóÇåöíúãó æóÈóÇÑößú Úóáóì ãóÍóãøóÏò æóÚóáóì Âٰáö ãõÍóãøóÏò ßóãóÇ ÈóÇÑóßúÊó Úóáóì ÅöÈúÑóÇåöíúãó æóÚóáóì Âٰáö ÅöÈúÑóÇåöíúãó Ýöí ÇáúÚóÇáóãíúäó Åöäøóßó ÍóãöíúÏñ ãóÌöíúÏñ. æóÇÑúÖó Çááٰøåõãøó Úóäö ÇáúÎõáóÝóÇÁö ÇáÑøóÇÔöÏöíúäó ÃóÈöíú ÈóßúÑò æóÚõãóÑó æóÚõËúãóÇäó æóÚóáöíøò æóÚóäú ÈóÞöíøóÉö ÇáÕøóÍóÇÈóÉö æóÇáÊøóÇÈöÚöíúäó æóãóäú ÊóÈöÚóåõãú ÈöÅöÍúÓóÇäò Åöáóì íóæúãö ÇáÏøöíúäö, æóÚóáóíúäóÇ ãóÚóåõãú ÈöÑóÍúãóÊößó íóÇ ÃóÑúÍóãó ÇáÑøóÇÍöãöíúäó. Çóááøٰåõãøó ÇÛúÝöÑú áöáúãõÓúáöãöíúäó æóÇáúãõÓúáöãóÇÊö æóÇáúãõÄúãöäöíúäó æóÇáúãõÄúãöäóÇÊö ÇóáúÃóÍúíóÇÁö ãöäúåõãú æóÇáúÃóãúæóÇÊö Åöäøóßó ÓóãöíúÚñ ÞóÑöíúÈñ ãõÌöíúÈõ ÇáÏøóÚúæóÇÊö íóÇ ÞóÇÖöíó ÇáúÍóÇÌóÇÊö. Çááٰøåõãøó ÇäúÕõÑú ãóäú äóÕóÑó ÇáÏøöíúäó æóÇÎúÐõáú ãóäú ÎóÐóáó ÇáúãõÓúáöãöíúäó æóÃóåúáößö ÇáúßóÝóÑóÉó æóÇáúãõÈúÊóÏöÚóÉó æóÃóÚúÏóÇÁó ÇáÏøöíúäö. ÑóÈøóäóÇ áÇó ÊõÒöÛú ÞõáõæúÈóäóÇ ÈóÚúÏó ÅöÐú åóÏóíúÊóäóÇ æóåóÈú áóäóÇ ãöäú áóÏõäúßó ÑóÍúãóÉð Åöäøóßó ÃóäúÊó ÇáúæóåøóÇÈõ.
ÑóÈøóäó Åöäøóßó ÌóÇãöÚõ ÇáäøóÇÓö áöíóæúãò áÇó ÑóíúÈó Ýöíúåö Åöäøó Çááøٰåó áÇó íõÎúáöÝõ ÇáúãöíúÚóÇÏó. ÑóÈøóäóÇ ÇÛúÝöÑú áóäóÇ ÐõäõæúÈóäóÇ æóÅöÓúÑóÇÝóäóÇ Ýöí ÃóãúÑöäóÇ æóËóÈøöÊú ÃóÞúÏóÇãóäóÇ æóÇäúÕõÑúäóÇ Úóáóì ÇáúÞóæúãö ÇáúßóÇÝöÑöíúäó. ÑóÈøóäóÇ áÇó ÊõÄóÇÎöÐúäó Åöäú äóÓöíúäó Ãóæú ÃóÎúØóÃúäóÇ ÑóÈøóäóÇ æóáÇó ÊóÍúãöáú Úóáóíúäó ÅöÕúÑðÇ ßóãóÇ ÍóãóáúÊóåõ Úóáóì ÇáøóÐöíúäó ãöäú ÞóÈúáöäóÇ ÑóÈøóäóÇ æóáÇó ÊõÍóãøöáúäóÇ ãóÇ áÇó ØóÇÞóÉó áóäóÇ Èöåö æóÇÚúÝõ ÚóäøóÇ æóÇÛúÝöÑú áóäóÇ æóÇÑúÍóãúäó ÃóäúÊó ãóæúáÇóäóÇ ÝóÇäúÕõÑúäóÇ Úóáóì ÇáúÞóæúãö ÇáúßóÇÝöÑöíúäó. ÑóÈøóäóÇ ÂÊöäóÇ Ýöí ÇáÏøõäúíóÇ ÍóÓóäóÉð æóÝöí ÇáúÃóÎöÑóÉö ÍóÓóäóÉð æóÞöäóÇ ÚóÐóÇÈó ÇáäøóÇÑö. æóÕóáøóì Çááøٰåõ Úóáóì äóÈöíøöäóÇ ãõÍóãøóÏò æóÚóáóì Âٰáöåö æóÕóÍúÈöåö æóÓóáøóãó. Ëõãøó ÃóÞöíúãõæÇ ÇáÕøóáóÇÉó.


Oleh: Kholif Mutaqin Djawari
(Dikutib dari Buku Kumpulan Khutbah Jum’at Pilihan Setahun Edisi ke-2, Darul Haq Jakarta).

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=lihatkhutbah&id=146