Artikel : Kajian Islam - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits - ,

Pendidikan Anak Dalam Islam
oleh :

Iman Kepada Allah

Di antara pengertian iman kepada Allah, adalah iman atau yakin bahwa Allah adalah Ilaah (sembahan) yang benar. Allah berhak disembah tanpa menyembah kepada yang lain, karena Dialah pencipta hamba-hamba-Nya, dialah yang memberi rezeki kepada manusia, yang mengetahui segala perkara yang dilakukan manusia, baik yang dilakukan secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi. Dialah Yang Maha Kuasa, yang memberikan pahala bagi yang taat kepada-Nya, dan mengadzab manusia yang berbuat maksiat. Untuk tujuan ibadah inilah Allah menciptakan jin dan manusia, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya,
æóãóÇ ÎóáóÞúÊõ ÇáúÌöäøó æóÇáúÅöäúÓó ÅöáøóÇ áöíóÚúÈõÏõæäö (56) ãóÇ ÃõÑöíÏõ ãöäúåõãú ãöäú ÑöÒúÞò æóãóÇ ÃõÑöíÏõ Ãóäú íõØúÚöãõæäö (57) Åöäøó Çááøóåó åõæó ÇáÑøóÒøóÇÞõ Ðõæ ÇáúÞõæøóÉö ÇáúãóÊöíäõ (58)
“Tidak Aku ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku. Aku tak mengharapkan rezeki dari mereka, juga tidak mengharap makanan dari mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pemberi Rezeki, yang memilki kekuatan lagi sangat kokoh.” (Adz Dzariat : 56-58)
íóÇ ÃóíøõåóÇ ÇáäøóÇÓõ ÇÚúÈõÏõæÇ ÑóÈøóßõãõ ÇáøóÐöí ÎóáóÞóßõãú æóÇáøóÐöíäó ãöäú ÞóÈúáößõãú áóÚóáøóßõãú ÊóÊøóÞõæäó (21) ÇáøóÐöí ÌóÚóáó áóßõãõ ÇáúÃóÑúÖó ÝöÑóÇÔðÇ æóÇáÓøóãóÇÁó ÈöäóÇÁð æóÃóäúÒóáó ãöäó ÇáÓøóãóÇÁö ãóÇÁð ÝóÃóÎúÑóÌó Èöåö ãöäó ÇáËøóãóÑóÇÊö ÑöÒúÞðÇ áóßõãú ÝóáóÇ ÊóÌúÚóáõæÇ áöáøóåö ÃóäúÏóÇÏðÇ æóÃóäúÊõãú ÊóÚúáóãõæäó (22)
“Hai manusia, beribadahlah kepada Rabbmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu, dan langit sebagai atap; dan Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu, karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahuinya.” (Al Baqarah 21-22)


Dalam ayat-Nya yang lain, Allah juga menegaskan bahwa ia mengutus para rasul kepada manusia untuk mengingatkan mereka agar beribadah kepada Allah semata. Ia berfirman :
æóáóÞóÏú ÈóÚóËúäóÇ Ýöí ßõáøö ÃõãøóÉò ÑóÓõæáðÇ Ãóäö ÇÚúÈõÏõæÇ Çááøóåó æóÇÌúÊóäöÈõæÇ ÇáØøóÇÛõæÊó
“Dan Sesungguhnya telah Kami utus pada tiap-tiap ummat seorang rasul agar mereka beribadah kepada Allah dan mejauhi taghut (sesembahan selain Allah)…” (An Nahl 36)
æóãóÇ ÃóÑúÓóáúäóÇ ãöäú ÞóÈúáößó ãöäú ÑóÓõæáò ÅöáøóÇ äõæÍöí Åöáóíúåö Ãóäøóåõ áóÇ Åöáóåó ÅöáøóÇ ÃóäóÇ ÝóÇÚúÈõÏõæäö
“Dan tidaklah kami utus seorang rasul sebelum kamu (Muhammad) kecuali kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada Ilah yang patut disembah selain Aku, oleh karena itu sembahlah Aku.” (Al Anbiya’ : 25)
ÇáÑ ßöÊóÇÈñ ÃõÍúßöãóÊú ÂóíóÇÊõåõ Ëõãøó ÝõÕøöáóÊú ãöäú áóÏõäú Íóßöíãò ÎóÈöíÑò (1) ÃóáøóÇ ÊóÚúÈõÏõæÇ ÅöáøóÇ Çááøóåó Åöäøóäöí áóßõãú ãöäúåõ äóÐöíÑñ æóÈóÔöíÑñ (2)
“Inilah suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi dan dijelaskan secara rinci, yang diturunkan dari sisi Allah yang Mahabijaksana dan Mahatau. Agar kamu tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya aku (Muhammad) adalah pemberi peringatan dan pembawa kabar gembira keapdamu dari-Nya.” (Hud : 1-2)


Hakikat ibadah adalah mengesakan Allah dengan segala macam bentuk penghambaan seperti, doa, shalat, shaum, qurban, nadzar, serta berbagai macam ibadah lainya yang dilakukan dengan penuh ketundukan dan kepatuhan kepada Allah, disertai rasa cinta kepada-Nya dan rasa hina dalam naungan keagungan-Nya.

Nash-nash di bawah ini melengkapi dalil-dalil di atas:
ÝóÇÚúÈõÏö Çááøóåó ãõÎúáöÕðÇ áóåõ ÇáÏøöíäó (2) ÃóáóÇ áöáøóåö ÇáÏøöíäõ ÇáúÎóÇáöÕõ
“Maka sembalah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya ingatlah hanya kenpunyaan Allah-lah din yang bersih (dari syirik)….” (Az Zummar 2-3)
æóÞóÖóì ÑóÈøõßó ÃóáøóÇ ÊóÚúÈõÏõæÇ ÅöáøóÇ ÅöíøóÇåõ
“Dan Rabbmu telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia…” (Al Isra : 23)
ÝóÇÏúÚõæÇ Çááøóåó ãõÎúáöÕöíäó áóåõ ÇáÏøöíäó æóáóæú ßóÑöåó ÇáúßóÇÝöÑõæäó
“Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadah kepada-Nya, walaupun orang-orang kafir tidak menyukainya.” (Al Mu’min : 14)

Sebuah hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Mu’az menyatakan bahwa Rasulullah telah bersabda:

"ÍóÞøõ Çááåö Úóáóì ÇáÚöÈóÇÏöÃóäú íóÚúÈõÏõ æúåõ æóáÇóíõÔúÑößõæúÇöÈÍö ÔóíúÃð "

“Hak Allah atas hamba-hamba-Nya adalah agar mereka beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Iman kepada Allah juga mencakup keyakinan terhadap semua yang telah diwajibkan Allah kepada manusia, diantaranya yang tercakup dalam Rukun Islam, yaitu: syahadat (persaksian) bahwa tidak ada Ilah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah; menegakkan shalat; mengeluarkan zakat; shaum bulan Ramadhan; dan haji ke Baitullah Al Haram bagi yang mampu melakukkanya. Diantara lima rukun tersebut, yang paling penting adalah syahadat Laa Ilaha Illallah Muhammadur Rasulullah.

Shahadat Laa Ilaha Illallah bermakna ketulusan ibadah tertuju hanya kepada Allah semata dan penolakan terhadap sesembahan lain. Tidak ada yang patut disembah selain Allah. Oleh karena itu, setiap yang disembah selain Allah, baik berbentuk manusia, malaikat, jin, atau yang lainya, semuanya itu bathil atau bertolak. Allah berfirman:
Ðóáößó ÈöÃóäøó Çááøóåó åõæó ÇáúÍóÞøõ æóÃóäøó ãóÇ íóÏúÚõæäó ãöäú Ïõæäöåö åõæó ÇáúÈóÇØöáõ
“Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah Rabb Yang Haq, dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah, itulah yang bathil.” (Al Hajj : 62)

Allah menciptakan jin dan manusia, mengutus para rasul-Nya, serta menurunkan kitab-kitab-Nya ,adalah demi kepentingan yang pokok ini. Selanjutnya, marilah kita waspadai agar kita tidak menyertakan seseorang atau sesuatu apapun selain Allah dalam pelaksanaan seluruh kegiatan ibadah kita, sehinga tidak kita serahkan keikhlasan kita selain kepada Allah, karena dialah penolong dan sandaran harapan kita.

Di antara pengertian lainya dari prinsip iman kepada Allah, adalah keyakinan bahwa Allah Ta’ala pencipta alam semesta. Dialah pengatur alam semesta dengan ilmu dan kekuasaan yang dimiliki-Nya . dialah Raja di dunia dan akhirat, Rabb semesta Alam.

Allah berfirman:
Çááøóåõ ÎóÇáöÞõ ßõáøö ÔóíúÁò æóåõæó Úóáóì ßõáøö ÔóíúÁò æóßöíáñ
“Allah adalah pencipta segala sesuatu, dan Dia sebagai pemeliharanya.” (Az Zumar : 62)
Åöäøó ÑóÈøóßõãõ Çááøóåõ ÇáøóÐöí ÎóáóÞó ÇáÓøóãóÇæóÇÊö æóÇáúÃóÑúÖó Ýöí ÓöÊøóÉö ÃóíøóÇãò Ëõãøó ÇÓúÊóæóì Úóáóì ÇáúÚóÑúÔö íõÛúÔöí Çááøóíúáó ÇáäøóåóÇÑó íóØúáõÈõåõ ÍóËöíËðÇ æóÇáÔøóãúÓó æóÇáúÞóãóÑó æóÇáäøõÌõæãó ãõÓóÎøóÑóÇÊò ÈöÃóãúÑöåö ÃóáóÇ áóåõ ÇáúÎóáúÞõ æóÇáúÃóãúÑõ ÊóÈóÇÑóßó Çááøóåõ ÑóÈøõ ÇáúÚóÇáóãöíäó
“Sesungguhnya Rabb kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan diciptakan-Nya pula matahari, bulan, dan bintang-bintang, masing-masing tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah. Mahasuci Allah, Rabb semesta Alam.” (Al A’raf : 54)


Iman kepada Allah berarti pula iman kepada nama-nama-Nya yang mulia dan sifat-sifat-Nya yang agung seperti yang tertera dalam Al Qur’an dan telah ditetapkan pula oleh Rasulullah Shalallaahu alaihi wa-salam, tanpa mengubah, mengingkari, membatasi, dan menyerupakan dengan yang lain. Setiap muslim wajib menyakininya tanpa mempersoalkannya. Nama-nama itu memiliki arti yang agung dan mulia, sesuai dengan sifat-sifat Allah sendiri. Allah berfirman:
áóíúÓó ßóãöËúáöåö ÔóíúÁñ æóåõæó ÇáÓøóãöíÚõ ÇáúÈóÕöíÑõ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya dan Dialah Yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” (Asy Syuro : 11)
ÝóáóÇ ÊóÖúÑöÈõæÇ áöáøóåö ÇáúÃóãúËóÇáó Åöäøó Çááøóåó íóÚúáóãõ æóÃóäúÊõãú áóÇ ÊóÚúáóãõæäó
“Maka janganlah kamu mengadakan perumpamaan-perumpamaan bagi Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahuinya.” (An Nahl : 74)

Inilah aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, aqidah para sahabat Rasulullah dan para pengikutnya yang setia. Dan aqidah ini pulalah yang diambil sebagai rujukan oleh Imam Abul Hasan Al Asy’ari dalam kitab-nya “Al Maqolat an Ashhabil Hadits wa Ahlissunnah”, dan juga diambil oleh para ahli ilmu dan iman.
Al Imam Al Awza’i berkata bahwa Az-Zuhri dan Makhul pernah ditanya tentang ayat-ayat yang berkaitan dengan sifat Allah Ta’ala; mereka berdua menjawab: “Perlukah itu seperti apa yang sudah datang.”
Al Walid bin Muslim pernah berkata bahwa Imam Malik, Al Awza’i, Al Laits bin Saad, dan Shofyan Ats Tsauri pernah ditanya tentang berita yang datang mengenai sifat-sifat Allah; mereka semua menjawab, “Perlakukan seperti apa yang datang , dan janganlah kamu persoalkan.”

Al Imam Al Awza’i juga mengatakan, “ Kami beserta para tabi’in sepakat bahwa sesungguhnya Allah di atas ‘Arsy, dan kami mempercayai sebagaimana yang tersebut dalam Sunnah Rasul tentang sifat-sifat-Nya.”
Dan tatkala Rabi’ah bin Abi Abdurahman gurunya Imam Malik ditanya tentang Istiwa, ia menjawab “Al istiwa (persemayaman) itu tidak samar, sedang mempersoalkan adalah diluar kemampuan akal. Dari Allah datangnya risalah ini, tanggung jawab Rasulullah untuk menyampaikannya, dan kewajiban kita membenarkannya.”

Demikian pula halnya ketika Imam Malik rahimahullah ditanya tentang hal itu, beliau menjawab, “Persemayaman itu sudah jelas artinya tapi bagaimana hakikatnya tidak diketahui, sedang beriman kepada perkara itu adalah kewajiban dan menanyakannya adalah bid’ah.” Kemudian ia berkata kepada si penanya, “Saya tidak melihat kamu keculai sebagai orang bodoh.” Imam Malik lalu memerintahkannya keluar.

Telah diriwayatkan hal seperti itu dari Ummmul Mu’minin Ummu Salmah Radhiallaahu anha.
Al Imam Abu Abdurrahman Abdillah bin Al Mubarak rahimahullah berkata, “Kami mengerti bahwa Rabb kami itu diatas langit, bersemayam diatas ‘arsy, tidak bersatu dengan makhluknya.”

Banyak pernyataan para imam yang senada dengan kutipan-kutipan diatas, namun tentu saja tidak dapat dimuat dalam buku kecil ini. Para pembaca disarankan untuk merujuk langsung kepada kitab-kitab yang dikarang oleh para ulama Ahlussunnah yang berkaitan dengan masalah ini, misalnya kitab “As sunnah” karangan Abdullah bin Al Imam Ahmad, kitab “At Tauhid” oleh Al Imam Al Jalil Muhammad bin Huzaimah, kitab ‘As Sunnah” karya Abul Qasim Al Laalakaiy Aththobariy, kitab “As Sunnah” karya Abu Bakar bin Abi Ashim, dan risalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yang merupakan jawaban untuk penduduk Hamaa, Syiria. Di dalam risalah Ibnu Taimiyah tersebut, beliau menjelaskan aqidah Ahlussunnah dengan sangat rinci, dengan mengutip ucapan imam-imam lain serta berbagai dalil syar’iyah maupun aqliyah, dan tercakup di dlamanya bantahan-bantahannya terhadap penentang aqidah Ahlussunnah.

Setiap orang yang pendapatnya bertentangan dengan Ahlussunnah dalam masalah keyakinan terhadap asma dan sifat Allah tentu menyimpang dari dalil naqli dan ‘aqli, serta terperosok dalam kontradiksi nyata dalam setiap yang ditetapkan dan dinaikan. Ahlussunnah telah menetapkan asma dan sifat Allah sebagaimana yang ditetapkan-Nya sendiri dalam Al Qur’an serta sebagaimana yang dijelaskan oleh Rasullullah Muhammad tanpa tamtsil (menserupakan dengan makhluk) dan mereka mensucikan Allah dari segala yang menyerupakan-Nya dengan makhluk tanpa ta’thil (menolak asma dan sifat-sifat-Nya) sehingga mereka terhidar dari kerusakan dan kebathilan serta mengamalkan semua dalil.

Inilah sunnah Allah bagi yang berpihak kepada kebenaran, dengan itulah Allah mengutus para nabi dan rasul-Nya. Para nabi dan rasul itulah pengemban hakikat kebenaran untuk dimenangkan di atas kebathilan.
Allah berfirman:
Èóáú äóÞúÐöÝõ ÈöÇáúÍóÞøö Úóáóì ÇáúÈóÇØöáö ÝóíóÏúãóÛõåõ ÝóÅöÐóÇ åõæó ÒóÇåöÞñ
“Bahkan kami melontarkan yang haq kepada yang bathil, lalu yang haq itu menghancurkannya maka dengan serta merta yang bathil itu lenyap.” (Al Anbiya : 18)
æóáóÇ íóÃúÊõæäóßó ÈöãóËóáò ÅöáøóÇ ÌöÆúäóÇßó ÈöÇáúÍóÞøö æóÃóÍúÓóäó ÊóÝúÓöíÑðÇ
“Tidak orang kafir itu datang kepadamu membawa sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan paling baik penjelasannya.” (Al Furqan : 33)

Dengan memperhatikan ayat-ayat di atas, para ulama Ahlussunnah semakin berhati-hati dalam menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an, khususnya yang berkenaan dengan dzat Allah, misalnya ayat yang telah disebutkan terdahulu, yaitu:
Åöäøó ÑóÈøóßõãõ Çááøóåõ ÇáøóÐöí ÎóáóÞó ÇáÓøóãóÇæóÇÊö æóÇáúÃóÑúÖó Ýöí ÓöÊøóÉö ÃóíøóÇãò Ëõãøó ÇÓúÊóæóì Úóáóì ÇáúÚóÑúÔö
“Sesungguhnya Rabbmu Allah Subhannahu wa Ta'ala yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas Arsy.” (Al A’raf : 54)

Berkaitan dengan ayat diatas, Al Hafidz Ibnu Katsir mengatakan, “Orang-orang mempunyai banyak sekali pendapat tentang masalah ini, tetapi tidak dapat dijadikan sandaran. Kita mengikuti madzab Salafuna Shalih (para pendahulu kita) seperti Imam Malik, Al Awza’i Ats Tsauri, Al Laits bin Saad, Imam Syafi’i. Imam Ahmad. Ishaq bin Rahawi, serta ulama-ulama lainya, baik yang dahulu maupun yang sekarang. Yaitu: perlakukanlah ayat itu sebagai mana adanya, tanpa dipersoalkan, diserupakan, atau diubah. Dan sangkaan yang tergesa-gesa oleh madzab yang menyerupakan Allah dengan makhluk lain, semuanya tertolak, karena sesungguhnya Allah Ta'ala tidak boleh disamakan dengan makhluk-Nya dan tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya: Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat.”

Pendapat Ibnu katsir tersebut didukung dan dipertegas lagi oleh sejumlah imam, diantaranya oleh Na’im bin Hamad Al Khuzaiy, guru Imam Al Bukhari. Ia menyatakan, “Barangsiapa menyamakan Allah dengan makhluk lain, maka dia telah kafir. Dan barangsiapa mengingkari sifat Allah maka dia pun telah kafir. Apa yang telah Allah sifatkan tentang diri-Nya, Apa yang telah ditetapkan oleh rasul-Nya, bukanlah merupakan persamaan dengan makhluk. Barangsiapa yang telah menetapkan sifat Allah, sebagaimana yang tertera dalam ayat-ayat dalam Al Qur’an dan berita-berita yang benar sesuai dengan kebesaran Allah Ta’ala tanpa mengurangi sedikit pun keagungan-Nya, dia telah melangkah pada jalan kebenaran.”

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=indexkajian&id=1§ion=kj001