Artikel : Kajian Islam - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits - ,

Pendidikan Anak Dalam Islam
oleh :

MAULID IBNU AD-DAIBA’ DAN KEMUNGKARANNYA

Maliki berbicara pada pasal penutup. Ia memaparkan buku-buku mengenai kisah Maulid. Maliki memuji para panulisnya dan sebagaimana yang telah disebutkan. Sebenarnya, kisah Maulid sekedar tayangan sirah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari kelahiran hingga kematian beliau.

Jika memang demikian, mestinya kita juga bangga dengan ditulisnya buku-buku tentang sirah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Kita juga merasakan waktu-waktu bahagia ketika membaca kitab Allah Ta’ala dan mempelajari sirah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam serta sisi kecemerlangan yang beliau miliki, keimanan yang kokoh, kesabaran yang tulus, pengorbanan dengan sesuatu yang mahal dan berharga, jihad di jalan Allah, nasihat untuk umat, penuntasan tugas risalah, syukur kepada Allah Ta’ala hingga bengkak kaki beliau karena ibadah, harapan beliau kepada Allah dalam derita dan cobaan yang dialami demi menyampaikan risalah, penjelasan apa yang difirmankan Allah secara global, penjelasan secara sempurna setiap kebaikan yang berguna bagi umat beliau dan setiap keburukan yang berbahaya bagi umatnya.

Jika orang yang menulis kitab tentang hidup dan kepribadian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berikut tentang ayat-ayat dan hikmah yang dibaca di rumah kediaman beliau itu termasuk ahli ilmu. Lalu penulis menamakan bukunya Maulid. Jika apa yang ditulis itu tidak memuat seperti apa yang ada pada kitab-kitab Maliki, khususnya kitabnya yang tidak terpuji, Adz-Dzakhairul Muhammadiyah yang banyak mengandung unsur bid’ah, syirik, dan kemungkaran. Lalu penulis sejarah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu tidak bertujuan agar bukunya dibaca pada malam Maulid Nabi. Dimana pada buku itu juga tidak terdapat pengakuan tentang sahnya majelis Maulid yang telah banyak disepakati kebid’ahannya. Jika tidak ada semua itu, bolehkah mengkritisi buku-buku yang dikarang tentang sirah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? Bolehkah berseberangan dengan orang yang sengaja menampakkan kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada umat, dengan tujuan mereka meneladani beliau dan menjadikannya sebagai pelajaran dan nasihat, berakhlak sebagaimana akhlak Islam dan beradab dengan adab Al-Qur’an, berusaha menghiasi diri dengan hiasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan akhak mulia dan kemuliaan pribadi?

Maliki menyebutkan di antara orang yang menulis kisah-kisah Maulid adalah Al-Hafidz Wajihuddin Abdurrahman As-Syaibani Al-Yamani yang terkenal dengan julukan Ibnu Ad-Daiba’. Ibnu Ad-Daiba’ menulis buku tentang Maulid yang sangat terkenal dan tersebar di banyak negeri. Syaikh Rasyid Ridha pernah ditanya tentang buku Maulid terkenal ini,

“Di antara keluarga Johor di selatan negeri Melayu ada seorang pelajar yang merupakan orang asing mengecam pembacaan kisah Maulid Nabi yang ditulis Ad-Daiba’i, karena berisi kebohongan dan khurafat, dan kisah yang disebutkan dan biasa dibaca oleh orang-orang awam dan dituturkan oleh orang-orang yang diyakini sebagai para wali. Mereka berkata kepada orang-orang awam itu bahwa ruh Nabi Muhammad hadir di tempat mereka dari awal hingga akhir. Juga hadir saat mereka berdiri. Aku sangat marah kepada penduduk negeri itu karena kisah yang banyak didengar para ulama, namun tidak ada yang mengingkarinya selain orang tersebut. Apakah orang itu berada pada pihak yang benar atau tidak?”

Syaikh Rasyid Ridha rahimahullah menjawab, “Yang benar itu apa dikatakan oleh orang asing itu. Barangkali, ia termasuk orang-orang asing sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Muslim,

ÈóÏóÃó ÇáÏöøíúäõ ÛóÑöíúÈðÇ æóÓóíóÚõæúÏõ ÛóÑöíúÈðÇ ßóãóÇ ÈóÏóÃó ÝóØõæúÈóì áöáúÛõÑóÈóÇÁö.


“Agama ini mulai sebagai barang asing dan akan kembali menjadi asing, maka berbahagialah orang-orang asing.”

Saya telah baca sebagian kisah ini. Di pembukaan kisah, penulis berkata, ‘Mahasuci Allah Ta’ala dari malaikat, yang menjadikan cahaya Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dari cahaya-Nya sebelum menciptakan Adam dari tanah liat dan memamerkan kebanggaan-Nya kepada segala sesuatu sembari berfirman, ‘Ini pemimpin para nabi, orang suci paling agung, dan kekasih paling mulia.’ Lalu dikatakan Adam ditempatkan di tempat tertinggi. Juga disebutkan Ibrahim, Musa, dan Isa dengan sajak-sajak seperti ini. Ini jelas kebohongan atas nama Allah Ta’ala. Ahli hadits tidak ada yang meriwayatkannya. Saya juga membacanya menyebutkan dua hadits (halaman 6 dan 7), salah satu hadits itu diriwayatkan Ibnu Abbas secara marfu’, bahwa orang-orang Quraisy merupakan cahaya di hadapan Allah Ta’ala dua ribu tahun sebelum menciptakan Adam, Allah mensucikan cahaya itu dan para malaikat bertasbih dengan tasbih-Nya, dan seterusnya. Ini juga kebohongan yang nyata, karena sebelum Islam Quraisy itu musyrik, sementara saat Islam muncul dan di antara mereka ada orang yang paling kafir dan menyakiti Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam serta menghalang-halangi di jalan Allah. Lalu apa arti asal cahaya yang dipertentangkan oleh kelompok sesat itu? Lalu yang kedua sebuah atsar dari Ka’bul Ahbar yang tidak benar dan penulis kisah itu menamakannya sebagai hadits karena kebodohannya.

Para pembaca kisah tersebut termasuk orang-orang yang ingin mendapatkan rizki dengan mengaku sebagai wali, ruh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menghadiri majelis mereka dimana mereka melakukan kebohongan atas nama beliau. Perbuatan semacam ini banyak dilakukan para pengikut Dajjal itu, tidak ada terapi ampuh untuk penyakit seperti ini kecuali dengan banyaknya orang-orang yang mengerti sunnah dan para da’i Muslim yang mengajak manusia kepadanya. Namun tikar telah digulung dan mereka justru memusuhi kami, maka tidak ada dosa bagi kami atas apa yang mereka lakukan. Kami hanya menolong agama Allah dan berdakwah kepada Allah dengan kebenaran, bukan dengan hawa nafsu.”(Lihat, Fatawa Rasyid Ridha, jilid II halaman 464.)

Maulid Ibnu Daiba’ terkenal di banyak negeri sebagaimana yang disebutkan Maliki, Syaikh Muhammad Rasyid Ridha rahimahullah menukil beberapa bagian yang menunjukkan kebenaran penanya, seorang pelajar asing tersebut, bahwa pada kisah Ibnu Ad-Daiba’ terdapat kebohongan dan khurafatnya. Barangkali buku Maulid ini contoh buku-buku serupa tentang Maulid. Kami berhasil memperoleh satu buku Maulid Ibnu Ad-Daiba’. Di buku tersebut terdapat riwayat yang dikeluarkan dan diberi cacatan oleh Muhammad Alawi Maliki, dimana sanadnya disandarkan kepada Al-Hafidz Al-Muhaddits Abdurrahman As-Syaibani, ternyata buku itu serupa dengan yang dibaca Syaikh Muhammad Rasyid Ridha rahimahullah yang telah beliau cibir dan remehkan penulisnya serta disifati dengan kebodohan. Memang pada buku itu terdapat dua hadits yang telah ditolak Syaikh Muhammad Rasyid. Barangkali Maliki telah merubah hadits pertama dan membuang sebagiannya, “Bahwa orang-orang Quraisy merupakan cahaya di hadapan Allah Tabaraka wa Ta’ala.” Kita juga telah melihat redaksi ini ada dalam Maulid As-Sakhawi dari hadits Ibnu Abbas. As-Sakhawi menyebutkannya dari Qadhi Iyadh dalam As-Syifa’ tanpa menyebutkan sanad. Nampaknya ketika Maliki merubah dan membuang sebagian hadits ini agar hadits ini hanya berlalu begitu saja tanpa ada perhatian kepadanya.

Tidak ada artinya bagi kami apakah Maulid itu muncul dari Ibnu Ad-Daiba’ sang Muhaddits terkenal atau dari orang lain dengan nama serupa, atau sengaja mencatut nama Ad-Daiba’ agar buku Maulid ini laris manis. Wajib bagi pelajar mengenal para ulama. Barangkali Allah memberi peluang kepada kami untuk meneliti kitab-kitab Maulid yang dipaparkan Maliki lalu kita kemukakan tentang setiap Maulid yang ada di buku itu, kebenaran atau kebatilan. Mudah-mudahan dalam menyampaikan kritikan itu tanpa melihat penulisnya, apapun keadaannya. Sebab biasanya manusia akan dapat dikenal melalui kebenaran sebagaimana yang kami katakan.

Setelah habis catatan kami terhadap Maliki melalui bukunya. Kami sampaikan sekali lagi permintaan maaf atas emosi dan ungkapan keras yang kami gunakan dalam membantah kebohongan dan kebatilannya. Allah tentu tahu bahwa motif menggunakan metode (uslub) yang keras ini karena adanya kecemburan terhadap kebenaran agama-Nya, marah kepada apa yang membuat Allah murka, mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan cara menolak hal-hal yang bertentangan dengan implementasi dan kesempurnaan tauhid, meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam menjaga kemurnian tauhid, dan menjaga semua kerusakan dan dapat merongrong kehormatannya, dan geram karena kecemburuan kepada Allah atas kebenaran Allah terhadap selain Allah.

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=indexkajian&id=1§ion=kj001