Artikel : Kajian Islam - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits - ,

Pendidikan Anak Dalam Islam
oleh :

Pertama, makna yang dikandung hadits itu tetap dan tidak berubah, tidak tertolak oleh alasan-alasan yang mereka sebutkan, dan tidak boleh seseorang merenggut keumuman hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Setiap bid’ah sesat.” Misalnya dengan mengatakan, “Tidak semua bid’ah sesat.” Karena sikap ini lebih dekat kepada menentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari sekedar masalah interpretasi (ta’wil).

Bahkan pada perbuatan yang mengandung sisi kebaikan, yang terkadang dikatakan sebagai perbuatan bid’ah. Perbuatan tersebut ternyata bukan bid’ah, maka sesungguhnya ia tidak termasuk yang dimaksudkan oleh hadits tersebut, atau jika memang termasuk yang dimaksudkan oleh hadits tersebut, berarti perbuatan itu merupakan pengecualian dari keumumannya berdasarkan dalil yang ini dan yang itu…yang lebih kuat daripada sisi keumuman hadits. Padahal jawaban pertama lebih baik.

Terdapat cacatan untuk jawaban ini, karena secara zhahir nash sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang disampaikan dengan kata-kata integral semacam itu dimaksudkan keumuman global. Hendaknya maksud beliau, demi Allah, jangan sampai diselewengkan.

Mengenai shalat Tarawih, sebenarnya bukan bid’ah dalam syariah Islam, bahkan ia merupakan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau telah melakukannya. Beliau bersabda,

Åöäøó Çááåó ÝóÑóÖó Úóáóíúßõãú ÕöíóÇãó ÑóãóÖóÇäó æóÓóäóäúÊõ áóßõãú ÞöíóÇãóåõ.


“Sesungguhnya Allah mewajibkan puasa Ramadhan bagi kalian dan aku mensunnahkan Qiyamnya.”

Shalat Tarawih yang dilakukan secara jamaah juga bukan bid’ah, ia juga termasuk sunnah dalam syariah Islam. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melakukannya secara berjamaah di awal bulan Ramadhan selama dua malam atau tiga malam. Beliau juga melakukannya secara jamaah di sepuluh malam terakhir hingga beberapa kali. Beliau bersabda,

Åöäøó ÇáÑøóÌõáó ÅöÐóÇ Õóáøóì ãóÚó ÇúáÅöãóÇãö ÍóÊøóì íóäúÕóÑöÝó ßõÊöÈó áóåõ ÞöíóÇãõ áóíúáóÉò.


“Jika seseorang shalat bersama imam hingga imam itu selesai, terhitung baginya Qiyamul Lail penuh.”

Dan ketika beliau shalat bersama para sahabat itu, mere-ka khawatir ketinggalan sahur. (Diriwayatkan Ahli Sunan).

Berdasarkan hadits ini Ahmad beserta imam lain berpendapat bahwa melakukan Tarawih secara berjamaah lebih utama daripada sendirian.

Dengan demikian maka Qiyam pada bulan Ramadhan di belakang imam menjadi anjuran, bahkan ia merupakan sunnah mutlak. Dimana para sahabat shalat secara berjamaah di masjid pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedang beliau merestui. Sementara restu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan sunnah.

Sedangkan ucapan Umar, “Sebaik-baik bid’ah adalah yang ini,” banyak yang menjadikannya sebagai hujjah. Jika kita hendak menentukan hukum dengan perkataan Umar, terutama pada apa yang tidak bertentangan, tentu mereka akan berkata, “Perkataan sahabat bukan hujjah.” Lalu bagaimana mungkin perkataannya menjadi hujjah pada apa yang bertentangan dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? Barangsiapa berkeyakinan bahwa perkataan sahabat hujjah sebenarnya ia juga tidak meyakini lagi kalau perkataan itu bertentangan dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Berdasarkan dua kemungkinan di atas, tidak boleh menentang hadits dengan perkataan sahabat. Ya, memang ada yang membolehkan mengkhususkan keumuman hadits dengan perkataan sahabat yang tidak bertentangan, berarti bisa dipahami bahwa perbuatan ini bid’ah yang baik. Sedangkan jika bertentangan, tentu tidak boleh!

Kita katakan pula bahwa penggunaan istilah bid’ah oleh Umar berikut kebaikannya sebenarnya yang dimaksudkannnya itu sisi etimologi bahasa, bukan terminologi syariah. Sebab semua yang ‘bid’ah’ menurut pengertian bahasa mencakup semua hal baru yang dilakukan seseorang tanpa adanya contoh sebelumnya. Sementara bid’ah dalam syariah adalah semua perbuatan yang tidak ada dalil syar’inya.

Jika sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan sunnah atau wajibnya suatu perbuatan sepeninggal beliau, atau menunjukkan anjuran secara mutlak dan tidak dilakukan kecuali sepeninggal beliau seperti halnya kitab shadaqah yang dikeluarkan oleh Abu Bakar radhiallahu ‘anhu. Jika seseorang melakukannya sepeninggal beliau, hal itu sah dinamakan bid’ah secara bahasa, karena orang itu melakukannya sebagai pemula. Sebagaimana juga agama yang dibawa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam itu sendiri dinamakan bid’ah atau hal baru dari segi bahasa. Oleh karena itu para delegasi Quraisy bercerita kepada Najasyi tentang para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang berhijrah ke Habasyah, “Sesungguhnya mereka telah keluar dari agama nenek moyang mereka dan tidak memasuki agama paduka Raja, mereka datang dengan agama baru yang belum dikenal.”

Sedangkan perbuatan yang didukung oleh Kitab dan Sunnah bukanlah perbuatan bid’ah dalam syariah Islam kendatipun ia dinamakan bid’ah secara bahasa. Karena kata bid’ah secara bahasa lebih umum daripada bid’ah menurut terminologi syariah. Apalagi sudah sama-sama diketahui bahwa sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Setiap bid’ah sesat,” tidak dimaksudkan semua perbuatan permulaan, karena agama Islam, bahkan semua agama yang dibawa para rasul merupakan perbuatan pemula. Namun yang dimaksudkan hadits ini adalah perbuatan (dalam agama) yang dilakukan pertama kali dan tidak disyariatkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Dengan demikian, para sahabat melakukan shalat Tarawih secara berjamaah dan sendiri-sendiri pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Hingga beliau berkata pada malam ketiga atau keempat,

Åöäøóåõ áóãú íóãúäóÚúäöíú Ãóäú ÃóÎúÑõÌó Åöáóíúßõãú ÅöáÇøó ßóÑóÇåóÉõ Ãóäú íõÝúÑóÖó Úóáóíúßõãú¡ ÝóÕóáøõæúÇ Ýöíú ÈõíõæúÊößõãú ÝóÅöäøó ÃóÝúÖóáó ÕóáÇóÉö ÇáúãóÑúÁö Ýöíú ÈóíúÊöåö ÅöáÇøó ÇáúãóßúÊõæúÈóÉõ.


“Tidak ada yang menghalangiku untuk keluar bersama kalian selain kekhawatiran bahwa hal itu menjadi wajib bagi kalian, maka shalatlah di rumah-rumah kalian! Sebab sebaik-baik shalat seseorang jika dilakukan di rumahnya kecuali shalat wajib.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan alasan tidak keluarnya beliau karena khawatir dianggap wajib. Dengan demikian dapat dimengerti bahwa kesempatan untuk keluar ada. Jika saja tidak ada kekhawatiran hal itu menjadi wajib, tentu beliau akan keluar menemui mereka. Kemudian datanglah zaman Umar yang me-ngumpulkan mereka di bawah seorang qari’ saja dan dinyalakan lampu di dalam masjid. Proyek ini menjadi sarana mereka berkumpul di masjid dengan seorang imam dan penerangan di masjid. Suatu perbuatan yang belum pernah mereka lakukan, hal ini bisa dinamakan bid’ah, dan secara bahasa memang dinamakan seperti itu walaupun bukan bid’ah dalam syariah Islam. Sebab Sunnah menegaskan perbuatan itu termasuk amal shalih, kalau saja tidak ada kekhawatiran akan menjadi wajib. Kemudian kekhawatiran tersebut hilang setelah beliau meninggal, dan dengan demikian hilang pula penghalang itu.

Demikian pula pengkodifikasian Al-Qur’an, karena penghalang untuk melakukan hal itu pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah adanya wahyu yang masih turun. Pada saat itu Allah berhak untuk merubahnya atau menentukan hukum semau-Nya. Seandainya ditulis dalam satu kitab, tentu akan sulit untuk merubahnya setiap saat. Dan ketika Al-Qur’an telah lengkap sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, syariah Islam juga telah baku dengan meninggalnya beliau, manusia merasa aman dari kemungkinan adanya penambahan atau pengurangan Al-Qur’an, mereka juga merasa aman dari bertambahnya perbuatan wajib atau haram. Terdapat peluang untuk mengamalkannya berdasarkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka kaum Muslimin melakukannya karena kesunnahan itu, dan perbuatan itu memang termasuk sunnah beliau. Walaupun secara bahasa hal ini dinamakan bid’ah.

Demikian pula menjadi wewenang Umar radhiallahu ‘anhu untuk mengusir orang-orang Yahudi Khaibar dan Nashara Najran atau selain mereka dari Jazirah Arab. Karena ketika sakit, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjanjikan hal itu sebagaimana sabda beliau,

ÃóÎúÑöÌõæÇ ÇáúíóåõæúÏó æóÇáäøóÕóÇÑóì ãöäú ÌóÒöíúÑóÉö ÇáúÚóÑóÈö.


“Usirlah orang-orang Yahudi dan Nashara dari Jazirah Arab.”

Akan tetapi Abu Bakar radhiallahu ‘anhu tidak sempat merealisasikannya karena sibuk dengan peperangan melawan orang-orang murtad atau karena merintis perang melawan orang-orang Persia dan Romawi. Demikian pula Umar pada awal masa kekhalifahannya, sibuk memerangi orang-orang Persia dan Romawi. Ketika ia mempunyai kesempatan merealisasikan hal itu, ia melaksanakan apa yang diperintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Walaupun perbuatan ini secara bahasa bisa dikategorikan sebagai bid’ah. Sebagaimana yang dikatakan orang-orang Yahudi, “Kenapa Anda mengusir kami sedangkan Abul Qasim telah menetapkan kami?”

Pada masa kekhalifahan Ali radhiallahu ‘anhu mereka datang dan menginginkan agar ia mengembalikan mereka. Orang-orang itu berkata, “Tulislah surat dengan tanganmu.” Ia menolak karena tindakan pengusiran itu dilakukan Umar sebagai implementasi dari janji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, walaupun perbuatan itu baru terjadi setelah beliau meninggal dan berbeda dengan apa yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Demikian pula ketika Ali memberi pedang kepada Ahban bin Shaifi seraya berkata, “Gunakanlah untuk memerangi orang-orang musyrik, dan jika Anda melihat kaum muslimin berperang antara mereka, patahkan saja.” Sebab mematahkan pedang, walaupun perbuatan baru dimana kaum Muslimin tidak ada yang mematahkan pedang mereka pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, akan tetapi hal itu juga berdasarkan perintah beliau.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ÎõÐõæÇ ÇúáÚóØóÇÁó ãóÇ ßóÇäó ÚóØóÇÁð¡ ÝóÅöÐóÇ ßóÇäó ÚöæóÖðÇ Úóäú Ïöíúäö ÃóÍóÏößõãú ÝóáÇó ÊóÃúÎõÐõæúåõ.


“Ambillah suatu pemberian jika ia memang pemberian, akan tetapi jika ganti agama salah seorang di antara kalian, maka janganlah diambil.”

Maka ketika para amir memberikan harta Allah kepada orang yang membantu mereka untuk merealisasikan hawa nafsu, walaupun itu maksiat. Orang yang tidak menerima pemberian itu berarti mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, walaupun tidak menerima pemberian dari pemerintah itu perbuatan baru. Namun ketika mereka melakukan hal-hal baru, maka terjadi pula hukum lain berdasarkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Yang termasuk sama dengan bab ini adalah perbuatan Abu Bakar memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat. Walaupun hal itu merupakan perbuatan bid’ah secara bahasa dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah membunuh orang yang tidak membayar zakat sama sekali, beliau hanya mengatakan,

ÃõãöÑúÊõ Ãóäú ÃõÞóÇÊöáó ÇáäøóÇÓó ÍóÊøóì íóÔúåóÏõæúÇ Ãóäú áÇó Åöáóåó ÅöáÇøó Çááåõ æóÃóäøó ãõÍóãøóÏðÇ ÑóÓõæúáõ Çááåö¡ ÝóÅöÐóÇ ÝóÚóáõæúÇ Ðóáößó ÚóÕóãõæúÇ ãöäøöíú ÏöãóÇÁóåõãú æóÃóãúæóÇáóåõãú ÅöáÇøó ÈöÍóÞøöåóÇ¡ æóÍöÓóÇÈõåõãú Úóáóì Çááåö.


“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah, jika mereka melakukan hal itu, darah dan harta mereka terpelihara dariku kecuali karena haknya, sedang hisabnya di sisi Allah.”

Telah diketahui bahwa zakat termasuk hak Tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah, maka darah tetap belum terpelihara dari orang yang enggan membayar zakat. Sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits lain,

ÍóÊøóì íóÔúåóÏõæúÇ Ãóäú áÇó Åöáóåó ÅöáÇøó Çááåõ æóÃóäøó ãõÍóãøóÏðÇ ÑóÓõæúáõ Çááåö¡ æóíõÞöíúãõæÇ ÇáÕøóáÇóÉó æóíõÄúÊõæÇ ÇáÒøóßóÇÉó.


“Hingga mereka bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat dan menunaikan zakat.”

Bab ini memang sangat luas.

Kata kunci pada masalah ini, wallahu a’lam, bahwa orang-orang melakukan hal-hal baru karena mereka melihat adanya sisi kemaslahatan, sebab jika mereka meyakini adanya kerancuan, tentu mereka tidak melakukan hal-hal baru itu, karena hal itu tidak didukung oleh akal sehat dan agama.

Jika kaum Muslimin melihat adanya suatu kemaslahatan, perlu dilihat sebab yang melingkupinya, jika sebab yang meliputinya itu baru terjadi sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, namun Nabi meninggalkannya bukan karena keteledoran dari kita. Di sini kadang kala diperbolehkan melakukan hal baru itu jika memang dibutuhkan. Demikian pula jika kesempatan untuk melakukannya tersedia pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, namun beliau meninggalkannya karena ada penghalang yang hilang sepeninggal beliau.

Akan tetapi jika tidak ada sebab yang meliputinya, atau jika sebab yang meliputinya itu merupakan dosa-dosa hamba, di sini tidak diperkenankan melakukan hal-hal baru. Segala sesuatu jika kesempatan untuk melakukannya tersedia pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam -jika memang terdapat kemaslahatannya-. Dan ternyata beliau tidak melakukannya; maka diketahuilah bahwa itu bukan kemaslahatan.

Adapun jika peluang untuk mengamalkannya tersedia setelah beliau meninggal dan tanpa ada kemaksiatan para makhluk, biasanya terdapat sisi kemaslahatan. Dalam masalah ini para fuqaha mempunyai dua cara.

Pertama, hal itu boleh dilakukan selama tidak ada larangan. Ini pendapat orang-orang yang setuju dengan Al-Mashalihul Mursalah (menentukan hukum syariah berdasarkan sisi manfaat yang dikehendaki atau madharat yang dihindari).

Kedua, hal itu tidak dilakukan selama tidak diperintahkan, ini pendapat orang yang tidak setuju dengan penentuan hukum dengan Al-Mashalihul Mursalah. Mereka terbagi menjadi dua kelompok:

Kelompok pertama, hukum tidak bisa ditetapkan dengannya jika ia tidak termasuk pada sebuah dalil ucapan syari’, atau perbuatan dan ketetapannya, mereka itulah yang menolak adanya qiyas.

Kelompok kedua, menetapkan hukum dengannya dengan lafadz syari’ atau maknanya, mereka itulah orang-orang yang menerima qiyas.

Jika kesempatan untuk mengamalkannya tersedia karena adanya kemashlahatan, namun tidak dijadikannya sebagai syariah. Maka menetapkannya sebagai syariah termasuk merubah agama Allah. Hal itu dilakukan oleh orang-orang yang ingin merubah agama dari kalangan para raja, ulama, hamba, dan orang yang tergelincir dengan ijtihadnya sendiri, seperti apa yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

Åöäøó ÃóÎúæóÝó ãóÇ ÃóÎóÇÝõ Úóáóíúßõãú ÒõáøóÉõ ÚóÇáöãò Ãóæú ÌöÏóÇáõ ãõäóÇÝöÞò ÈöÇáúÞõÑúÂäö æóÃóÆöãøóÉñ ãõÖöáøõæúäó.


“Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan terhadap kalian adalah ketergelinciran seorang ulama, atau perdebatan orang munafik tentang Al-Qur’an, atau para pemimpin yang menyesatkan.”

Contoh permasalahan ini seperti dikumandangkannya adzan untuk dua hari raya, karena ketika perbuatan tersebut dilakukan oleh para pemimpin pemerintahan, kaum Muslimin menolak karena itu perbuatan bid’ah, walaupun tidak ada dalil yang menunjukkan dibencinya perbuatan itu. Jika tidak, maka orang akan mengatakan, “Ini dzikir kepada Allah, ini seruan kepada manusia untuk beribadah kepada Allah.” Maka ia masuk pada dalil-dalil umum sebagaimana firman Allah, “Berdzikirlah kepada Allah dengan dzikir yang banyak.” (Al-Ahzab: 41).

Juga firman-Nya yang lain, “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah.” (Fushilat: 33).

Atau hal itu didasarkan kepada azan hari Jum’at, menguatkan pendapat itu (dengan adzan Jum’at) akan bagusnya adzan untuk dua hari raya lebih kuat daripada berdalil atas bagusnya bid’ah.

Bahkan dikatakan pula bahwa tindakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meninggalkannya walaupun ada kesempatan untuk melakukannya dan tidak adanya penghalang adalah sunnah, sebagaimana melakukannya juga merupakan sunnah.

Sebab ketika beliau memerintahkan azan shalat Jum’at dan shalat pada dua hari raya dengan tanpa azan maupun iqamat, meninggalkan azan pada dua hari raya adalah sunnah dan tidak seorangpun boleh menambahkannya (dengan mengumandangkan azan). Menambahkan sesuatu pada ibadah semacam itu tidak ubahnya seperti menambah jumlah shalat, atau bilangan rakaat, atau haji. Jika seseorang melakukan shalat Dzuhur lima rakaat dan mengatakan, “Tambahan ini adalah amal shalih.” Itu tidaklah sah. Atau jika seseorang melakukannya pada tempat lainnya dengan maksud berdoa dan berdzikir kepada Allah, itu juga tidak sah. Tidak benar jika kemudian ia mengatakan, “Ini bid’ah ha-sanah.” Mestinya dikatakan kepadanya, “Setiap bid’ah sesat.”

Kita ketahui bahwa perbuatan ini jelas merupakan kesesatan sebelum mengetahui adanya dalil khusus yang melarangnya, atau sebelum kita ketahui segi-segi kerusakan pada perbuatan tersebut. Ini contoh perbuatan baru, yang disertai dengan adanya kesempatan untuk melakukannya dan tidak adanya penghalang jika memang perbuatan itu baik. Jika apa yang dilakukan orang pada hal-hal baru itu terdapat kemashlahatan, atau jika ia bersandar kepada dalil yang telah ditetapkan di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, meski demikian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melaksanakannya, sikap beliau meninggalkan hal ini adalah sunnah khusus yang mesti dikedepankan daripada dalil umum atau qiyas.

Contoh munculnya tuntutan melakukan bid’ah yang disebabkan oleh keteledoran kaum Muslimin adalah mendahulukan khutbah sebelum shalat pada shalat dua hari raya. Ketika hal ini dilakukan oleh sebagian pemimpin pemerintahan, kaum Muslimin menolaknya karena memang hal itu bid’ah. Sedang alasan terjadinya bid’ah semacam ini karena kaum Muslimin biasanya bubar sebelum mendengarkan khutbah, sedang pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mereka, atau mayoritas mereka tidak bubar dahulu sebelum mendengarkan khutbah.

Maka dikatakan kepadanya, “Ini disebabkan oleh kecerobohan Anda, sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan khutbah kepada mereka dengan tujuan untuk kepentingan mereka, menyampaikan wejangan kepada mereka, dan menunjukkan kepada mereka. Sementara Anda melakukan itu hanya untuk mengukuhkan kekuasaan Anda. Jika Anda bertujuan memberikan manfaat kepada mereka, namun Anda tidak mengerti apa yang bermanfaat bagi mereka. Ini adalah kemaksiatan dari Anda sendiri, Anda tidak boleh menciptakan kemaksiatan yang baru lagi. Solusi bagi permasalahan ini adalah agar Anda bertaubat kepada Allah dan mengikuti sunnah Rasul-Nya, karena permasalahannya memang telah jelas. Jika permasalahan itu belum tuntas, maka Allah tidak akan meminta pertanggungjawaban kecuali atas perbuatan Anda, bukan perbuatan mereka.

Pemahaman semacam ini acapkali menyebabkan ruwetnya permasalahan bid’ah. Pernah diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dimana beliau bersabda,

ãóÇ ÃóÍúÏóËó Þóæúãñ ÈöÏúÚóÉð ÅöáÇøó äóÒóÚó Çááåõ Úóäúåõãú ãöäó ÇáÓøõäøóÉö ãöËúáóåóÇ.


“Tidaklah suatu kaum melakukan perbuatan bid’ah kecuali Allah akan mencabut dari mereka sebagian dari sunnah yang sepadan dengannya.”

Pada pembahasan yang lalu telah saya singgung dan saya jelaskan bahwa syariat Islam adalah konsumsi hati. Setiap kali hati mengkonsumsi perbuatan bid’ah tidak ada lagi keutamaan sunnah di dalam hati tersebut. Kondisi ini jadinya mirip dengan seseorang yang mengonsumsi makanan kotor. Sebagian besar para pemimpin melakukan praktek-praktek politik sewenang-wenang yang di antaranya merampas harta yang semestinya tidak boleh dirampas dan menghukum pelaku tindakan kriminal yang semestinya tidak layak dengan hukuman seperti itu. Sebab ketika mereka mengabaikan sesuatu yang telah disyariatkan; mengajak yang baik dan mencegah yang mungkar. Dan jika tidak demikian, para pemimpin itu akan mengambil apa yang semestinya diambil dan melepaskan apa yang semestinya dilepaskan, tentu saja rakyat akan menuntut dijalankannya agama Allah, bukan untuk mengukuhkan kekuasaan mereka, tapi untuk melaksanakan hukuman secara adil kepada orang terpandang atau hina, yang dekat atau yang jauh. Dengan segala keinginan mereka mengharapkan diterapkannya keadilan yang telah disyariatkan Allah saat mereka butuh berubahnya keadaan yang mereka alami, bukannya kepada sanksi-sanksi yang sewenang-wenang, apalagi kepada orang yang dapat memelihara budak dan orang yang diperbudak sebagaimana yang dilakukan Khulafaur Rasyidin serta Umar bin Abdul Aziz atau pemimpin lain di daerah lain.

Jika para ulama menjalankan kitab Allah dan mengerti semua penjelasan-penjelasannya yang merupakan hujjah Allah, memahami petunjuk yang ada padanya sebuah ilmu dan amal shalih. Mereka juga melaksanakan hikmah Allah dimana untuk itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diutus, yakni sunnah beliau. Pastilah mereka akan mendapatkan bermacam-macam ilmu yang bermanfaat yang dapat menguasai ilmu yang dimiliki kebanyakan manusia. Pada saat itu juga mereka menjadi unggul di antara semua pendukung kebenaran atau kebatilan dari para makhluk. Mereka juga mendapatkan predikat kesaksian yang Allah berikan kepada umat ini sebagaimana yang Allah firmankan, “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia” (Al-Baqarah: 143).

Tentu setelah itu mereka juga tidak perlu lagi kepada bid’ah-bid’ah yang dilakukan oleh orang-orang ahli bid’ah dengan dalih-dalih yang serba rancu, yang mana orang-orang ahli kalam mengira bahwa dengan bid’ah itu mereka memperjuangkan orisinalitas agama Allah. Para ulama juga tidak butuh lagi kepada argumentasi sesat yang digunakan ahli qiyas bahwa dengan perbuatan bid’ah itu pula mereka menyempurnakan cabang-cabang agama ini. Selama hujjah itu benar dan pendapat itu tepat, itulah inti kitab Allah dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ada yang memahami hal ini dan ada yang tidak memahaminya.

Demikian pula para hamba sekalian, jika mereka melakukan ibadah sesuai dengan apa yang disyariatkan Allah, baik dalam ucapan dan perbuatan lahir maupun batin, mereka juga menikmati ucapan-ucapan yang baik dan amal shalih yang dengan itu Allah mengutus Rasul-Nya. Tentu mereka akan mendapatkan kondisi yang suci bersih, kedudukan yang tinggi, dan prestasi gemilang yang membuat mereka tidak butuh kepada prestasi lain, seperti hanya perubahan-perubahan yang terjadi pada teknologi audio yang memalingkan manusia dari mendengarkan Al-Qur’an, mereka juga tidak butuh kepada bermacam-macam dzikir dan wirid yang dikarang manusia, tidak perlu melakukan tambahan-tambahan dalam ibadah yang dapat mengurangi konsistensi seseorang kepada apa yang telah disyariatkan. Walaupun adakalanya banyak orang, ulama, dan pimpinan yang dimaklumi dalam melakukan hal itu dalam proses ijtihad.

Inti permasalahannya, agar masing-masing mengetahui dalil shahih, walaupun orang yang meninggalkan dalil shahih itu kadang juga mesti dimaklumi karena ijtihadnya, bahkan terkadang ia orang yang benar-benar tulus dan agung dengan ijtihadnya itu. Sebab bukan termasuk syarat menjadi orang tulus, agar semua perkataannya benar, semua ilmunya berdasarkan sunnah, apalagi harus memiliki kedudukan seperti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Pembahasan ini kiranya sangat luas.

Pembahasan tentang macam-macam bid’ah, hukum-hukumnya, dan sifat-sifatnya rasanya tidak cukup untuk dibahas dalam kitab ini (Iqtidhaus Shirathal Mustaqim, Ibnu Taimiyah). Tujuan pemaparan ini adalah untuk memberikan peringatan yang dapat menghilangkan keragu-raguan bagi orang yang menentang hadits shahih sebagaimana yang telah kami sebutkan. Serta untuk memperkenalkan bahwa nash-nash yang menunjukkan cercaan terhadap bid’ah termasuk yang wajib diamalkan.

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=indexkajian&id=1§ion=kj001