Artikel : Kajian Islam - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits - ,

Pendidikan Anak Dalam Islam
oleh :

BANTAHAN ATAS DALIL-DALIL MUHAMMAD ALAWI MALIKI BAHWA PERAYAAN MAULID DIPERBOLEHKAN

DALIL PERTAMA: PEMBAHASAN DAN BANTAHANNYA

Maliki memaparkan dalil pertama, dengan berkata,

“Pertama, perayaan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam itu ekspresi kebahagiaan dan kegembiraan, dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Orang kafir juga merasakan manfaat perayaan Maulid. Di Shahih Al-Bukhari disebutkan, siksa Abu Lahab diringankan setiap hari Senin, karena ia memerdekakan Tsuwaibah, budak wanitanya, yang menyampaikan informasi kelahiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepadanya. Tentang hal ini, Al-Hafidz Syamsuddin Muhammad bin Nashir Ad-Dimasyqi berkata,

‘Jika itu untuk orang kafir yang dikecam
Dengan ayat bahwa kedua tangannya celaka selama-lamanya di neraka
Pada hari Senin, siksanya dikurangi,
Karena bahagia dengan Ahmad
Bagaimana dengan orang menghabiskan umurnya dengan Ahmad
Bahagia dan meninggal dunia dengan bertauhid?’”

Ada beberapa catatan untuk sang tokoh ini.

Catatan Pertama:

Kesenangan dan kegembiraan dengan ingat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di hari kelahiran beliau, diutusnya beliau menjadi nabi, hijrah dan jihad beliau, penyampaian risalah oleh beliau, kasih sayang beliau kepada umat, kesedihan beliau karena duka salah seorang umat, dan lain-lain, wajib dilakukan di setiap situasi, waktu, dan tempat. Bukan pada malam tertentu. Pertemuan demi merayakan Maulid itu mungkar dan keyakinan kacau, makan dan minum secara foya-foya, dan mendengarkan pujian-pujian yang membawa pihak yang di puji (yang dalam hal ini adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) ke tingkatan uluhiyah dan rububiyah. Kalaupun kita asumsikan malam perayaan Maulid bersih dari kemungkaran, maka ingat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada satu malam itu saja merupakan penyimpangan dan kelalaian. Sebab, kita baru ingat, tahu akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan sisi-sisi cemerlang di kehidupan beliau setelah tiga ratus lima puluh empat hari!

Catatan Kedua:

Tentang hadits siksa Abu Lahab diringankan, ulama sudah mengkaji hadits tersebut, menemukan hukum dan manfaat sebanyak mungkin. Tapi, tidak ada seorang pun dari mereka yang berhujjah dengan hadits tersebut bahwa perayaan Maulid disyariatkan.( ket: Di buku Al-Inshaf fima Qila fi Al-Maulid min Al-Ghuluw wa Al-Ijhaf, karya Abu Bakr Al-Jazairi, ada bantahan berhujjah dengan hadits dimerdekakannya Tsuwaibah oleh Abu Lahab dan klaim siksa Abu Lahab dikurangi, karena menyambut gembira kelahiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Menurut Abu Bakr Al-Jazairi, ada beberapa ketidakjelasan seputar masalah ini.
Pertama, di sejarah disebutkan Abu Lahab yang merugi ini bermimpi. Ia ditanya tentang mimpinya, lalu ia menjawab bahwa ia disiksa di neraka. Hanya saja, siksanya dikurangi setiap hari Senin dan air dalam kadar tertentu sebanyak ujung jari-jemarinya. Ia mendapat perlakuan seperti itu, karena ia memerdekakan budak wanitanya, Tsuwaibah, yang menyampaikan berita gembira kelahiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada saudaranya, Abdul Muththalib, dan juga sebab Tsuwaibah menyusui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Klaim ini tidak benar, karena beberapa alasan berikut.

  • 1. Ulama Islam sepakat syariat tidak bisa ditentukan berdasarkan mimpi manusia, kendati orang yang bermimpi tersebut beriman, bertakwa, dan shalih. Kecuali para nabi, maka mimpi mereka wahyu dan wahyu tersebut legal.

  • 2. Orang yang bermimpi seperti mimpi di atas adalah Al-Abbas bin Abdul Muththalib dan orang yang meriwayatkan hadits tersebut meriwayatkannya melalui perantaraan orang lain. Jadi, hadits tersebut mursal dan hadits mursal tidak bisa dijadikan hujjah. Akidah dan ibadah tidak bisa ditentukan berdasarkan hadits mursal. Ada dugaan mimpi Al-Abbas bin Abdul Muththalib tersebut terjadi sebelum ia masuk Islam dan mimpi orang kafir tidak bisa dijadikan hujjah menurut kesepakatan ulama. (baca buku tersebut hal. 30-31).

  • 3. Mayoritas ulama salaf dan khalaf sepakat orang kafir tidak diberi pahala atas perbuatan baiknya jika ia meninggal dunia dalam keadaan kafir. Ini benar, karena Allah Ta’ala berfirman,
    æóÞóÏöãúäóÇ Åöáóì ãóÇ ÚóãöáõæÇ ãöäú Úóãóáò ÝóÌóÚóáúäóÇåõ åóÈóÇÁð ãóäúËõæÑðÇ [ÇáÝÑÞÇä/23]

    ‘Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.’ (Al-Furqan: 23).

    Allah Ta’ala berfirman,
    ÃõæáóÆößó ÇáóøÐöíäó ßóÝóÑõæÇ ÈöÂóíóÇÊö ÑóÈöøåöãú æóáöÞóÇÆöåö ÝóÍóÈöØóÊú ÃóÚúãóÇáõåõãú ÝóáóÇ äõÞöíãõ áóåõãú íóæúãó ÇáúÞöíóÇãóÉö æóÒúäðÇ [ÇáßåÝ/105]
    ‘Mereka itu orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan perjumpaan dengan Dia. Maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat.’ (Al-Kahfi: 105).

    Aisyah pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang Abdullah bin Jud’an yang biasa menyembelih unta sebanyak seribu ekor pada setiap musim haji, menyumbangkan seribu pakaian, dan mengajak diadakannya Perjanjian Al-Fudhul (Hilful Fudhul) di rumahnya; apakah itu semua berguna baginya, wahai Rasulullah? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak. Karena sehari pun ia tidak pernah berkata, ‘Tuhanku, ampuni aku pada hari kiamat’.”

    Dengan semua alasan ini, mimpi di atas tidak shahih, bukan merupakan dalil, dan syubhat.

  • 4. Kebahagiaan Abu Lahab dengan kelahiran keponakannya itu kebahagiaan normal, bukan ibadah. Sebab, semua orang bahagia dengan kelahiran bayinya sendiri, atau bayi salah seorang saudaranya, atau salah seorang kerabatnya. Jika kebahagiaan tidak karena Allah, maka tidak mendapatkan pahala. Fakta ini melemahkan riwayat di atas. Kebahagiaan orang Mukmin dengan nabinya tidak pernah hilang, karena ia selalu mencintai beliau? Kenapa kita masih perlu menyelenggarakan perayaan tahunan meriah untuk beliau? Ini jelas kebatilan dan syubhat picisan tak bermakna. Kalaupun disyariatkan, kenapa landasannya kebatilan dan syubhat? Allah tidak mensyariatkan amalan seperti itu, bukan karena lemah atau lupa. Tapi, sebagai rahmat untuk hamba-hamba-Nya yang beriman. Segala puji bagi Allah atas karunia-Nya.” (Baca hal. 40-41).)

Tidak diragukan, kelahiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam awal kemenangan umat ini dan saat kelahiran beliau terjadi hal-hal yang merupakan lonceng kematian pembela-pembela kejahatan dan negara-negara batil. Tapi, itu semua tidak dapat dijadikan alasan menjadikan malam tersebut hari raya tahunan. Setelah kelahirannya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hidup selama enam puluh tiga tahun. Dalam jangka waktu tersebut, tidak pernah diriwayatkan dari beliau, atau salah seorang sahabat beliau, atau salah seorang tabi’in, bahwa mereka menjadikan malam kelahiran beliau sebagai hari raya yang diperingati dengan meriah setiap tahun. Jika itu diriwayatkan dari mereka, kami manusia pertama yang meniru mereka dalam masalah ini. Para sahabat hanya mengerjakan ibadah yang disyariatkan Allah di Al-Qur’an atau melalui lidah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ibnu Mas’ud, salah seorang tokoh sahabat dan ulama mereka, berkata kepada manusia, “Ikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan jangan membuat bid’ah, karena kalian sudah cukup dengan mengikuti beliau.”

Catatan Ketiga:

Tentang bait syair Al-Hafidz Ad-Dimasyqi, kita berdoa semoga Al-Hafidz Ad-Dimasyqi mendapat ampunan dan rahmat dari Allah. Kita menguatkan perkataannya yang benar,

“Bagaimana dengan orang menghabiskan umurnya dengan Ahmad
Bahagia dan meninggal dunia dengan bertauhid?”

Al-Hafidz Ad-Dimasyqi mengharap pahala Allah, karena kebahagiannya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sepanjang hayatnya, bukan karena kebahagiaannya bersama beliau pada suatu malam setelah tiga ratus lima puluh hari. Ia kaitkan harapannya pada pahala dengan kematiannya dalam keadaan mentauhidkan Allah dengan apa saja yang menjadi hak-Nya, misalnya ibadah dan pengagungan. Bukan dengan menyatakan hak pemberian manfaat, madharat, tidak memberi, dan memberi, itu juga milik pihak lain, di samping Allah sendiri. Tidak dengan mengatakan seorang hamba bisa setara dengan Allah dalam memegang kunci-kunci langit dan bumi. Juga tidak mengatakan Adam dan seluruh makhluk diciptakan demi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, karena itu bertentangan dengan ayat,
æóãóÇ ÎóáóÞúÊõ ÇáúÌöäóø æóÇáúÅöäúÓó ÅöáóøÇ áöíóÚúÈõÏõæäö [ÇáÐÇÑíÇÊ/56]
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Ad-Dzariyaat: 56).

Biasanya, klaim-klaim seperti itu disebutkan pada malam perayaan Maulid ketika menyanjung Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu, para hadirin mempercayainya sepenuh hati. Sang tokoh menyebutkan sebagian hal-hal tersebut di bukunya, Adz-Dzakhair Al-Muhammadiyah. Ia menganggapnya baik, mendukung, mengajak orang lain mengatakan seperti itu, dan meyakini maknanya, yaitu sikap berlebihan dan bid’ah.

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=indexkajian&id=1§ion=kj001