Artikel : Kajian Islam - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits - ,

Pendidikan Anak Dalam Islam
oleh :

  • Catatan Ketiga:

    Maliki mengatakan ingat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam harus dilakukan setiap saat. Kita katakan kepadanya, Anda benar dalam masalah ini. Betul, ingat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam disyariatkan di semua kondisi, waktu, dan tempat. Kita ingat beliau ketika shalat, berdoa, adzan, iqamat, awal dan akhir khutbah kita. Kita memperbanyak shalawat untuk beliau tidak saja pada malam tertentu atau waktu tertentu. Kita ingat beliau, bershalawat untuk beliau, memuji beliau sesuai dengan hak beliau dan kapasitas beliau di sisi Allah, mencintai beliau melebihi cinta kita kepada diri kita sendiri, harta, dan anak-anak kita. Kita lebih mencintai beliau dari apa saja yang kita cintai.

    Sedang cinta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, jika yang dimaksud ialah mencintai seluruh perintah dan larangan beliau, serta tidak beribadah kepada Allah kecuali seperti yang beliau syariatkan, maka itu wajib dilakukan setiap Muslim. Jika yang dimaksud ialah cinta versi Maliki dan para pengikutnya, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam punya otiritas memberi manfaat, madharat, tidak memberi dan memberi, serta hal-hal lain, yang disebutkan di buku Al-Madaih An-Nabawiyah dan sebagiannya dijelaskan di buku-buku Maliki, misalnya buku Adz-Dzakhair Al-Muhammadiyah, dengan hati enjoy, sikap berlebihan, dan menyetarakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan Allah dalam hal memegang kunci-kunci langit dan bumi, seperti terlihat dengan jelas di buku Adz-Dzakhair Al-Muhammadiyah, hal. 110, di penjelasan shalawat Al-Fatih Al-Mughliq (pembuka dan penutup). Itu semua telah saya sebutkan sebelumnya.

    Jika itu semua adalah yang dimaksud dengan cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kita anti mengamalkan hal-hal seperti itu, bersaksi kepada Allah sekaligus meyakini orang yang cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seperti itu orang musyrik kepada Allah, berakidah dengan selain konsekwensi kalimat laa ilaaha illallah, syiriknya lebih besar dari syirik Abu Jahal, Abu Lahab, Ubai bin Khalaf, dan pentolan-pentolan kaum musyrikin, yang menyembah tuhan lain bersama Allah. Mereka saja tidak mengatakan tuhan mereka sejajar dengan Allah dalam hal memegang kunci-kunci langit dan bumi, hak mengkavling lahan di surga, tahu segala hal hingga ruh dan lima hal ghaib di ayat “Allah di sisi-Nya pengetahuan tentang hari kiamat”, cahaya yang tidak punya bayangan di matahari dan bulan, Adam dan seluruh makhluk diciptakan demi hal tersebut, seperti ditegaskan Maliki di bukunya, Adz-Dzakhair Al-Muhammadi-yah. Menurut Maliki, itu semua dan hal-hal lain hak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, seperti disebutkan di halaman sebelum ini. Untuk melegitimasi penyembahan selain Allah, orang-orang musyrik berargumen, “Kami menyembah mereka dengan harapan mereka mendekatkan kami kepada Allah.”
    Maliki menyebutkan masalah ketiga, dengan berkata, “Masalah Ketiga, rangkaian pertemuan ini sarana terbesar dakwah ke jalan Allah dan kesempatan emas yang tidak boleh dibuang begitu saja. Dai harus mendorong umat ingat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, akhlak, etika, kondisi, sirah, muamalah, dan ibadah beliau.”

    Maliki menambahkan, “Barangsiapa tidak mendapatkan hal itu, ia gagal memperoleh kebaikan-kebaikan perayaan Maulid.”

    Tanggapan kita terhadap perkataan di atas ialah dakwah ke jalan Allah itu tidak dilakukan setahun sekali. Mendorong umat ingat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, akhlak, etika, kondisi, sirah, muama-lah, dan ibadah beliau, juga tidak bersifat tahunan. Jika ingat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hanya pada satu malam perayaan Maulid dalam setiap tahun, maka itu kekacauan yang membuat Allah dan Rasul-Nya murka. Jika Maliki dengan lidahnya mengecam ke-mungkaran-kemungkaran di malam-malam perayaan Maulid, tapi ia sendiri menghadirinya dan memberi dukungan dengan kehadiran-nya, maka kita tegaskan, Maliki dengan lidahnya mengatakan sesuatu yang tidak dibenarkan tindakannya dan tindakan para pengikutnya. Sungguh besar dosa di sisi Allah mengatakan sesuatu yang tidak dikerjakan.

    Jika Maliki jujur di perkataannya bahwa malam perayaan Maulid momentum dakwah ke jalan Allah dan berakhlak dengan akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka mana hasilnya? Jika ia berkata perayaan Maulid memandulkan potensi akal yang diberikan Allah kepada kita dan membuat orang Mukmin tawanan ilusi. Andai ia memberi kita dalil kebenaran ucapannya, dengan menyebutkan figur-figur penting dan terhormat dalam parameter sosial, baik dari sisi wawasan umum, jabatan, kecerdasan intelektualitas, atau status sosial. Figur-figur tersebut berpartisipasi dalam perayaan Maulid dan mendanainya. Andai itu semua terjadi, kita katakan kepada Maliki, Anda benar.

    Andai Maliki berkata, kaum laki-laki dan kaum perempuan membaur menjadi satu di perayaan Maulid, syair dilantukan dengan diiringi tabuhan rebana, dan berbagai minuman dihidangkan di dalamnya, terkadang termasuk minuman haram, perayaan ini dihadiri semua lapisan orang, baik orang baik-baik atau orang jahat, dan malam perayaan Maulid mirip acara ngrumpi di tempat-tempat hiburan. Andai ia berkata seperti itu dan juga berkata Maulidnya bersih dari sebagian yang ia sebutkan itu, kita katakan kepadanya bahwa hal itu ada benarnya, karena di negeri kita ada masyarakat yang memang mewajibkan hal-hal yang demikian.

    Jika Maliki berkata, perayaan Maulid menjadi pemicu perpecahan kaum Muslimin dan keyakinan mereka menjadi beragam menyikapi kehadiran sosok penuh berkah (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) di pertemuan-pertemuan mereka, menurut versi mereka, lalu sosok tersebut menyuruh, melarang, memvonis seseorang celaka atau bahagia. Hal ini punya andil besar dalam rusaknya akal sebagian kaum Muslimin, terseretnya perasaan mereka kepada kesesatan dan khurafat yang ditentang akal sehat dan perasaan bersih ulama Islam. Juga punya saham besar dalam pecahnya kaum Muslimin menjadi banyak kelompok, seperti disinyalir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa umat Islam pecah menjadi tujuh puluh tiga kelompok. Semua kelompok masuk neraka, kecuali satu kelompok, yang komitmen dengan manhaj Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan generasi sahabat. Banyaknya sekte, seperti Qadariyah, Jahmiyah, Mu’tazilah, Syiah, dan tarikat-tarikat sufi, tidak lain refleksi perpecahan kaum Muslimin dan hasil upaya penyesatan terhadap mereka oleh dakwah seperti Maliki dan para pengikutnya. Dakwah Maliki memandulkan potensi wahyu, akal, bahkan lebih suka membuat bid’ah.

    Andai Maliki berkata seperti itu, kita katakan kepadanya, Anda benar, sebab banyak sekali buktinya di dunia ini. Tidak ada daya dan upaya, kecuali dengan Allah. Pendapat yang menyatakan sesuatu disyariatkan, karena dianggap baik dan bermanfaat, itu perlu dikaji dengan cermat. Jika hal itu hal-hal dunia dan manfaatnya lebih besar daripada madharatnya, maka legal dan perlu diamalkan. Jika hal tersebut urusan akhirat dan ibadah, maka untuk menyatakan disyariatkan harus berdasarkan wahyu. Jika kita punya dalilnya dari Al-Qur’an, atau Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, atau perbuatan sahabat dan generasi tabi’in, yang merupakan generasi terbaik, maka kita menerimanya, mengamalkannya, dan meyakininya sebagai hal yang disyariatkan, baik dalam bentuk wajib atau sunnah. Sebaliknya, jika hal-hal yang diklaim disyariatkan itu tidak punya landasan dalil dari Al-Qur’an, atau Sunnah, atau perbuatan generasi sahabat yang ucapan dan tindakannya dapat dijadikan hujjah, maka hal itu tertolak dan divonis bid’ah terma-suk pengamalannya, kendati secara lahiriyah baik. Kalau betul itu baik, tentu sudah dikerjakan jauh-jauh hari oleh generasi yang lebih cinta kebaikan daripada kita dan lebih jujur cintanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam daripada kita. Yaitu generasi salaf umat ini dan orang-orangnya yang shalih. Mereka generasi sahabat, gene-rasi tabi’in, dan generasi tabi’ tabi’in. Sebelum kita mendiskusikan klaim Maliki bahwa perayaan Maulid diperbolehkan, kita memu-lainya terlebih dulu dengan menyebutkan keyakinan kita terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kewajiban kita terhadap beliau, misalnya mencintai dan menghormati beliau, dan apa yang perlu kita amalkan terkait dengan beliau. Ini semua berdasarkan arahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada kita dan beliau mewanti-wanti kita untuk tidak bertindak berlebihan, agar kita tidak seperti Ahlul Kitab. Mereka bersikap berlebihan terhadap para nabi dan rasul mereka, hingga menjadikan para nabi dan rasul sebagai Tuhan yang disembah bersama Allah. Allah Mahatinggi dari apa saja yang diucapkan orang-orang zhalim.

    Di Al-Qur’an, kita temukan banyak sekali ayat-ayat yang menjelaskan jati diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Ta’ala berfirman, “Katakan, ‘Aku bukan rasul pertama di antara rasul-rasul dan aku tidak tahu apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak (pula) terhadapmu. Aku tidak lain hanya mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku dan aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan yang menjelaskan’.” (Al-Ahqaf: 9).

    Allah Ta’ala berfirman, “Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. Dan untuk jadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi.” (Al-Ahzab: 45-46).

    Allah Ta’ala berfirman, “Mahasuci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjid Al-Aqsha.” (Al-Isra’: 1).

    Allah Ta’ala berfirman, “Hai Rasul, sampaikan apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhan-mu dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.” (Al-Maidah: 67).

    Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya kamu hanyalah pemberi peringatan dan bagi se-tiap kaum ada orang yang memberi petunjuk.” (Ar-Ra’du: 7).

    Allah Ta’ala berfirman, “Katakan, ‘Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kalian, yang diwahyukan kepadaku bahwa sesungguhnya Tuhan kalian itu Tuhan Yang Esa’.” (Al-Kahfi: 110).

    Allah Ta’ala berfirman,“Patutkah menjadi keheranan bagi manusia bahwa Kami mew-ahyukan kepada seorang laki-laki di antara mereka, ‘Berilah peringatan kepada manusia dan gembirakanlah orang-orang beriman bahwa mereka mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Tuhan mereka’.” (Yunus: 2).

    Allah Ta’ala berfirman, “Katakan, ‘Aku tidak mengatakan kepada kalian bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepada kalian bahwa aku malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku’.” (Al-An’am: 50).

    Allah Ta’ala berfirman, “Katakan, ‘Aku tidak berkuasa menarik manfaat bagi diriku dan tidak (pula) menolak madharat kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebaikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak ditimpa madharat. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang beriman’.” (Al-A’raaf: 188).

    Allah Ta’ala berfirman, “Katakan, ‘Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan sesuatu madharat kepada kalian dan tidak (pula) sesuatu manfaat’.” (Al-Jin: 21).

    Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula).” (Az-Zumar: 30).

    Allah Ta’ala berfirman, “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul.” (Ali Imran: 144).

    Allah Ta’ala berfirman, “Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar.” (Al-Furqan: 20).

    Allah Ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kalian.” (An-Nisa’: 59).

    Allah Ta’ala berfirman, “Dan kami tidak mengutus seseorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah.” (An-Nisa’: 64).

    Allah Ta’ala berfirman, “Barangsiapa mentaati Rasul, sesungguhnya ia mentaati Allah.” (An-Nisa’: 80).

    Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya telah datang kepada kalian seorang rasul dari kaum kalian sendiri, berat terasa olehnya penderitaan kalian, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagi kalian, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang Muk-min.” (At-Taubah: 128).

    Allah Ta’ala berfirman, “Apa yang diberikan Rasul kepada kalian maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagi kalian maka tinggalkan.” (Al-Hasyr: 7).

    Allah Ta’ala berfirman, “Dan mereka berkata, ‘Kami sekali-kali tidak percaya kepadamu hingga kamu memancarkan mata air dari bumi untuk kami. Atau kamu punya kebun kurma dan anggur, lalu kamu alirkan sungai-sungai di celah kebun yang deras alirannya. Atau kamu jatuhkan langit berkeping-keping atas kami, sebagaimana kamu katakan atau kamu datangkan Allah dan malaikat-malaikat berhadapan muka dengan kami. Atau kamu mempunyai sebuah rumah dari emas, atau kamu naik ke langit. Dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai kenaikanmu itu hingga kamu turunkan atas kami sebuah kitab yang kami baca.’ Katakan, ‘Mahasuci Tuhanku, aku hanyalah manusia yang menjadi rasul’.” (Al-Isra’: 90-93).

    Ayat-ayat di atas, puluhan ayat lainnya, bahkan ratusan lainnya menegaskan sifat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, model risalah beliau, statusnya dengan Allah yaitu sebagai rasul-Nya, tugas beliau bukan menguasai manusia, beliau tidak tahu seluk beluk hal ghaib, tidak punya otoritas memberi manfaat atau madharat kecuali dikehendaki Allah, makan makanan, berjalan di pasar, bukan rasul pertama, tidak tahu apa yang diperbuat terhadap beliau sendiri dan kita selaku umat beliau, manusia seperti biasa yang diutus Allah kepada kita sebagai saksi, pemberi kabar gembira, pemberi ancaman, dai ke jalan-Nya atas ijin-Nya, lampu penerang, prihatin dengan kondisi kita, peduli dengan kita, mengasihi orang-orang Mukmin, hamba dan Rasul Allah yang punya watak-watak kemanusiaan seperti pada manusia umumnya.

    Kendati Allah Ta’ala berfirman, “Katakan, ‘Aku hanyalah seorang manusia seperti kalian’.” (Fush-shilat: 6).

    Tapi, beliau dijaga (maksum) dari hal-hal yang tidak dicintai dan tidak diridhai Allah. Tidak ada seorang pun yang mampu menandingi beliau dalam mengenal Allah. Beliau punya kedudukan khusus di sisi Allah, telaga, dan sejumlah keistimewaan dari-Nya. Kendati punya seabrek keistimewaan, kapasitas beliau tidak sampai pada taraf rububiyah dan uluhiyah, misalnya hak tidak memberi, memberi, memberi manfaat atau madharat, berkuasa penuh, menciptakan, mengatur, memonopoli semua keagungan dan kesucian, serta satu-satunya pihak yang disembah dengan segala bentuk, kondisi, jenis, dan tingkatan ibadah.

    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri tahu kapasitas beliau terhadap Allah. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwa seseorang berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

    ãóÇ ÔóÇÁó Çááåõ æóÔöÆúÊó.


    “Apa yang dikehendaki Allah dan apa yang engkau kehendaki.”

    Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

    ÃóÌóÚóáúÊóäöíú áöáøóåö äöÏøðÇ¿ Èóáú ãóÇ ÔóÇÁó Çááåõ æóÍúÏóåõ.


    “Engkau menjadikanku pesaing Allah? Katakan, ‘Apa yang dikehendaki Allah saja’.” (Diriwayatkan An-Nasai, dengan disha-hihkan Ibnu Majah, Ibnu Mardawih, dan lain-lain).

    Di Shahih Al-Bukhari, disebutkan hadits dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, yang berkata,

    ÔóÌøó ÇáäøóÈöíøõ Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó íóæúãó ÃõÍõÏò¡ æóßóÓóÑúÊõ ÑõÈóÇÚöíøóÊóåõ¡ ÝóÞóÇáó: ßóíúÝó íõÝúáöÍõ Þóæúãñ ÔóÌøõæúÇ äóÈöíøóåõãú. ÝóäóÒóáóÊú (áóíúÓó áóßó ãöäó ÇúáÃóãúÑö ÔóíúÁñ).


    “Pada Perang Uhud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terluka dan gigi tengah antara taring dengan gigi seri patah. Beliau bersabda, ‘Apakah kaum yang melukai nabi mereka itu bisa bahagia?’ Lalu, turunlah ayat, ‘Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu’.” (Diriwayatkan Al-Bukhari).

    Di Shahih Al-Bukhari juga disebutkan hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu yang berkata,

    ÞóÇãó ÑóÓõæúáõ Çááåö Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó Íöíúäó ÃõäúÒöáó Úóáóíúåö (æóÃóäúÐöÑú ÚóÔöíúÑóÊóßó ÇúáÃóÞúÑóÈöíúäó). ÝóÞóÇáó: íóÇ ãóÚúÔóÑó ÞõÑóíúÔò Ãóæú ßóáöãóÉð äóÍúæóåóÇ¡ ÇöÔúÊóÑõæúÇ ÃóäúÝõÓóßõãú áÇó ÃõÛúäöíú Úóäúßõãú ãöäó Çááåö ÔóíúÆðÇ. íóÇ ÚóÈøóÇÓó ÇÈúäó ÚóÈúÏö ÇáúãõØóáøöÈö áÇó ÃõÛúäöíú Úóäúßó ãöäó Çááåö ÔóíúÆðÇ¡ íóÇ ÕóÝöíøóÉó ÚóãøóÉõ ÑóÓõæúáö Çááåö Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó áÇó ÃõÛúäöíú Úóäúßö ãöäó Çááåö ÔóíúÆðÇ. æóíóÇ ÝóÇØöãóÉó ÈöäúÊõ ãõÍóãøóÏò Óóáöíúäöíú ãöäú ãóÇáöíú ãóÇ ÔöÆúÊö¡ áÇó ÃõÛúäöíú Úóäúßö ãöäó Çááåö ÔóíúÆðÇ.


    “Ketika turun ayat, ‘Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.’ (Asy-Syu’ara’: 214). Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Hai orang-orang Quraisy, atau kalimat lain, belilah diri kalian. Aku tidak sanggup membela kalian sedikit pun di sisi Allah. Hai Abbas bin Abdul Muththalib, aku tidak dapat membelamu sedikit pun di sisi Allah. Hai Shafiyah, bibi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari jalur ayah, aku tidak mampu membelamu sedikit pun di sisi Allah. Hai Fathimah binti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mintalah kepadaku harta kekayaan sesukamu, aku tidak bisa membelamu sedikit pun di sisi Allah’.” (Diriwayatkan Al-Bukhari).

    Di Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan hadits dari Ibnu Al-Musayyib dari ayahnya yang berkata,

    áóãøóÇ ÍóÖóÑóÊú ÃóÈóÇ ØóÇáöÈò ÇáúæóÝóÇÉõ ÌóÇÁóåõ ÑóÓõæúáõ Çááåö Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó æóÚöäúÏóåõ ÚóÈúÏõ Çááåö Èúäõ ÃóÈöíú ÃõãóíøóÉö æóÃóÈõæú Ìóåúáò¡ ÝóÞóÇáó áóåõ: íóÇ Úóãøö Þõáú áÇó Åöáóåó ÅöáÇøó Çááåõ ßóáöãóÉñ ÃõÍóÇÌõ áóßó ÈöåóÇ ÚöäúÏó Çááåö. ÝóÞóÇáó: ÃóÊóÑúÛóÈõ Úóäú ãöáøóÉö ÚóÈúÏö ÇáúãõØóáøöÈú¿ ÝóÃóÚóÇÏó Úóáóíúåö ÇáäøóÈöíøõ Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó ÝóÃóÚóÇÏó¡ ÝóßóÇäó ÂÎöÑõ ãóÇ ÞóÇáó åõæó Úóáóì ãöáøóÉö ÚóÈúÏö ÇáúãõØóáøöÈö æóÃóÈóì Ãóäú íóÞõæúáó áÇó Åöáóåó ÅöáÇøó Çááåõ¡ ÝóÞóÇáó ÇáäøóÈöíøõ Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó: áÃóÓúÊóÛúÝöÑóäøó áóßó ãóÇ áóãú Ãõäúåó Úóäúßó. ÝóÃóäúÒóáó Çááåõ ÚóÒøó æóÌóáøó (ãóÇ ßóÇäó áöáäøóÈöíøö æóÇáøóÐöíúäó ÂãóäóæõÇ Ãóäú íóÓúÊóÛúÝöÑõæúÇ áöáúãõÔúÑößöíúäó æóáóæú ßóÇäõæúÇ Ãõæúáöíú ÞõÑúÈóì)¡ æóÃóäúÒóáó Ýöíú ÃóÈöíú ØóÇáöÈò (Åöäøóßó áÇó ÊóåúÏöíú ãóäú ÃóÍúÈóÈúÊó æóáóßöäøó Çááåó íóåúÏöíú ãóäú íóÔóÇÁõ).


    “Ketika Abu Thalib hendak meninggal dunia, ia didatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Saat itu, di samping Abu Thalib ada Abdullah bin Abu Umaiyah dan Abu Jahal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Abu Thalib, ‘Paman, ucapkan laa ilaaha illallah (tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah).’ Dengan kalimat ini, aku dapat membelamu di sisi Allah.’ Abdullah bin Abu Umaiyah dan Abu Jahal berkata kepada Abu Thalib, ‘Apakah engkau benci agama Abdul Muththalib?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengulang kembali sabdanya kepada Abu Thalib dan hal yang sama dilakukan Abdullah bin Abu Umaiyah bersama Abu Jahal. Ucapan terakhir Abu Thalib ialah ia mengikuti agama Abdul Muththalib dan tidak mau mengatakan laa ilaaha illallah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Aku pasti akan memintakan ampunan untukmu, selagi tidak dilarang.’ Lalu, Allah Ta’ala menurunkan ayat, ‘Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu kaum kerabat(nya).’ (At-Taubah: 113). Tentang Abu Thalib, Allah menurunkan ayat, ‘Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya.’ (Al-Qashash: 56).” (Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim).

    Di Sunan Abu Dawud, disebutkan dengan sanad yang baik hadits dari Abdullah bin Asy-Syikhkhir radhiallahu ‘anhu, yang berkata,

    ÇöäúØóáóÞúÊõ Ýöíú æóÝúÏö Èóäöíú ÚóÇãöÑò Åöáóì ÑóÓõæúáö Çááåö Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó ÝóÞõáúäóÇ: ÃóäúÊó ÓóíøöÏõäóÇ. ÝóÞóÇáó: ÇóáÓøóíøöÏõ Çóááåõ ÊóÈóÇÑóßó æóÊóÚóÇáóì. ÝóÞõáúäóÇ: æóÃóÝúÖóáõäóÇ ÝóÖúáÇð æóÃóÚúÙóãõäóÇ ØõæúáÇð. ÝóÞóÇáó: ÞõæúáõæúÇ ÈöÞóæúáößõãú Ãóæú ÈóÚúÖö Þóæúáößõãú æóáÇó íóÓúÊóÌúÑöíóäøóßõãõ ÇáÔøóíúØóÇäõ.


    “Aku menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersama delegasi Bani Amir. Kami katakan kepada beliau, ‘Engkau penguasa kami.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Penguasa itu Allah Yang Mahamulia dan Maha-tinggi.’ Kami katakan kepada beliau, ‘Engkau orang paling utama dan paling agung.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Ucapkan perkataan kalian, atau sebagian perkataan kalian. Setan jangan sampai menjadikan kalian sebagai wakilnya’.” (Diriwayatkan Abu Dawud).

    Di Sunan An-Nasai, disebutkan hadits dengan sanad yang bagus dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu yang berkata,

    Ãóäøó äóÇÓðÇ ÞóÇáõæúÇ: íóÇ ÑóÓõæúáó Çááåö íóÇ ÎóíúÑóäóÇ æóÇÈúäó ÎóíúÑöäóÇ æóÓóíøöÏóäóÇ æóÇÈúäó ÓóíøöÏöäóÇ. ÝóÞóÇáó: íóÇ ÃóíøõåóÇ ÇáäøóÇÓõ ÞõæúáõæúÇ ÈöÞóæúáößõãú æóáÇó íóÓúÊóåúæöíóäøóßõãõ ÇáÔøóíúØóÇäõ. ÃóäóÇ ãõÍóãøóÏñ¡ ÚóÈúÏõ Çááåö æóÑóÓõæúáõåõ¡ ãóÇ ÃõÍöÈøõ Ãóäú ÊóÑúÝóÚõæúäöíú ÝóæúÞó ãóäúÒöáóÊöí ÇáøöÊöíú ÃóäúÒóáóäöíó Çááåõ ÚóÒøó æóÌóáøó.


    “Orang-orang berkata, ‘Wahai Rasulullah, orang terbaik kami, anak orang terbaik kami, penguasa kami dan anak penguasa kami.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Wahai manusia, berkatalah secara wajar dan jangan sampai setan menjerumuskan kalian. Aku Muhammad. Aku hamba Allah dan Rasul-Nya. Aku tidak ingin kalian mengangkatku di atas kedudukan yang diberikan Allah Ta’ala kepadaku’.” (Diriwayatkan An-Nasai).

    Ath-Thabrani meriwayatkan hadits yang sanadnya sampai kepada Ubadah bin Ash-Shamit radhiallahu ‘anhu yang berkata,

    ßóÇäó Ýöíú Òóãóäö ÇáäøóÈöíøö Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó ãõäóÇÝöÞñ íõÄúÐöí ÇáúãõÄúãöäöíúäó¡ ÝóÞóÇáó ÈóÚúÖõåõãú: ÞõæúãõæúÇ ÈöäóÇ äóÓúÊóÛöíúËõ ÈöÑóÓõæúáö Çááåö Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó ãöäú åóÐóÇ ÇáúãõäóÇÝöÞö. ÝóÞóÇáó ÇáäøóÈöíøõ Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó: Åöäøóåõ áÇó íõÓúÊóÛóÇËõ Èöíú æóÅöäøóãóÇ íõÓúÊóÛóÇËõ ÈöÇááåö ÚóÒøó æóÌóáøó.


    “Pada jaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ada seorang munafik yang kerjanya selalu mengganggu kaum Mukminin. Sebagian kaum Mukminin berkata, ‘Mari kita minta pertolongan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari ulah orang munafik ini.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Tidak boleh minta pertolongan kepadaku. Sesungguhnya minta pertolongan itu kepada Allah Ta’ala’.” (Diriwayatkan Ath-Thabrani).

    Di Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan hadits dari Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

    áÇó ÊõØúÑõæúäöíú ßóãóÇ ÃóØúÑóÊö ÇáäøóÕóÇÑóì ÇÈúäó ãóÑúíóãó ÅöäøóãóÇ ÃóäóÇ ÚóÈúÏñ ÝóÞõæúáõæúÇ ÚóÈúÏõ Çááåö æóÑóÓõæúáõåõ.


    “Janganlah kalian menyanjungku secara berlebihan, seperti halnya orang-orang Nashrani yang menyanjung Isa bin Maryam secara berlebihan. Aku hanya seorang hamba. Karena itu, kata-kan tentang aku, ‘Hamba Allah dan Rasul-Nya’. (Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim).

    Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma yang berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

    ÅöíøóÇßõãú æóÇáúÛõáõæøó ÝóÅöäøóãóÇ Ãóåúáóßó ãóäú ßóÇäó ÞóÈúáóßõãõ ÇáúÛõáõæøõ.


    “Tinggalkan sikap berlebihan, karena orang-orang sebelum kalian hancur binasa karena sikap berlebihan.” (Diriwayatkan Muslim, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad).

    Muslim meriwayatkan hadits dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

    åóáóßó ÇáúãõÊóäóØøöÚõæúäó.


    “Orang-orang yang memuji berlebihan itu hancur binasa.” (Diriwayatkan Muslim). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda seperti itu hingga tiga kali.

    Di Sunan Ibnu Majah, Ibnu Majah menyebutkan hadits, yang sanadnya sampai pada Abu Mas’ud yang berkata,

    ÃóÊóì ÇáäøóÈöíøó Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó ÑóÌõáñ Ýóßóáøóãóåõ ÝóÌóÚóáó ÊóÑúÚóÏõ ÝóÑóÇÆöÕõåõ¡ ÝóÞóÇáó áóåõ: åóæøöäú Úóáóíúßó ÝóÅöäøöíú áóÓúÊõ Èöãóáößò¡ ÅöäøóãóÇ ÃóäóÇ ÇÈúäõ ÇãúÑóÃóÉò ÊóÃúßõáõ ÇáúÞóÏöíúÏó.


    “Seseorang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu bicara dengan beliau, hingga ia gemetaran. Beliau bersabda, ‘Tenangkanlah dirimu. Aku bukan raja dan aku hanya anak dari seorang wanita yang makan dendeng’.” (Diriwayatkan Ibnu Majah).

    Hadits-hadits shahih dan tegas ini semuanya menunjukkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam serius menjaga tauhid dan minta umat menempatkan beliau pada posisi yang diberikan Allah kepada beliau, tanpa berlebihan dan kurang memenuhi hak. Ucapkan seluruh perkataan kalian atau sebagiannya. Dengan syarat, setan jangan sampai menjadikan kalian sebagai wakilnya. Mahabenar Allah. Sungguh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam amat peduli dan menyayangi kita.

    Sedang status Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di hati kita selaku umat beliau, maka harus dibangun berdasarkan dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antara dalil-dalil tersebut ialah sebagai berikut.

    Allah Ta’ala berfirman, “Barangsiapa mentaati Rasul, sesungguhnya ia mentaati Allah.” (An-Nisa’: 80).

    Allah Ta’ala berfirman, “Apa yang diberikan Rasul kepada kalian maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagi kalian maka tinggalkan.” (Al-Hasyr: 7).

    Allah Ta’ala berfirman, “Katakan, ‘Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian’.” (Ali Imran: 31).

    Allah Ta’ala berfirman, “Katakan, ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, keluarga, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatirkan rugi, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kalian sukai, itu lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan jihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya’.” (At-Taubah: 24).

    Di Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan hadits dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

    áÇó íõÄúãöäõ ÃóÍóÏõßõãú ÍóÊøóì Ãóßõæúäó ÃóÍóÈøó Åöáóíúåö ãöäú æóáóÏöåö æóæóÇáöÏöåö æóÇáäøóÇÓö ÃóÌúãóÚöíúäó.


    “Setiap orang dari kalian tidak beriman hingga aku menjadi orang yang paling ia cintai daripada anak dan ayahnya, serta seluruh manusia.” (Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim).

    Di Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim juga disebutkan hadits dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu yang berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

    ËóáÇóËñ ãóäú ßõäøó Ýöíúåö æóÌóÏó Èöåöäøó ÍóáÇóæóÉó ÇúáÅöíúãóÇäö¡ Ãóäú íóßõæúäó Çááåõ æóÑóÓõæúáõåõ ÃóÍóÈøó Åöáóíúåö ãöãøóÇ ÓöæóÇåõãóÇ¡ æóÃóäú íõÍöÈøó ÇáúãóÑúÁó áÇó íõÍöÈøõåõ ÅöáÇøó áöáøóåö¡ æóÃóäú íóßúÑóåó Ãóäú íóÚõæúÏó Ýöí ÇáúßõÝúÑö ÈóÚúÏó ÅöÐú ÃóäúÞóÐóåõ Çááåõ ãöäúåõ ßóãóÇ íóßúÑóåõ Ãóäú íõáúÞöíó Ýöíó ÇáäøóÇÑö.


    “Ada tiga hal dan barangsiapa ketiga hal tersebut ada pada dirinya maka ia merasakan manisnya iman. Yaitu Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya, ia mencintai orang lain hanya karena Allah, dan ia tidak suka kembali kepada kekafiran setelah diselamatkan Allah darinya, seperti halnya ia tidak suka dijebloskan ke neraka.” (Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim).

    Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

    áÇó íõÄúãöäõ ÃóÍóÏõßõãú ÍóÊøóì íóßõæúäó åóæóÇåõ ÊóÈóÚðÇ áöãóÇ ÌöÆúÊõ Èöåö.


    “Setiap dari kalian tidak beriman, hingga hawa nafsunya meng-ikuti apa yang aku bawa.”

    Tentang hadits di atas, An-Nawawi berkata, “Hadits ini shahih. Kami meriwayatkannya di Kitab Al-Hujjah, dengan sanad shahih.”

    Bershalawat dan kirim salam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membuahkan pahala besar sekaligus mengamalkan firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah untuk Nabi dan ucapkan salam penghormatan kepadanya.” (Al-Ahzab: 56).

    Diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda,

    ÇóáúÈóÎöíúáõ ãóäú ÐõßöÑúÊõ ÚöäúÏóåõ Ýóáóãú íõÕóáøö Úóáóíøó.


    “Orang pelit ialah orang yang namaku disebutkan di sampingnya, namun ia tidak bershalawat untukku.”

    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

    ãóäú Õóáøóì Úóáóíøó æóÇÍöÏóÉð Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö ÈöåóÇ ÚóÔúÑðÇ.


    “Barangsiapa bershalawat untukku sekali saja, Allah bershalawat untuknya sepuluh kali.”

    Di hadits Jibril, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

    ÑóÛöãó ÃóäúÝõ ÇãúÑöÆò ÐõßöÑúÊó ÚöäúÏóåõ Ýóáóãú íõÕóáøö Úóáóíúßó¡ Þõáú Âãöíúäó¡ ÝóÞõáúÊõ Âãöíúäó.


    “Merugilah orang yang namamu diucapkan di sampingnya namun ia tidak bershalawat untukmu, katakan, ‘Amiin,’ maka aku ber-kata, ‘Amiin’.”

    Bershalawat untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam termasuk rukun shalat. Barangsiapa tidak melakukannya dengan sengaja, shalatnya batal. Barangsiapa tidak melakukannya karena lupa, shalatnya tidak sah, hingga ia bershalawat. Shalawat juga termasuk rukun khutbah shalat Jum’at.

    Mendoakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam agar beliau memperoleh Al-Wasilah dan kedudukan tinggi yang tidak dijatahkan kepada selain beliau, setelah adzan disunnahkan dan menjanjikan pahala besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menunaikan risalah Allah, dengan sangat sempurna dan optimal. Beliau meninggalkan umat beliau di atas jalan bersih di mana malamnya seperti siangnya. Barangsiapa menyimpang darinya, ia hancur binasa. Beliau menjalankan amanah, menasihati umat, dan berjihad di jalan Allah dengan jihad sebenarnya. Diriku, ayah dan ibuku menjadi tebusanmu, wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan, orang Mukmin tidak sempurna imannya, hingga beliau menjadi figur yang paling ia cintai dari-pada diri, harta, keluarga, dan seluruh manusia. Apa arti cinta di sini?

    Kita mencintai kepribadian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Kita berhasrat menemani beliau dan kerja sama dengan generasi sahabat dalam mengikuti jejak-jejak beliau, mendengar hadits beliau, hadir di majelis beliau, dan berinteraksi dengan beliau. Sungguh jauh keinginan itu tercapai. Ada jarak cukup jauh antara kita dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Untuk membuktikan klaim kita mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kita harus berpegang teguh dengan Sunnah, baik dalam perkataan, perbuatan, saat belajar dan mengajar, menyuruh orang komitmen dengannya, atau melarang orang dari berpaling darinya. Juga meneladani akhlak dan etika beliau, membela Sun-nah, serta mencampakkan apa saja yang tidak termasuk Sunnah, misalnya bid’ah dan khurafat, kendati secara sekilas terlihat indah dan masuk akal.

    Kita menentang keras segala bentuk bid’ah, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berharap umat mengikuti beliau dan membuang jauh-jauh bid’ah.

    Di Shahih Al-Bukhari disebutkan hadits dari Aisyah radhiallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

    ãóäú ÃóÍúÏóËó Ýöíú ÃóãúÑöäóÇ åóÐóÇ ãóÇ áóíúÓó ãöäúåõ Ýóåõæó ÑóÏøñ.


    “Barangsiapa membuat hal-hal baru di urusan (agama) kami, padahal tidak termasuk bagiannya, maka tertolak.” (Diriwayatkan Al-Bukhari).

    Di riwayat lain, disebutkan,

    ãóäú Úóãöáó ÚóãóáÇð áóíúÓó Úóáóíúåö ÃóãúÑõäóÇ Ýóåõæó ÑóÏøñ.


    “Barangsiapa mengerjakan perbuatan yang tidak kami perintah-kan, maka tertolak.”

    Di Sunan An-Nasai dan Jami’ At-Tirmidzi disebutkan hadits dari Al-Irbadh bin Sariyah radhiallahu ‘anhu yang berkata,

    æóÚóÙóäóÇ ÑóÓõæúáõ Çááåö Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó ãóæúÚöÙóÉð æóÌöáóÊú ãöäúåóÇ ÇáúÞõáõæúÈõ æóÐóÑóÝóÊú ãöäúåóÇ ÇáúÚõíõæúäõ¡ ÝóÞõáúäóÇ: íóÇ ÑóÓõæúáó Çááåö ßóÃóäøóåóÇ ãóæúÚöÙóÉõ ãõæóÏøöÚò ÝóÃóæúÕöäóÇ. ÞóÇáó: ÃõæúÕöíúßõãú ÈöÊóÞúæóì Çááåö ÚóÒøó æóÌóáøó æóÇáÓøóãúÚö æóÇáØøóÇÚóÉö¡ æóÅöäú ÊóÃóãøóÑó Úóáóíúßõãú ÚóÈúÏñ¡ ÝóÅöäøóåõ ãóäú íóÚöÔú ãöäúßõãú ÝóÓóíóÑóì ÇÎúÊöáÇóÝðÇ ßóËöíúÑðÇ¡ ÝóÚóáóíúßõãú ÈöÓõäøóÊöíú æóÓõäøóÉö ÇáúÎõáóÝóÇÁö ÇáÑøóÇÔöÏöíúäó ÇáúãóåúÏöíøöíúäó ãöäú ÈóÚúÏöíú¡ ÚóÖøõæúÇ ÚóáóíúåóÇ ÈöÇáäøóæóÇÌöÐö¡ æóÅöíøóÇßõãú æóãõÍúÏóËóÇÊö ÇúáÃõãõæúÑö¡ ÝóÅöäøó ßõáøó ÈöÏúÚóÉò ÖóáÇóáóÉñ.


    “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menasihati kami dengan nasihat yang membuat hati kami takut dan mata mencucurkan air mata. Kami berkata, ‘Wahai Rasulullah, sepertinya ini nasihat terakhir orang yang akan pergi. Beri kami nasihat.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Aku wasiatkan kalian, hendaklah bertakwa kepada Allah Ta’ala, mende-ngar, dan taat, kendati kalian dipimpin budak. Siapa saja di antara kalian yang diberi umur panjang, ia akan melihat banyak sekali pertentangan. Karena itu, hendaklah kalian berpegang teguh pada Sunnahku dan Sunnah khulafaur rasyidin yang mendapatkan petunjuk sepeninggalku. Pegang Sunnah tersebut kuat-kuat. Tinggalkan hal-hal baru yang diada-adakan, karena bid’ah itu sesat’.” (Diriwayatkan An-Nasai dan At-Tirmidzi).

    Membuat bid’ah dalam agama secara otomatis menuduh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak serius menyampaikan risalah, menasihati umat, dan menunaikan amanah, karena beliau tidak menyampai-kan hal-hal yang dianggap baik ini kepada umat. Pada dekade belakangan, datanglah gerombolan orang, seperti Rafidhah, Qaramithah, sufi, dan dajjal-dajjal lain. Tentang bid’ah, mereka berkata, “Ini baik dan masuk akal. Ini dimaksudkan untuk mencintai Allah dan Rasulullah.” Dan hal-hal yang sekilas terlihat manis di mulut. Mereka mengklaim manusia paling jujur yang mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Pada saat yang sama, mereka menuduh-kan sesuatu pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, padahal beliau bersih dari tuduhan mereka.

    Seluruh kebaikan telah dijelaskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada umat. Beliau mewanti-wanti umat dari keburukan. Andai bid’ah ini betul-betul baik, tentu disyariatkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada umat dan lebih dulu dikerjakan generasi paling serius meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, paling bertakwa kepada Allah, paling suci hatinya, paling bersih nuraninya, dan paling dalam imannya. Mereka sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tabi’in, dan tabi’ tabi’in.

    Kita concern menolak bid’ah, berpijak dari keimanan kita kepada Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai nabi dan rasul. Juga merupakan buah kejujuran cinta kami kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Cinta yang membersihkan beliau dari tuduhan tidak serius menyampaikan risalah, menunaikan amanah, dan menasihati umat. Cinta yang menuntut kami berpegang teguh pada manhaj Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan manhaj generasi sahabat. Cinta yang mengharuskan kami menempatkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada posisi ideal yang diberikan Allah kepada beliau. Cinta yang menghendaki kami beribadah kepada Allah seperti yang disyariatkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ibadah dengan cara mengesakan Allah Ta’ala dalam ibadah, pengagungan, dan bersandar secara sempurna kepada-Nya, berdasarkan arahan yang diberikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada kami. Cinta yang mendorong kami berpegang teguh pada Sunnah beliau, baik dalam perkataan, perbuatan, dan keputusan. Cinta yang menuntut kami mencampakkan apa saja yang tidak termasuk Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Yaitu bid’ah dalam agama dan tidak pernah beliau perintahkan. Cinta yang mengharuskan kami menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai sosok panutan dan teladan ideal dalam semua perkataan, perbuatan, akhlak, etika, dan cara berinteraksi dengan Allah. Cinta yang mewajibkan kami mengkategorikan bid’ah sebagai tindakan pelecehan terhadap agama dan pertanda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menjelaskan kebaikan kepada umat dengan serius. Beliau sama sekali tidak seperti itu.

    Karena didasari cinta ini pula, kami tidak segan-segan “menusuk” siapa saja yang menuduh risalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam cacat dan tidak sempurna. Mereka menciptakan hal-hal yang dipandang baik dan diterima manusia.

    Kami bahagia, gembira, dan hati kami berbunga-bunga, saat mendengar informasi Muhammad Alawi Maliki berhasil meraih gelar doktoral. Kami berharap ijazahnya menjadi pelita yang menyinarinya di jalan dakwah ke jalan Allah, seperti harapan nenek moyangnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, jika penasaban dirinya kepada beliau itu benar. Kalau asumsi ini benar, ia orang yang paling dekat dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, paling layak membela Sunnah beliau dan mementahkan tuduhan yang mencoreng beliau dalam pe-nyampaian risalah, penunaian amanah, dan nasihatnya terhadap umat. Jika sang tokoh, Muhammad Alawi Maliki, mengklaim itu semua saat mengisi kajian dan menulis buku, sungguh klaimnya tidak benar. Ia menyamakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan Allah di rubu-biyah dan uluhiyah-Nya. Ia menegaskan disyariatkannya bid’ah, yang tidak pernah ada pada jaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, jaman sahabat, dan jaman tabi’in. Ia mengakui bid’ah itu baik, mulia, dan berpahala. Dengan sikap seperti itu, dia berada di antara dua hal dan kedua hal ini buruk serta yang paling manis di antara keduanya justru paling pahit.

    Pertama, ia meyakini kebenaran perkataannya. Ini berarti ia “mempermasalahkan” kesempurnaan risalah Islam dan secara tegas menuduh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalai ketika menyampaikan risalah. Buktinya, beliau tidak menjelaskan kebaikan, pahala, dan manfaat seluruh bid’ah ini, menurutnya, kepada umat.

    Kedua, sang tokoh berkata tidak benar tentang dirinya. Tujuannya tidak lebih dari ambisi jabatan, popularitas, jabatan, klaim punya kekuasaan dan pengetahuan, untuk menyesatkan manusia, dan mengacaukan mereka dengan kebatilan. Dengan kebatilan itu, ia keluar menemui manusia dengan mengenakan baju kebesaran wali yang tahu seluruh rahasia alam semesta beserta segala ciri khasnya. Imbalannya, mereka mencium tangannya, membungkukkan badan kepadanya, minta keber-kahan di pakaian dan jejaknya. Ini persis seperti yang kita lihat dan dengar secara riil pada orang ini. Tujuan dan orientasi ini sungguh jahat. Kelak, Allah yang menghisabnya. Tidak ada daya dan upaya, kecuali dengan Allah.

    Setelah Kata Pengantar ini yang berisi penjelasan tentang keyakinan kita terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan motif mengkritik sepak terjang sang tokoh dalam mempropagandakan bid’ah dan membuka pintu-pintu jahiliyah pada umat ini. Kami berbuat seperti ini karena kejujuran cinta kami kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mengikuti beliau dengan benar, meneladani Sunnah beliau dengan niat bersih, konsekwensi keimanan kami akan keesaan Allah dalam uluhiyah, rububiyah, kesempurnaan Dzat dan sifat-Nya. Ia Maha-pertama dan Mahaakhir. Mahazhahir dan Mahabatin. Menahan pemberian dan memberi. Memberi manfaat dan madharat. Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada menye-satkannya. Barangsiapa disesatkan Allah, maka tidak ada yang mampu memberinya petunjuk. Hanya Dia yang sanggup menda-tangkan kebaikan. Hanya Dia yang bisa menghilangkan kebu-rukan. Dia menyempurnakan agama dengan dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, menganugerahkan nikmat kepada kita, dan meridhai Islam sebagai agama kita.

    Setelah Kata Pengantar ini, sekarang kita masuk bersama Al-Maliki untuk mendiskusikan dalil-dalilnya yang menyatakan Maulid diperbolehkan, mengcounter dalil-dalilnya, menjelaskan kepalsuan dan seberapa jauhnya dari inti dalil. Allah tempat minta pertolongan.




  • Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
    Versi Online : index.php/?pilih=indexkajian&id=1§ion=kj001