Artikel : Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits
Hukum Meletakkan Surat Pada Kelambu Ka’bah Dan Menujukannya Kepada Rasulullah a Atau Selain Beliau
Jumat, 02 April 04

Tanya :

Ada seseorang bertanya: Kami sering mendapatkan surat-surat di kelambu Ka’bah, pada alamatnya tercatat secara singkat: “Kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala Yang Maha Pemurah.” Di dalam surat itu ada ungkapan sebagai berikut: “Wahai kekasih Allah, kami sangat berharap dapat berziarah ke rumahmu dan dekat darimu, dan kami mendambakan dapat melakukan shalat di tanah sucimu yang mulia. Aku berharap kepadamu, wahai kekasih Allah agar engkau sudi mengabulkan permohonan kami, menjadikan kami dekat darimu bersama keluarga dan suamiku, agar dengan kedekatanku darimu itu aku menjadi bahagia. Shalawat atasmu, wahai kekasih Allah. Dari: pelayanmu yang patuh, Alawiyah binti Aisyah”.
Bagaimana pendapat Syaikh mengenai orang yang menulis seperti ini dan meyakininya?

Jawab :

Surat itu jelas dari Alawiyah binti Aisyah ditujukan kepada Rasu-lullah Shalallaahu alaihi wasalam dan isinya adalah berdo’a kepada selain Allah Subhannahu wa Ta'ala .

Berdo’a kepada selain Allah Subhannahu wa Ta'ala itu adalah syirik akbar yang dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam, karena Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam tidak dapat mendatangkan manfaat ataupun kemudharatan untuk dirinya dan beliau pun tidak dapat memberikan manfa’at dan keburukan terhadap orang lain. Allah Subhannahu wa Ta'ala telah berfirman,
“Katakan wahai Muhammad: Aku tidak mengatakan kepada kamu bahwa pembendaharaan Allah ada padaku, dan tidak pula aku mengetahui yang ghaib dan tidak pula aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.” (Al-An’am: 50).

Jadi, perbendaharan Allah tidak ada pada Nabi Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam untuk bisa memberikannya kepada siapa yang dikehendakinya dan beliau juga tidak mengetahui yang ghaib untuk bisa memperingatkan apa yang akan terjadi, dan beliau juga bukan seorang malaikat. Beliau tiada lain adalah seoranag manusia biasa, bahkan beliau adalah salah seorang dari hamba Allah q, beliau hanya mengikuti apa yang diwahyukan kepada-nya saja. Beliau pun mendapat predikat (gelar) hamba, itu pun dalam konteks penghormatan untuk beliau, seperti konteks penurunan Al-Qur’an dan konteks isra’ serta pembelaan terhadapnya.

Yang penting, surat itu dan yang serupa dengannya adalah kesyirikan akbar yang mengeluarkan pelakunya dari Islam, (sebab) Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam tidak dapat menolak atau memberikan manfa’at kepada si perempuan itu atau kepada lainnya.
“Katakanlah, “Aku tidak kuasa mendatang sesuatu kemudaratan pun kepadamu dan tidak (pula) sesuatu kemanfa’atan.” (Al-Jin: 21).
Nabi Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam pernah mengumpulkan kaum kerabatnya dan beliau pun menyeru mereka dengan mengatakan,

áÇó ÃõÛúäöíú Úóäúßõãú ãöäó Çááåö ÔóíúÆðÇ.

“Aku tidak dapat menyelamatkan kalian sedikit pun (dari siksa) Allah.”

Maka perempuan yang melakukan hal tersebut wajib bertobat kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala dan berdo’a hanya kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala saja, karena Dialah yang dapat menghilangkan keburukan dan Dia pula yang mengabulkan do’a orang yang terjebak dalam bahaya apabila ia berdo’a kepada-Nya.

Di dalam ungkapannya terdapat satu hal penting yang harus kita komentari, yaitu ucapannya mengenai Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam : “Ya Habiballah” (Wahai kekasih Alah). Beliau memang tidak diragukan lagi adalah kekasih Allah, namun ada ungkapan lain yang lebih tinggi dari itu, yaitu “Khalilullah” (yang sangat dikasihi Allah), sebagaimana beliau sabdakan,

Åöäøó Çááåó ÊóÚóÇáóì ÞóÏö ÇÊøóÎóÐóäöíú ÎóáöíúáÇð ßóãóÇ ÇÊøóÎóÐó ÅöÈúÑóÇåöíúãó ÎóáöíúáÇð.

“Sesungguhnya Allah Ta'ala telah mengangkatku sebagai seorang khalil, sebagaimana Dia telah mengangkat Ibrahim sebagai khalil.”

Oleh karena itu, siapa saja yang mensifati beliau dengan “habib” (kekasih) saja, maka berarti telah merendahkan derajat beliau, sebab “Khullah” itu lebih tinggi dan lebih agung daripada “Mahabbah”.

Semua kaum Mu’minin itu adalah para kekasih Allah, akan tetapi Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam berada pada tingkat yang lebih dari itu, yaitu tingkat “khullah” (yang sangat dikasihi). Maka dari itu kita katakan bahwa sesungguhnya Muhammad Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam adalah khalilullah. Ungkapan ini lebih tinggi daripada ungkapan kita: beliau adalah habibullah.

( Ibnu Utsaimin: Fatawal ‘aqidah, hal. 396-397.)

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=lihatfatwa&id=714