Artikel : Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits
Standar Panjang dan Pendeknya Shalat adalah Sunnah, Bukan Selera
Rabu, 16 Februari 22

Pertanyaan:

Ada makmum yang mengeluh kepada saya karena saya terlalu lama berdiri setelah ruku (yakni saat i'tidal). Saat itu memang saya membaca dzikirnya dengan lengkap, yaitu (ÑóÈøóäóÇ æóáóßó ÇáúÍóãúÏõ ÍóãúÏðÇ ßóËöíúÑðÇ ØóíöøÈðÇ ãõÈóÇÑóßðÇ Ýöíúåö dst.), apakah ada doa ringkas yang bisa dibaca saat bangkit dari ruku sehingga kami tidak memberatkan para makmum?

Jawaban:

Yang wajib bagi imam dan setiap orang yang melaksanakan suatu tugas adalah mengikuti as-Sunnah (tuntunan Rasulullah saw), bukan mengikuti seseorang sehingga bertolak belakang dengan as-sunnah. Jika terpaksa dan kondisi menuntut, tidak apa-apa sekali-sekali meringankan sedikit, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Adapun dalam kondisi yang berkesinambungan, maka mengikuti as-Sunnah menjadi tuntutan dalam mengimami. Karena itu, teguhlah dalam melaksanakan as-Sunnah dan beritahukan para makmum, bahwa, jika mereka bersabar dalam hal ini, niscaya akan mendapat pahala orang-orang yang bersabar dalam mentaati Allah. Jika memperpendek dan memperpanjang bacaan diserahkan kepada kecenderungan manusia, maka umat ini akan berpecah belah menjadi beberapa kelompok, karena yang terasa sedang bagi sebagian orang bisa terasa panjang bagi sebagian yang lain. Maka hendaknya anda berpedoman kepada as-Sunnah, dan itu mudah untuk diketahui, Alhamdulillah.

Untuk itu, kami nasehatkan kepada setiap imam yang mengimami kaum Muslimin di masjid-masjid agar merujuk pada bacaan yang telah dituliskan oleh para ulama tentang sifat shalat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, di antaranya adalah kitabus shalah karya Ibnu Qayyim, buku ini cukup terkenal, juga yang beliau sebutkan dalam buku zadul ma'ad fi huda khairil 'ibad.

Kitab Ad-Da’wah (5), Syaikh Ibnu Utsaimin (2/90-91).

Pertanyaan:

Kami jamaah masjid besar di universitas al-Malik Sa'ud, dan kami rata-rata mahasiswa, yang kami lakukan seputar belajar dan ujian. Kami sering berbeda pendapat dengan imam masjid mengenai panjang dan pendeknya bacaan shalat. Apakah masalah meringankan bacaan yang ditunjukkan oleh as-Sunnah bersifat relatif? Bagaimana ukuran yang tepat dalam setiap shalat, terutama dalam shalat jahr (shalat yang bacaannya nyaring)?

Jawaban:

Ya, tentang ringannya bacaan shalat sifatnya relatif. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan bacaan selain beliau serta petunjuk beliau tentang bacaan shalat. Sebab larangan memanjangkan bacaan adalah kisah Muadz yang saat itu telah melaksanakan shalat Isya' bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang biasanya menunda pelaksanaan shalat Isya hingga sekitar dua hingga tiga jam setelah terbenam matahari. Setelah itu Muadz kembali kepada kaumnya di pedalaman, dan baru shalat bersama mereka setelah satu jam kemudian.

Perlu diketahui, bahwa orang-orang yang shalat bersama Muadz itu mayoritas para pekerja di ladang dan kebun mereka, tentunya mereka sudah capai dan lelah sepanjang siang, tubuh mereka pun sudah kepayahan. Sudah barang tentu panjangnya bacaan menjadi beban tersendiri bagi mereka. Memang Muadz kadang memanjangkan bacaan, adakalanya ia membaca surat al-Baqarah. Mereka itulah yang mengadukan perkara ini kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, lalu beliau pun melarangnya dan memerintahkannya untuk bersikap lembut kepada mereka, yaitu dengan membaca surat-surat yang sedang; (ÅöÐóÇ ÇáÓøóãóÇÁõ ÇäúÔóÞøóÊú¡ ÅöÐóÇ ÇáÓøóãóÇÁõ ÇäúÝóØóÑóÊú¡ ÅöÐóÇ ÇáÔøóãúÓõ ßõæöøÑóÊú¡ æóÇáÓøóãóÇÁö ÐóÇÊö ÇáúÈõÑõæúÌö¡ ÓóÈöøÍö ÇÓúãó ÑóÈöøßó ÇáóÇÚúáóì) dan sebagainya, semua itu tidak mengapa untuk kondisi tersebut.

Adapun meringankan yang berlebihan, maka itu suatu kesalahan, karena tidak ada dalilnya dalam hadits. Sedangkan yang ada dalilnya adalah, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memanjangkan bacaan, sebagaimana yang dikatakan oleh Anas radhiyallahu 'anhu, "Beliau menyuruh kami meringankan bacaan, dan beliau mengimami kami dengan membaca ash-shaffat." (HR. an-Nasa`i dari Anas, hadits shahih).

Tidak diragukan lagi, bahwa ini menjelaskan tindakan beliau, dan tindakan beliau itu menjelaskan perkataannya. Kesimpulannya, bahwa surat ash-shaffat itu termasuk ringan. Jadi beliau menyuruh untuk meringankan bacaan, yaitu agar tidak membaca surat-surat yang panjang, seperti; surat an-Nahl, Yusuf, at-Taubah dan sebagainya. Dengan demikian, surat ash-shaffat termasuk bacaan yang ringan.

Terkadang Nabi shallallahu 'alaihi wasallam shalat mengimami mereka dengan membaca antara 60 sampai 100 ayat dalam shalat Shubuh , yaitu dari antara surat-surat yang sedang, bukan dari surat-surat yang pendek, seperti; surat al-Ahzab (73 ayat), al-Furqan, an-Naml, an-Ankabut dan sebagainya. Surat-surat tersebut berkisar antara 60 hingga 100 ayat. Jika membacanya, maka itulah bacaan yang sedang. Jika para makmum tidak kuat, maka bisa dengan surat-surat yang ringan. Dalam shalat Shubuh bisa membaca surat Qaf hingga al-Mursalat. Inilah bacaan yang pertengahan, tidak boleh diingkari orang yang mengikuti cara ini.

Al-Lu’lu’ Al-Makin, Syaikh Ibnu Jibrin, hal. 119-120.


Sumber: 'al-Fatawa asy-Syar'iyyah Fi al-Masail al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama al-Balad al-Haram,'
(Fatwa-Fatwa Syar'i Terhadap Permasalahan Kontemporer Oleh Para Ulama Kota Suci dari syaikh Khalid bin Abdurrahman al-Juraisiy).
Diposting oleh: Abdul Wakhid

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=lihatfatwa&id=1790