Artikel : Bulein Annur - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits

Berpuasa Ramadhan Ala Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam

Jumat, 17 Mei 19

Perjumpaan dengan bulan Ramadhan sungguh merupakan nikmat yang agung, maka seorang muslim harus mensyukuri nikmatNya tersebut dengan memanfaatkannya sebaik-baiknya dengan mengisinya sesuai petunjuk Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Salah satu petunjuk Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam terkait bulan tersebut adalah berpuasa di siang harinya, sejak terbit fajar hingga tenggelamnya matahari selama satu bulan lamanya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,


íóÇ ÃóíõøåóÇ ÇáóøÐöíäó ÂãóäõæÇ ßõÊöÈó Úóáóíúßõãõ ÇáÕöøíóÇãõ ßóãóÇ ßõÊöÈó Úóáóì ÇáóøÐöíäó ãöäú ÞóÈúáößõãú áóÚóáóøßõãú ÊóÊóøÞõæäó


Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Qs. Al-Baqarah: 183).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,


ÞóÏú ÌóÇÁóßõãú ÑóãóÖóÇäõ ÔóåúÑñ ãõÈóÇÑóßñ ÇÝúÊóÑóÖó Çááøóåõ Úóáóíúßõãú ÕöíóÇãóåõ


Telah datang kepada kalian Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah mewajibkan atas kalian berpuasa (pada siang hari) nya. (HR. Ahmad di dalam al-Musnad, no. 7148).
Sebagaimana halnya ibadah yang lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan penjelasan mengenai bagaimana caranya, maka demikian pula halnya dengan ibadah puasa Ramadhan. Maka, sepatutnya kita berpuasa Ramadhan ala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu dengan mengikuti petunjuk-petunjuk Beliau dalam pelaksanaannya.

Untuk itu, berikut uraian singkat beberapa petunjuk Beliau dalam hal tersebut.

1. Niat di malam hari sebelum terbit fajar.

Dari Hafsah Ummul Mukminin radhiyallahu’anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,


ãóäú áóãú íõÌúãöÚö ÇáÕøöíóÇãó ÞóÈúáó ÇáúÝóÌúÑö ÝóáóÇ ÕöíóÇãó áóåõ


Barangsiapa yang tidak berniat puasa sebelum fajar maka tidak ada puasa baginya. (HR. Abu Dawud, no. 2456).

Berkata al-Khaththabiy rahimahullah -sebagaimana dinukil oleh Muhammad Syamsul Haq al-Azhim Aabaadiy Abu Thayyib-, “ dan di dalamnya (di dalam hadits ini, riwayat Abu Dawud) terdapat keterangan bahwa barangsiapa yang terlambat niatnnya untuk berpuasa dari awal waktunya (yakni, terbit fajar), maka puasanya rusak (tidak sah). (Aunul Ma’bud, 7/89).

Niat secara bahasa, yaitu, memaksudkan sesuatu tertentu dan keinginan hati untuk melakukan hal tersebut. (al-Majmu’, an-Nawwi, (1/360).

Adapun secara syar’i, yang dimaksud dengan “niat”, yaitu, keinginan kuat hati untuk melakukan suatu amal yang bersifat wajib atau yang lainnya. Dan perlu diperhatikan bahwa yang dimaksud dengan niat dalam hal berpuasa adalah keinginan kuat atau keinginan secara menyeluruh -yaitu, makna umum niat-, yakni, bahwa puasa itu sah dengan meniatkannya sejak malam harinya tanpa mempersyaratkan kaitannya dengan permulaan puasa, yaitu, terbit fajar, oleh karena itu bila seorang berniat (untuk puasa) kemudian ia makan (sebelum fajar) dan kemudian berpuasa, maka puasanya sah. (al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, Prof.Dr. Wahbah az-Zuhailiy, 1/127).

Cukupkah niat sekali diawal bulan sebelum terbitnya fajar ataukah setiap malam harus berniat ?

Dalam hal ini terdapat berbedaan pendapat. Ada yang berpendapat tidak cukup hanya berniat sekali diawal bulan Ramadhan, berdalil dengan hadits di atas, dan beralasan karena puasa setiap harinya dari bulan tersebut merupakan puasa tersendiri terbedakan dari selainnya, maka bila mana seseorang tidak meniatkannya pada hari ke-2 sebelum terbit fajar dan pada hari ke-3 nya juga tidak berniat kembali untuk berpuasa maka puasanya tidak sah. Ini adalah pendapat Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu dan anaknya, Abdullah bin Umar bin Khathab radhiyallahu ’anhuma, dan pendapat inilah yang dipilih oleh al-Hasan al-Bashriy, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal.

Berbeda dengan Ishaq bin Rahawaih, ia berkata, “Jika berniat puasa pada awal malam bulan Ramadhan maka mencukupi untuk puasa sebulan penuh meskipun ia tidak memperbaharui niat tersebut setiap malamnya. (lihat, Aunul Ma’bud, 7/89)

2. Sahur.

Yang dimaksud dengan sahur di sini adalah mengonsumsi makanan ataupun minuman pada waktu sahar (akhir malam menjelang terbit fajar). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,


ÊóÓóÍóøÑõæÇ æáæú ÈöÌóÑúÚóÉò ãöäú ãÇÁò


Sahurlah meskipun hanya dengan minum seteguk air. (HR. Ibnu Hibban, no. 3476).
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,


ÊóÓóÍøóÑõæÇ ÝóÅöäøó Ýöì ÇáÓøóÍõæÑö ÈóÑóßóÉð


Sahurlah kalian, karena sesungguhnya dalam “sahur” itu terdapat keberkahan. (HR. Al-Bukhari, no. 1923). Dalam riwayat lain,


ÊóÓóÍøóÑõæÇ¡ ÝóÅöäøó Ýöí ÇáÓøõÍõæÑö ÈóÑóßóÉð


Sahurlah kalian, karena sesungguhnya dalam “suhur” (santap makanan di waktu sahur) itu terdapat keberkahan. (HR. Muslim, no. 2603).

Perintah dalam sabda Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam “sahurlah kalian“ merupakan perintah yang menunjukkan disunnahkannya hal tersebut bukan menunjukkan bahwa sahur itu wajib. Yang memalingkan perintah ini dari asal hukumnya “wajib” kepada sunnah adalah tindakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Aisyah radhiyallahu’anha, ia berkata, ’Pada suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berkata kepadaku,


íóÇ ÚóÇÆöÔóÉõ åóáú ÚöäúÏóßõãú ÔóìúÁñ¿


Wahai ‘Aisyah apakah ada sesuatu (yang dapat dikonsumsi)? Aisyah berkata, ‘Aku pun menjawab,’ Wahai Rasulullah, ‘Tak ada sesuatu apa pun di sisiku (untuk dikonsumsi). Beliau pun kemudian berujar, “Jika begitu maka aku berpuasa.” (HR. Muslim).

3. Mengakhirkan pelaksanaan santap sahur.


Úóäú ÇäÓ Èúäö ãóÇáößò Úóäú ÒíúÏ Èúä ËóÇÈöÊò ÑóÖóí Çááå ÚóäúåõãóÇ ÞÇá: ÊóÓóÍøóÑúäóÇ ãóÚ ÇáäÈí Õáì Çááå Úáíå æÓáã Ëõãøó ÞóÇãó Åáì ÇáÕøóáÇÉö. ÞÇá ÃäÓ: ÞõáúÊõ áöÒíúÏò: ßóãú ßóÇäó Èóíúäó ÇáÃÐóÇäö æóÇáÓøõÍõæÑö¿ ÞÇá: ÞóÏúÑõ ÎóãúÓöíäó ÂíÉò


Anas (bin Malik) meriwayatkan dari Zaed bin Tsabit radhiyallahu’anhuma, ia berkata, kami (para sahabat) pernah santap sahur bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (setelah selesai) kemudian Beliau bangkit untuk mengerjakan shalat (Subuh), aku (yakni, Anas bin Malik) bertanya (kepada Zaed bin Tsabit) ,”berapa lama rentang waktu antara (dikumandangkannya) Adzan dan proses santap sahur selesai ? Ia (Zaed) menjawab, ”Sekitar (lamanya dibacakan) 50 ayat.” (HR. Al-Bukhari, no. 1921). Dalam riwayat lain,


ÞóÏúÑõ ÎóãúÓöíäó Ãæ ÓÊíä íÚäí ÂíÉ


Sekitar (lamanya dibacakan) 50 atau 60, yakni, ayat. (HR. Al-Bukhari, no. 575).

4. Tidak melakukan hal yang dapat membatalkan puasa, seperti makan, minum, jima’, dll.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,


æóßõáõæÇ æóÇÔúÑóÈõæÇ ÍóÊøóì íóÊóÈóíøóäó áóßõãõ ÇáúÎóíúØõ ÇáúÃóÈúíóÖõ ãöäó ÇáúÎóíúØö ÇáúÃóÓúæóÏö ãöäó ÇáúÝóÌúÑö Ëõãøó ÃóÊöãøõæÇ ÇáÕøöíóÇãó Åöáóì Çááøóíúáö


Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam. (Qs. Al-Baqarah: 187).

5. Menjaga segenap anggota badan dari kesia-siaan dan perbuatan haram


Úóä ÃóÈöí åõÑóíúÑóÉó Úóä ÇáäøóÈöíøö Õóáøóì Çááøóåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó ÞóÇáó ãóäú áóãú íóÏóÚú Þóæúáó ÇáÒøõæÑö æóÇáúÚóãóáó Èöåö æóÇáúÌóåúáó ÝóáóíúÓó áöáøóåö ÍóÇÌóÉñ Ãóäú íóÏóÚó ØóÚóÇãóåõ æóÔóÑóÇÈóåõ


Abu Hurairah radhiyallahu’anhu meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Beliau bersabda, “Barang siapa tidak meninggalkan perkataan dusta dan tindakan dusta dan bodoh, niscaya Allah tidak butuh terhadap tindakannya meninggalkan makan dan minum.” (HR. Al-Bukhari, no. 1903).

Ibnu al-Munayyir di dalam al-Hasyiyah sebagaimana dinukil al-Hafizh ibnu Hajar di dalam Fathul Baari – mengatakan, “Ungkapan, ‘Niscaya Allah tidak butuh terhadap tindakannya meninggalkan makan dan minum’ merupakan kinayah bahwa puasa yang dilakukannya tidak akan diterima…sampai perkataannya… maka maksud ungkapan tersebut adalah ditolaknya puasa yang dicampuri dengan kedustaan (dan perkara haram lainnya), diterimanya puasa yang selamat dari perkara kedustaaan (dan perkara haram lainnya).” (Lihat, Fathul Baariy, 6/142).

Di tempat yang sama Ibnul Arobiy berkata, “Konsekwensi dari hadits ini bahwa barang siapa melakukan hal yang Nabi sebutkan (yakni, “berkata dusta dan lainnya”) niscaya puasanya tidak diberi ganjaran.” (Fathul Baariy, 6/142).

6. Segera berbuka bila telah tiba waktunya (yaitu, dengan tenggelamnya matahari).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,


ÅöÐóÇ ÃóÞúÈóáó Çááóøíúáõ ãöäú åóÇ åõäóÇ ¡ æóÃóÏúÈóÑó ÇáäóøåóÇÑõ ãöäú åóÇ åõäóÇ ¡ æóÛóÑóÈóÊú ÇáÔóøãúÓõ ÝóÞóÏú ÃóÝúØóÑó ÇáÕóøÇÆöãõ


Bila malam telah muncul dari arah sana, dan siang telah meninggalkan dari arah sana dan matahari telah tenggelam, maka telah tiba saatnya orang yang berpuasa berbuka. (HR. Al-Bukhari, no. 1954).


áÇ íóÒóÇáõ ÇáäóøÇÓõ ÈöÎóíúÑò ãóÇ ÚóÌóøáõæÇ ÇáúÝöØúÑ


Manusia akan senantiasa dalam kebaikan selagi mereka menyegerakan berbuka (kala telah tiba waktunya). (HR. Al-Bukhari, no. 1957 dan Muslim, no. 2608, dari Sahl bin Sa’ad). Dalam riwayat lain, Beliau bersabda,


áÇ íóÒóÇáõ ÇáäóøÇÓõ ÈöÎóíúÑò ãóÇ ÚóÌóøáõæÇ ÇáúÝöØúÑó ÝóÅöäóø ÇáúíóåõæÏó æóÇáäóøÕóÇÑóì íõÄóÎöøÑõæäó


Manusia akan senantiasa dalam kebaikan selagi mereka menyegerakan berbuka (kala telah tiba waktunya), segeralah berbuka, karena orang-orang Yahudi selalu mengakhirkannya. (HR. Ibnu Majah, no. 1698).

7. Berdoa saat berbuka.

Berkata Abdullah bin Umar radhiyallahu ’anhuma,


ßóÇäó ÑóÓõæáõ Çááøóåö Õóáøóì Çááøóåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó ÅöÐóÇ ÃóÝúØóÑó ÞóÇáó : ÐóåóÈó ÇáÙøóãóÃõ æóÇÈúÊóáøóÊú ÇáúÚõÑõæÞõ æóËóÈóÊó ÇáÃóÌúÑõ Åöäú ÔóÇÁó Çááøóåõ


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kala berbuka puasa mengucapkan, “ Dzahabadzdzama-u Wab- Tallatil ‘Uruqu Wa Tsabatal Ajru, Insya Allah (Telah hilang rasa haus, dan uraturat telah basah serta pahala akan tetap insya Allah).” (HR. Abu Dawud, no. 2359).

Demikian uraian singkat tentang puasa Ramadhan ala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang dapat kami tulis, akhirnya, semoga Allah memberikan taufik kepada kita untuk berpuasa Ramadhan secara baik, dengan mengikuti petunjuk-petunjuk Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Aamiin. (Redaksi).

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=lihatannur&id=826