Artikel : Bulein Annur - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits

Muntahan Yang Kembali Ditelan

Selasa, 24 Juni 14

Siapa yang tahan? Makanan yang sudah dimuntahkan kemudian dimakan kembali. Orang yang berakal sehat pasti akan berfikir bahwa menyantap makanan yang sudah dimuntahkan adalah sebuah kegilaan. Hanya orang-orang gila yang kuasa untuk melakukannya. Selezat apa pun menu makanan yang disantapnya, ketika berubah menjadi muntahan pasti rasa dan aromanya akan berbalik 180 derajat. Inilah yang menjadikan setiap orang tidak tahan melihat tekstur maupun aroma makanan yang sudah menjadi muntahan.

Secara naluri memakan kembali muntahan sangatlah menjijikkan. Ia adalah perbuatan yang menyelisihi kodrat dan keluar dari kelaziman yang semestinya. Bahkan jika hal itu dilakukan oleh seekor binatang pun, naluri dan akal sehat kita akan memungkirinya, bahwa apa yang dilakukan oleh binatang tersebut sangatlah menjijikkan.

Antara hibah dan muntahan

Apa itu hibah? HIBAH adalah pemberian dari seseorang dengan pengalihan hak milik atas hartanya yang jelas, yang ada semasa hidupnya kepada orang lain tanpa mensyaratkan adanya imbalan. Ia adalah akad yang bersifat derma.

Mengeluarkan harta dengan cara derma (pemberian) bisa berupa hibah, hadiah dan sedekah. Jika tujuannya untuk mendapatkan pahala akhirat, dinamakan sedekah. Jika dimaksudkan untuk kasih sayang dan mempererat hubungan, dinamakan hadiah. Sedangkan jika dimaksudkan agar orang yang diberi dapat memanfaatkannya, maka dinamakan hibah.

Lantas apa hubungannya antara hibah dengan muntahan? Korelasinya ialah hibah itu sifatnya bisa menjadi sebuah muntahan yang menjijikkan.

Hibah adalah derma (pemberian) yang sangat mulia, namun di sisi lain ia bisa menjadi sangat hina. Hibah menjadi sangat hina tatkala seseorang yang memberikan hibah mengambil atau menarik kembali hibah (pemberian) tersebut. Perbuatan tersebut adalah sifat yang sangat buruk yang diibaratkan oleh Rasulullah layaknya seekor anjing yang muntah lantas memakan kembali muntahan tersebut.

Rasulullah bersabda:


áóíúÓó áóäóÇ ãóËóáõ ÇáÓøóæúÁö ÇáúÚóÇÆöÏö öÝíú åöÈóÊöåö ßóÇáúßóáúÈö íóÞöíúÁõ Ëõãøó íóÚõæúÏõ Ýöíú ÞóíúÆöåö

"Tidak pantas bagi kita untuk memiliki sifat yang buruk. Orang yang menarik kembali hibahnya seperti seekor anjing yang muntah lantas memakan kembali muntahannya tersebut." (HR. Bukhari no. 2622)

Hadits di atas merupakan sebuah permisalan untuk mencela dan melarang. Anjing merupakan hewan yang kotor dan najis, dan tatkala anjing tersebut muntah kemudian memakan kembali muntahannya, maka ini adalah sesuatu yang sangat menjijikkan. Meskipun bukan kita yang memakannya, namun tatkala kita melihat apa yang dilakukan oleh anjing tersebut, naluri dan akal kita pasti akan memungkirinya bahwa betapa buruknya apa yang dilakukan oleh anjing tersebut.

Inilah gambaran seseorang yang menghibahkan sesuatu kepada orang lain, namun setelah itu ia menarik atau mengambilnya kembali. Oleh karena itu, tatkala anda menghibahkan sesuatu, maka berikanlah dengan senang hati dan jangan sampai hatimu masih terpaut dengannya. Perumpamaan yang berisi celaan dalam hadits di atas menunjukkan bahwa mengambil kembali sesuatu yang telah dihibahkan hukumnya terlarang.

Membeli barang yang telah dihibahkan

Mengambil kembali sesuatu yang telah dihibahkan sangatlah tercela. Karena perbuatan ini akan menyakiti hati orang yang diberi, merasa dipermainkan dan sangat bertentangan dengan nilai-nilai akhlak yang mulia.

Bahkan berusaha memiliki kembali barang yang telah dihibahkan dengan cara membelinya juga tidak dibolehkan, karena hal ini akan membuat orang yang diberi merasa malu untuk menolaknya dan akan menurunkan harga barang tersebut. Di samping itu, apa yang dia lakukan hanyalah khilah (trik) untuk mengambil barang hibahnya, hanya saja secara tidak langsung.

Oleh karena itu, tatkala Umar bin Khattab menyedekahkan kudanya di jalan Allah, lantas orang yang menerimanya tidak merawatnya, Umar mengira bahwa kuda tersebut akan dijual lagi dengan harga yang murah. Maka Umar meminta izin kepada Rasulullah untuk membelinya. Lalu beliau bersabda:


áóÇ ÊóÔúÊóÑöåö æóáóæú ÈóÇÚóßóåõ ÈöÏöÑúåóãò, ÇóáúÚóÇÆöÏõ Ýöíú åöÈóÊöåö ßóÇáúßóáúÈö íóÞöíúÁõ Ëõãøó íóÚõæúÏõ Ýöíú ÞóíúÆöåö

"Janganlah engkau membeli kuda itu, meski ia menjualnya kepadamu dengan harga satu dirham. Sebab, orang yang meminta kembali hibahnya, ibarat seekor anjing yang muntah kemudian memakan kembali muntahannya." (HR. Bukhari no. 2623)

Apabila membeli kembali barang yang telah dihibahkan dilarang oleh Rasulullah, maka perbuatan mengambil kembali barang yang telah dihibahkan tanpa membelinya jauh lebih buruk dan tercela lagi. Karena hal ini jauh lebih menyakitkan bagi orang yang telah diberinya, meskipun secara materi orang tersebut tidaklah merugi karena apa yang ia dapatkan hanyalah hasil pemberian tanpa harus mengeluarkan biaya. Namun secara hati dan perasaan, orang tersebut jelas sangat terganggu dan merasa dipermainkan.

Kapan dibolehkan mengambil kembali barang hibah

Seseorang boleh mengambil barang yang telah dihibahkan apabila dirinya dalam posisi sebagai seorang ayah yang memberikan hibahnya kepada anak-anaknya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah:


áóÇ íóÍöáøõ áöÑóÌõáò Ãóäú íõÚúØöíó ÚóØöíøóÉð Ãóæú íóåóÈõ åöÈóÉð ÝóíóÑúÌöÚó ÝöíúåóÇ ÅöáøóÇ ÇáúæóÇáöÏõ ÝöíúãóÇ íõÚúØöíú æóáóÏóåõ

"Tidak halal bagi seseorang untuk memberi sesuatu atau menghibahkan sesuatu, lalu mengambilnya kembali. Kecuali seorang ayah terhadap apa yang telah diberikan kepada anaknya." (HR. Abu Dawud no. 3539)

Rasulullah juga bersabda:


ÃóäúÊó æóãóÇáõßó áöÃóÈöíúßó

"Engkau dan hartamu adalah milik ayahmu." (HR. Abu Dawud no. 3530)

Sebagian ulama mengatakan bahwa larangan mengambil kembali sesuatu yang telah dihibahkan bersifat mutlak, sehingga seorang ayah juga tidak boleh mengambil kembali hibah yang telah diberikan kepada anaknya. Karena menurut mereka hadits dalam riwayat Abu Dawud yang membolehkan terdapat cacat dan derajatnya dhaif. Mereka lebih mengedepankan keumuman hadits, "Orang yang mengambil kembali hibahnya ibarat seekor anjing" daripada hadits dhaif tersebut.

Akan tetapi pendapat ini dibantah oleh Syaikh Ibnu Utsaimin dengan mengatakan, "Meskipun hadits di atas adalah dhaif, namun ada hadits lain yang menguatkannya, yaitu bahwa seorang ayah berhak memiliki harta anaknya sebagaimana yang ia kehendaki. Karena dia berhak memiliki segalanya, maka mengambil kembali hibahnya dari anaknya tentu lebih dibolehkan. Kecuali jika tujuan mengambil hibah tersebut adalah sebagai taktik untuk melebihkan anak yang lain, maka hal ini tidak diperbolehkan. Misalnya, seorang ayah memberi kepada kedua anaknya, masing-masing satu mobil. Lalu dia mengambil kembali mobil salah satu anaknya. Maka mengambil kembali hibah tersebut tidak diperbolehkan. Sebab tujuannya adalah untuk melebihkan pemberian terhadap anak yang lain." (Syarh Al-Mumti', Syaikh Ibnu Utsaimin, hal 90-91)

Berlaku adil dalam pemberian kepada anak-anaknya adalah sebuah kewajiban bagi orang tua, oleh karena itu melebihkan pemberian kepada salah satu dari anak-anaknya tidak diperbolehkan. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah:


ÇÊøóÞõæÇ Çááøóåó æóÇÚúÏöáõæÇ Èóíúäó ÃóæúáóÇÏößõãú

"Bertakwalah kepada Allah dan berlaku adillah kepada anak-anak kalian." (HR. Bukhari no. 2587)

Kemudian Syaikh Utsaimin menyebutkan beberapa syarat seorang ayah boleh mengambil kembali hibah yang diberikan kepada anaknya:

[b[Pertama, Tidak menimbulkan mudharat bagi anaknya

Kedua, Anak tersebut tidak membutuhkannya

Ketiga, Ayahnya dalam kondisi merdeka (bukan budak)

Keempat,Agama orang tua lebih tinggi dari agama anaknya. Maksudnya orang tuanya beragama islam sementara anaknya beragama nashrani, yahudi ataupun yang lainnya.

Kelima, tidak mengambilnya untuk diberikan kepada anaknya yang lain. Karena apabila melebihkan pemberian kepada anak tertentu dari hartanya (orang tua) adalah diharamkan, tentu hanya mengambil dari salah satu anak lebih diharamkan lagi. Sebab, hal ini akan menimbulkan kedengkian di antara anak-anaknya. (Syarh Al-Mumti', hal 93-94)

Wallohu a'lam bishowab

Ditulis oleh Saed As-Saedy

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=lihatannur&id=752