Artikel : Bulein Annur - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits

SHAHABAT MENERIMA AGAMA DALAM MANHAJ YANG SEMPURNA

Kamis, 04 Oktober 07

Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bangkit mengemban dakwah dan menyampaikannya sejak pertama kali diperintahkan oleh Allah subhanahu wata’ala sebagaimana firman-Nya, artinya, "Maka sampaikanlah olehmu segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik." (QS. al-Hijr: 94)

Lalu wahyu terus turun kepada beliau shallallahu’alaihi wasallam di Mekkah selama 13 tahun. Sejak itu, sejarah tidak pernah mengenal tandingan semisalnya dalam sikap tajarrud, keikhlasan, kesabaran, jihad, mujahadah dan pendidikan iman yang demikian mendalam. Dari situ pula, tumbuhlah landasan yang kuat, atas tempaan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dengan tangannya sendiri, derap langkahnya (landasan tersebut) dikendalikan oleh wahyu Ilahi dalam setiap saat dan kesempatan. Wahyu ini pula yang membimbing landasan itu secara benar dalam menjejaki jalan yang panjang, kemudian mempraktekkannya dalam wujud nyata atas prinsip-prinsip Islam secara sempurna di Madinah. Hal ini dapat terealisasi karena Allah subhanahu wata’alamenghendaki kebaikan bagi mereka dengan menggiring mereka untuk membai'at Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam pada Bai'at 'Aqabah yang merupakan peletakan batu pertama bagi bangunan Daulah Islamiah. Di sanalah, Nabi shallallahu’alaihi wasallam beraktivitas berdasarkan wahyu dari Rabbnya.

Hingga manakala Nabi shallallahu’alaihi wasallam telah menyempurnakan bangunan tersebut, wahyu telah lengkap dan beliau kembali menghadap kepada Rabbnya, maka landasan dan umat ini pun memiliki gaungnya dalam keseluruhan sejarah umat manusia.

Semua itu terjadi di saat para shahabat menerima dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam seluruh hukum-hukum, ajaran dan adab-adab agama ini yang terkait dengan keimanan dan ma'rifatullah, bagaimana seharusnya menaatinya, bagaimana cara beribadah dan menjalankan syiar-syiar agama dan beragam muamalat di berbagai lini kehidupan, baik individu maupun sosial, akhlak, etika dan pekerti. Kemudian, dalam hubungan umat ini dengan bangsa-bangsa dan agama-agama lainnya tanpa terbersit pemikiran untuk membagi-bagi hukum-hukum tersebut atau mengelompokkan dan membuat bab-bab tertentu padanya agar yang satu menjadi bagian aqidah, yang ke dua menjadi bagian ibadah, yang ke tiga mejadi ekonomi, politik atau pembagian-pembagian lainnya yang muncul sesuai tuntutan penelitian dan penulisan. Juga, tanpa ada pemikiran untuk membeda-bedakannya dalam hal komitmen dan pengamalan berdasar kan tuntutannya. Semuanya adalah hukum-hukum yang diturunkan Allah subhanahu wata’ala, yang harus mereka terima dengan berserah diri, bersegera dalam menjalankannya agar dengan itu dapat merealisasikan tuntutan keimanan mereka kepada Allah subhanahu wata’ala dan penyerahan diri mereka kepada syariat dan Dien-Nya dan supaya mereka dapat masuk ke dalam agama ini secara total.!!

Oleh karena itu, kita mendapati Islam, Iman dan Ihsan berada dalam satu redaksi yang mengungkapkan agama secara keseluruhan sebagaimana terdapat dalam hadits Umar bin al-Khattab radhiyallahu’anhu, "Tatkala kami berada di sisi Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam pada suatu hari, muncullah ke hadapan kami seorang laki-laki yang pakaiannya sangat putih, rambutnya sangat hitam, tidak tampak bekas perjalanannya serta tidak seorang pun dari kami yang mengenalnya, lalu ia menghadap kami hingga duduk di dekat Nabi shallallahu’alaihi wasallam dengan menyandarkan kedua lututnya kepada kedua lutut beliau dan meletakkan kedua telapak tangannya ke atas kedua paha beliau seraya berkata, 'Wahai Muhammad, beritahukan kepadaku apa itu Islam!” Lalu beliau menjawab, 'Islam adalah kamu bersaksi bahwa tiada tuhan -yang berhak disembah- selain Allah subhanahu wata’ala dan Muhammad adalah utusan Allah subhanahu wata’ala , mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan berhaji ke Baitullah, jika kamu mampu.” Lalu orang itu berkata, “Benar.” Umar berkata, “Kami pun terheran-heran, dia yang bertanya dan ia pula yang mengiyakannya. Lalu ia berkata, "Kabar kan kepadaku tentang Iman." Beliau menjawab, "Kamu beriman kepada Allah subhanahu wata’ala, kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, Hari Akhir dan beriman kepada Qadar, yang baik dan buruknya." Ia berkata, "Benar.” Lalu kabarkan kepadaku tentang Ihsan." Beliau menjawab, "Engkau menyembah Allah subhanahu wata’ala seakan melihat-Nya; jika kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihat mu…" (HR. al-Bukhari, I:114; dan Muslim, I: 37,38)

Dalam hadits Umar radhiyallahu’anhu tersebut, Nabi shallallahu’alaihi wasallam menjadikan Islam sebagai sebutan bagi amal-amal yang tampak (amal lahiriah) dan menjadikan iman sebagai sebutan bagi keyakinan yang bersifat tersembunyi (keyakinan batiniah). Hal itu tidak dimaksudkan bahwa amal-amal itu bukanlah termasuk iman atau pembenaran dengan hati itu bukanlah termasuk Islam, akan tetapi itu adalah rincian bagi suatu kalimat yang kesemuanya adalah satu jenis, yang terhimpun dalam lafazh 'ad-Dien.'

Karena itu, beliau shallallahu’alaihi wasallam bersabda di akhir hadits itu, "Sesungguhnya ia adalah Jibril, yang datang kepada kamu untuk mengajarkan agama kepadamu." (Syarh as-Sunnah, al-Baghawi, I:11)

Dulu, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam juga menyeru manusia kepada agama ini secara total sebab -sebagaimana bunyi teks jawaban Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam terhadap sekelompok orang dari suku Bani Syaiban ketika menawarkan Islam kepada mereka dan mendengar perkataan mereka dalam suatu kisah yang panjang- "Tidak ada yang dapat mengemban Dien Allah subhanahu wata’ala ini kecuali orang yang mengetahuinya dari segala sisinya." (Dikeluarkan oleh al-Hakim, Abu Nu'aim dalam ad-Dala'il', Ibn Katsir dalam 'al-Bidayah Wa an-Nihayah' dan menilainya Gharib Jiddan, tetapi karena jalurnya yang banyak dihasankan oleh al-Qasthalani. Lihat juga, ar-Raudh al-Unuf karya as-Suhaili)

Sebuah delegasi dari Bani Tsaqif mendatangi Nabi shallallahu’alaihi wasallam lalu menginap beberapa hari, menjumpai Nabi shallallahu’alaihi wasallam yang mendakwahi mereka kepada Islam. Lalu salah seorang di antara mereka, Abd Ya Lail berkata kepada beliau, "Apakah kamu akan menuntut kami hingga kami kembali kepada kaum kami.?" Beliau berkata, "Jika kamu mengakui Islam, aku akan menuntut kamu. Jika tidak, maka tidak ada tuntutan dan perundingan antaraku dan kamu." Ia berkata lagi, "Bagaimana pendapatmu tentang zina? Sesungguh nya kami ini suatu kaum yang terdiri dari perjaka dan tidak dapat menghin dar dari hal itu.?" Beliau menjawab, "Hal itu haram bagi kamu sebab Allah subhanahu wata’ala berfirman, “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. al-Isra': 32). Lalu ia berkata lagi, "Bagaimana pula pendapatmu tentang riba?" Beliau menjawab, "Ia juga haram bagi kamu." Mereka berkata, "Sesungguhnya semua harta kami ini adalah hasil riba.!" Beliau menjawab, "Kamu boleh mangambil modal pokok kamu, sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala berfirman, ”Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah subhanahu wata’ala dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS.al-Baqarah:278). Lalu mereka berkata, "Bagaimana pendapat mu tentang khamar? Sebab ia adalah perasan dari anggur-anggur kami (juice anggur) dan kami tidak dapat menghindar dari hal itu.!" Beliau menjawab, "Sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala telah mengharamkannya!" Beliau kemudian membaca firman-Nya, artinya, "Hai orang-orang yang beriman, sesungguh nya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk ) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan." (QS. al-Ma'idah: 90)

Setelah masuk Islam, mereka meminta kepada Nabi shallallahu’alaihi wasallam agar membiar kan mereka memiliki Thaghiah (Tuhan mereka, al-Lata) dan tidak menghancur kannya untuk masa tiga tahun. Namun Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam tidak memperkenankan bagi mereka sesuatu pun darinya. Mereka menginginkan hal itu -dalam hal yang mereka tampakkan- agar dengan membiarkannya itu, mereka dapat selamat dari kaum mereka yang masih bodoh, kaum wanita dan anak-cucu mereka. Mereka tidak suka membuat takut kaum mereka dengan cara menghancurkannya agar mereka dapat masuk Islam. Mereka terus meminta kepada beliau agar membiar kannya untuk masa satu tahun saja, namun beliau tidak memperkenankannya, hingga mereka meminta untuk masa satu bulan saja dari kedatangan mereka, namun beliau shallallahu’alaihi wasallam tetap menolak membiarkan sesuatu pun darinya. Lalu mereka meminta beliau agar mereka sendiri yang menghancurkannya, maka beliau menyerahkannya kepada mereka. Mereka pun pernah meminta beliau agar membiarkan mereka -setelah membiarkan Thaghiah tersebut- agar membebaskan mereka dari shalat. Lalu Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam mengatakan kepada mereka, "Sesungguhnya tidak ada sesuatu kebaikan yang diharapkan dari agama yang tidak ada shalat di dalamnya." (HR.Ahmad)
Demikianlah para shahabat menerima ad-Dien ini secara menyeluruh dan manhaj yang sempurna.!! (Hanif Yahya, Lc)
Sumber: “Dirasat Fi al-'Aqidah”, Utsman bin Jum'ah Dhumairiah)

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=lihatannur&id=447