Artikel : Analisa Islam - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits - NULL,

Jajak Pendapat Tentang Poligami
oleh : Abu Muthiah

Dewasa ini berkembang penggunaan hisab dalam menentukan awal bulan Ramadhan. Banyak orang yang menggunakannya berusaha membela dan mencari dalih-dalih yang menguatkan penggunaan hisab ini serta menyatakan hal itu berdasarkan pada ayat Al Qur’an dan hadits Nabi dan juga ilmu hisab.

Diantara syubhat yang mereka sampaikan adalah.

1. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.


Ýóãóä ÔóåöÏó ãöäßõãõ ÇáÔóøåúÑó ÝóáúíóÕõãúåõ

"Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, hendaklah dia berpuasa.” [Al Baqarah : 185]

Jawaban:

Dalil ini tidak dapat dipakai untuk membenarkan penggunaan hisab dalam penentuan awal Ramadhan, sebab tidak ada penjelasan cara menentukan awal bulan tersebut. Ayat yang mulia ini tentunya kita fahami dengan penjelasan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam menentukannya. Yaitu dengan melihat hilal (rukyat) atau menyempurnakan 30 hari bulan sya’ban bila terhalang melihatnya.

2. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.


åõæó ÇáóøÐöí ÌóÚóáó ÇáÔóøãúÓó ÖöíóÂÁð æóÇáúÞóãóÑó äõæÑðÇ æóÞóÏóøÑóåõ ãóäóÇÒöáó áöÊóÚúáóãõæÇ ÚóÏóÏó ÇáÓöøäöíäó æóÇáúÍöÓóÇÈó ãóÇÎóáóÞó Çááåõ Ðóáößó ÅöáÇóø ÈöÇáúÍóÞöø íõÝóÕöøáõ ÇúáÃóíóÇÊö áöÞóæúãò íóÚúáóãõæäó

"Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui." [Yunus : 5]

Jawaban:

Ayat yang mulia ini tidak menunjukkan bahwa syari’at menganggap hisab sebagai sarana dalam penentuan awal bulan. Ayat ini hanya menjelaskan fungsi manzilah-manzilah bulan dalam mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu dan ini dijelaskan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan melihat hilal.

Sedangkan firmanNya: (áöÊóÚúáóãõæÇ ) tidak berhubungan dengan sifat matahari dan bulan namun berhubungan dengan taqdir manaazil (ketentuan manzila bulan).

Syaikh Islam Ibnu Taimiyah berkata: Firman Allah (áöÊóÚúáóãõæÇ) berhubungan dengan firmanNya (óÞóÏóøÑóåõ ) bukan kepada (ÌóÚóáó ) karena sifat matahari bersinar dan bulan bercahaya tidak memiliki pengaruh dalam mengenal bilangan tahun dan hisab. Juga karena Allah tidak menggantung kepada matahari dalam perhitungan bulan dan tahun dan hanya menetapkannya dengan hilal, sebagaimana ditunjukkan oleh ayat.

Demikian juga karena Allah berfirman:


Åöäóø ÚöÏóøÉó ÇáÔõøåõæúÑö ÚöäúÏó Çááåö ÇËúäóÇ ÚóÔóÑó ÔóåúÑðÇ Ýöíú ßöÊóÇÈö Çááåö íóæúãó ÎóáóÞó ÇáÓóøãÇóæóÇÊö æóÇúáÃóÑúÖó ãöäúåó ÃóÑúÈóÚóÉñ ÍõÑõãñ

"Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram. [at-Taubah :36]

Allah Subhanahu wa Ta'ala mengkhabarkan jumlah bulan adalah 12, sehingga diketahui bahwa bulan-bulan tersebut diketahui dengan hilal [8].

Dengan demikian keumuman ayat ini tidak menunjukkan i’tibar hisab dalam penentuan bulan menurut syari’at.

3. Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:


ÅöÐóÇ ÑóÃóíúÊõãõæåõ ÝóÕõæãõæÇ æóÅöÐóÇ ÑóÃóíúÊõãõæåõ ÝóÃóÝúØöÑõæÇ ÝóÅöäú Ûõãóø Úóáóíúßõãú ÝóÇÞúÏõÑõæÇ áóåõ

"Jika kalian melihat hilal maka berpuasalah dan jika melihatnya kembali maka berbukalah (berhari raya ‘ied), lalu jika kalian terhalangi (tidak dapat melihatnya) maka perkirakanlah bulan tersebut." [9]

Melihat bentuk kata faqdurulah yang artinya maka perkirakanlah, adalah bentuk amar (perintah) yang dalam hal ini juga hadits (sabda Nabi) yang berkedudukan sebagai dalil. Sehingga menggunakan ilmu hisab, berarti pengamalan terhadap ayat al Qur’an dan hadits. Jadi penggunaan hisab itu bukanlah rekaan terhadap urusan agama (bid’ah).

Jawaban:

Menurut ahli bahasa Arab, kata faqdurulah berasal dari makna taqdir yaitu tentukanlah bukan perkirakanlah, sebagaimana firman Allah:


ÝóÞóÏóÑúäóÇ ÝóäöÚúãó ÇáúÞóÇÏöÑõæäó

"Lalu Kami tentukan (bentuknya), maka Kami-lah sebaik-baik yang menentukan." [al-Mursalat :23] [10]

Kemudian makna ini telah ditafsirkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri melalui perawi hadits diatas yaitu Ibnu Umar dan yang lainnya bahwa makna faqdurullah tersebut adalah menyempurnakan bilangan Sya’ban tiga puluh hari [11], sehingga bila kita mau mengamalkan hadits ini maka harus membawa maknanya kepada hadits yang lain bukan sekedar mendapatkan sesuatu yang dianggap mendukung pendapatnya lalu tidak mau berhujah dengan tafsirnya yang juga berasal dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. sikap yang benar terhadap hadits-hadits seperti ini adalah dengan membawa sesuatu yang muthlak kepada penjelasnya, sehingga makna faqdurullah difahami dengan makna menyempurnakan bulan, barulah kemudian dianggap telah mengamalkan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Kemudian seandainya kata faqdurulah dalam hadits ini dimaknai kira-kira dengan ilmu hisab, maka hadits ini membolehkannya setelah tidak dapat melihat hilal karena mendung dan sejenisnya, bukan sebelumnya.

Sedangkan mereka yang menjadikan hisab sebagai standar penentuan awal Ramadhan tidaklah demikian. Tetapi mereka menentukannya jauh sebelum waktu rukyat dan tidak melihat mendung atau cerah keadaan langitnya. Ini jelas menyelisihi sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang berarti satu perbuatan bid’ah yang tidak pernah dilakukan kaum muslimin sebelumnya.

Ibnu Taimiyah berkata: Sedangkan mengikuti hisab pada keadaan cerah atau menentukan perkara syariat umum yang lain dengan hisab, maka (pendapat seperti ini) tidak pernah disampaikan oleh seorang muslimpun (ulama mereka, ed). [12]

Ibnu Mulaqin berkata : Kata faqdurulah, bila dimaknai dengan menghitungnya dengan hisab manaajil (falak) yang digunakan ahli falak, maka ini pendapat yang sangat lemah sekali. Karena seandainya manusia dibebabkan demikian, tentu menyusahkan mereka, karena tidak mengetahuinya kecuali segelintir orang. Padahal syari’at mengenalkan kepada mereka sesuai dengan sesuatu yang kebanyakan mereka ketahui. Juga karena iklim menurut pendapat mereka (ahli falak) berbeda-beda, dibenarkan satu iklim melihat (dan) yang lain tidak, sehingga membuat perbedaan puasa pada kaum muslimin. Demikian juga seandainya hisab diakui kebenarannya (dalam menentukan awal bulan Ramadhan), tentulah Allah Subhanahu wa Ta'ala akan menjelaskannya kepada manusia, sebagaimana telah menjelaskan waktu-waktu shalat dan yang lainnya.

Jelas hadits inipun tidak mendukung pendapat bolehnya menggunakan hisab dalam menentukan awal Ramadhan.

4. Dari segi sejarah dapat kita pelajari uraian kitab Bidayatul Mujtahid. Disebutkan bahwa penggunaan hisab oleh ulama sejak masa sahabat atau tabi’in. Kalau dalam menetapkan awal bulan Ramadhan dengan rukyat tidak berhasil karena mendung maka digunakan hisab. Hal ini dilakukan oleh sebagian ulama salaf dan dipelopori oleh seorang senior tabi’in yang bernama Mutharif bin Asy Syahr.

Jawaban:

Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid menyatakan: ‘Dan diriwayatkan dari sebagian salaf berpendapat bahwa jika hilal tidak terlihat karena mendung, maka merujuk kepada hisab peredaran bulan dan matahari dan ini adalah madzhab Mutharif bin asy Syikhir seorang senior tabi’in’ [14].

Jadi Mutharif bin Abdillah Asy Syikhir bukan Asy-Syahr. Dan dia bukanlah yang mempelopori. Pernyataan beliau ini perlu dicermati lagi, karena nisbat pendapat ini kepada Muthorif bin Abdillah Al Shikhier tidak benar, sebagaimana dinyatakan imam Ibnu Abdil Barr [15]

Kemudian juga pernyataan para sahabat ada yang menggunakan hisab dibantah oleh hadits Nabi yang berbunyi:


ÅöäóøÇ ÃõãóøÉñ ÃõãöøíóøÉñ áóÇ äóßúÊõÈõ æóáóÇ äóÍúÓõÈõ ÇáÔóøåúÑõ åóßóÐóÇ æóåóßóÐóÇ æóåóßóÐóÇ ËóáóÇËðÇ ÍóÊóøì ÐóßóÑó ÊöÓúÚðÇ æóÚöÔúÑöíäó

"Kami adalah umat yang ummiy tidak menulis dan tidak menghisab, bulan itu demikian, demikian dan demikian tiga kali sampai menyebut dua puluh sembilan." [16].

Dengan demikian benarlah pernyataan Ibnu Taimiyah bahwa penggunaan hisab dalam menentukan awal Ramadhan merupakan perkara baru yang terjadi setelah tahun tiga ratusan.[17]

5. Kalaulah menentukan awal Ramadhan dengan rukyat berdasarkan hadits Nabi, bagaimana menentukan awal bulan Dzulhijah untuk selanjutnya menentukan tanggal 10 Dzulhijjah. Tidak ada perintah untuk itu dengan rukyat. Bagaimana penentuan waktu-waktu shalat sekarang, dengan menggunakan jadwal yang didasarkan pada hisab. Padahal di zaman Nabi dilakukan dengan melihat bayangan benda bagi sholat dzuhur dan ashar, dengan menggunakan melihat fajar untuk waktu subuh dan terbenam matahari untuk waktu sholat maghrib dari hilangnya mega merah untuk sholat isya’. Kesemuannya dapat dikembalikan kepada dalil umum ayat 5 surat Yunus di atas dengan melakukan isthimbath dan ijtihad, baik berdasarkan metode bayani dan pendekatan burhani (pendekatan ilmiah beradasarkan dalil).

Jawaban:

Alhamdulillah agama Islam telah menjelaskan seluruh keterangan yang dapat digunakan hamba Allah dalam beribadat kepadanya. Menjadi mustahil bila Islam menetapkan satu ibadah yang berhubungan dengan waktu kemudian tidak menjelaskan waktu tersebut. Demikian pula tuntunan awal Ramadhan ditentukan dengan rukyat berdasarkan hadits Nabi, bahkan juga oleh akal, sehingga Ibnu Taimiyah berkata: "Sesungguhnya hukum-hukum Islam seperti puasa Ramadhan berhubungan langsung dengan hilal. Namun berdasarkan dalil sam'iyah (wahyu) dan akal, cara mengetahui terbitnya hilal adalah rukyat tidak yang lainnya. [18]

Sedangkan penentuan bulan Dzulhijah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :


íóÓúÆóáõæäóßó Úóäö ÇúáÃóåöáóøÉö Þõáú åöíó ãóæóÇÞöíÊõ áöáäóøÇÓö æóÇáúÍóÌöø æóáóíúÓó ÇáúÈöÑõø ÈöÃóä ÊóÃúÊõæÇ ÇáúÈõíõæÊó ãöä ÙõåõæÑöåóÇ æóáóßöäóø ÇáúÈöÑóø ãóäö ÇÊóøÞóì æóÃúÊõæÇ ÇáúÈõíõæÊó ãöäú ÃóÈúæóÇÈöåóÇ æóÇÊóøÞõæÇ Çááåó áóÚóáóøßõãú ÊõÝúáöÍõæäó

"Mereka bertanya kepadamu tentang hilal. Katakanlah :"Hilal itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; Dan bukanlah kebaktian memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebaktian itu ialah kebaktian orang yang bertaqwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu beruntung." [Al-Baqarah:189]

Sungguh aneh kalau dikatakan tidak ada perintah untuk itu dengan rukyat. Adapun waktu shalat sudah jelas dan disepakati Rasululloh telah menjelaskannya dengan sangat jelas sekali dalam hadits Jabir dan yang lainnya.

Mengapa kita memaksakan semua ini masuk dalam keumuman ayat 5 surat Yunus yang tidak menjelaskan tentang penggunaan hisab dalam syari’at Islam, padahal secara jelas ketentuannya telah terperinci dalam ayat dan hadits-hadits yang shahih. Seperti ini menunjukkan jalan istimbath yang jauh dari benar.

Ambillah yang sudah jelas dan gamblang dan tinggalkanlah yang masih direka-reka dan dipaksakan.

6. Secara fakta ilmu hisab telah dapat digunakan untuk menghitung waktu yang mendekati kebenaran

Jawaban:

Kalau benar fakta ini, mengapa tidak menggunakan yang jelas pasti kebenarannya menurut syari’at dan malah menggunakan sesuatu yang hanya mendekati kebenaran dan masih mungkin bisa keliru dan salah?

7. Sebagian orang berkomentar tentang hadist:


ÅöäóøÇ ÃõãóøÉñ ÃõãöøíóøÉñ áóÇ äóßúÊõÈõ æóáóÇ äóÍúÓõÈõ ÇáÔóøåúÑõ åóßóÐóÇ æóåóßóÐóÇ æóåóßóÐóÇ ËóáóÇËðÇ ÍóÊóøì ÐóßóÑó ÊöÓúÚðÇ æóÚöÔúÑöíäó

"Kami adalah umat yang ummiy tidak menulis dan tidak menghisab, bulan itu demikian, demikian dan demikian tiga kali sampai menyebut dua puluh sembilan."

Berdasarkan hadits ini, mereka menyatakan bahwa ini merupakan penyebab hukum puasa tidak ditetapkan dengan hisab, sebab Nabi dan para sahabat tidak mampu melakukannya dengan sebab ummiynya mereka. Sedangkan kami sekarang bias membaca dan mengetahui ilmu hisab. Ditambah lagi kami memiliki teropong bintang yang modern. Sehingga alasan hanya menggunakan rukyat hilal sekarang ini terhapus. Dalam kaidah dikatakan : Hukum bisa berubah dengan ada atau tidak adanya illat (alasan hukum).

Jawaban:

Pernyataan seperti ini telah dijawab oleh Syaikh Islam Ibnu Taimiyah : ‘Hal ini tidak bisa dibenarkan, karena pada umat yang Nabi diutus kepada mereka terdapat orang yang mampu membaca dan menulis sebagaimana ada pada sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan juga ada pada mereka yang mampu hisab. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga pernah mengutus untuk melaksanakan kewajiban yang membutuhkan hisab (perhitungan). Telah benar berita bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika petugas (zakat) datang membawa shadaqah Ibnu Al Lutbiyah. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menghitungnya. Demikian juga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memiliki beberapa para juru tulis (Katib) seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Zaid dan Mu’awiyah. Mereka menulis wahyu, perjanjian, risalah Beliau kepada orang banyak dan kepada para raja dan penguasa yang didakwahi serta kepada para petugas dan gubernur serta yang lainnya. Demikian juga Allah berfirman:


áöÊóÚúáóãõæÇ ÚóÏóÏó ÇáÓöøäöíäó æóÇáúÍöÓóÇÈó

"Dalam dua ayat yang memberitahukan bahwa hal itu ada untuk mengetahui hisab."

Kata Ummiy pada asalnya dinisbatkan kepada ummah yaitu orang yang tidak memiliki keistimewaan dari yang lainnya berupa membaca atau menulis sebagaimana dikatakan: ‘aami (orang awam) untuk orang umum yang tidak memiliki keistimewaan khusus dari ilmu pengetahuan. Ada juga yang menyatakan bahwa itu dinisbatkan kepada al um, yang maknanya tetap pada kebiasaan yang dibiasakan ibunya berupa pengetahuan dan ilmu serta yang sejenisnya. Kemudian keistimewan yang mengeluarkan dari ummiyah al’ amah (yang umum) kepada al ikhtishosh, terkadang adalah keutamaan dan kesempurnaan. Misalnya, seperti keistimewan mereka dapat membaca Al Qur’an dan memamahi kandungannya. Dan terkadang hanya menjadi sarana mencapai keutamaan dan kesempurnaan. Misalnya, seperti keistimewan mereka dapat menulis dan membaca tulisan, sehingga terpuji pada orang yang menggunakannya untuk kebenaran, dan dicela pada orang yang meninggalkannya atau menggunakannya untuk kejelekan. Orang yang mencukupkan dengan sesuatu yang lebih bermanfaat baginya, maka lebih sempurna dan utama.[20]

Dari sini jelaslah, dari beberapa sisi, maksud umiyah yang terdapat pada hadits tersebut merupakan sifat terpuji dan sempurna. Yaitu dari sisi mencukupkan dari sisi tulisan dan hisab dengan yang lebih jelas dan pasti, yaitu hilal. Sisi yang lain, tulisan dan hisab masih mungkin keliru dan salah. Sehingga dengan demikian jelaslah kesalahan prasangka di atas.

Seandainya hisab lebih baik dan tepat digunakan dalam penentuan awal bulan Ramadhan, tentulah Allah akan menjelaskan atau mengajarkan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam atau sahabat Beliau, sehingga dapat digunakan mereka untuk memudahkan penentuan awal bulan Ramadhan.


æóãóÇßÇóäó ÑóÈõøßó äóÓöíðøÇ

"Dan tidaklah Rabbmu lupa. [Maryam:64]

Bahkan bila hisab dapat digunakan sama dengan rukyat hilal tentulah akan dijelaskan Allah dan RasulNya.

KESIMPULAN
Semua dalih yang digunakan untuk membenarkan penggunaan hisab sangat lemah. Sehingga, hendaknya kaum muslimin tidak menggunakannya, dan tidak merasa bingung dengan permasalahan ini. Agama Islam telah lengkap, sempurna dan gamblang dalam menjelaskan seluruh syari’atnya.

Demikianlah sedikit penjelasan tentang permasalahan hisab dalam penentuan Ramadhan, mudah-mudahan bermanfaat.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun IX/1425/2004M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
_______
Footnote
[1]. Lihat mabhats Menentukan Ramadhan dalam edisi ini.
[2]. Abdullah bin Abdurrahman Al Basaam, Taudhih Al Ahkam Min Bulughul Maram, cetakan kelima tahun 1423H, maktabah Al Asadi, Makkah, KSA hal. 3/450
[3]. ibid
[4]. Lihat ibid.
[5]. Taqiyuddin Ibnu Daqiqil Ied. Ihkaam Al Ahkam Syarhu Umdat Al Ahkaam, Tahqiqi Ahmad Muhammad Syakir, cetakan kedua tahun 1407H, Dar aalam Al Kutub, Bairut. Hal 2/8.
[6]. Fathul Bari, op.cit. hal 4/127.
[7]. Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Syarhu Al Mumti’ ‘Ala Zaad Al Mustaqni’, Tahqiqi Dr. Sulaiman Aba Khail dan Dr. Khalid Al Musaiqih, cetakan pertama tahun 1416, Muassasah Aasaam, KSA. Hal 6/314.
[8]. Majmu’ Fatawa op.cit hal 25/134-135.
[9]. HR. Al Bukhari, dalam Shahihnya, kitab Al Shiyaam, no. 1906 (lihat Fathul Bari op.cit hal.4/119) dan Muslim dalam Shahihnya kitab Al Shaum no 2500. Lihat Al Nawawi, Al Minhaaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, tahqiq Al Syaikh Khalil Ma’mun Syaikha, cetakan ketiga tahun 1417, Dar Al Ma’rifah, Bairut hal. 7/190.
[10]. Lihat Ibnu Al Mulaqqin Al Syafi’i, Al I’laam Bi Fawaa’id Umdat Al Ahkam, tahqiq Abdulaziz Ahmad Al Musyaiqih, cetakan pertama tahun 1417 H, Dar Al ‘Ashimah, KSA. Hal 5/173.
[11]. Lihat:rubrik mabhas Menentukan Ramadhan.
[12]. Lihat: Majmu’ al-Fatawa op/cit hal. 25/132)
[13]. Al I’lam Bi Fawaid Umdat AL Ahkam op.cit hal 5/176-177.
[14]. Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayaatul Muqtashid, cetakan kesepuluh tahun 1408, Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyah, bairut. Hal 1/284
[15]. Lihat Fathul Bari op.cit hal 4/122. Ibnu Hajar menukil pernyataan Ibnu Abdilbar, bahwa tidak benar (nisbat pendapat ini) kepada Muthorif. Juga lihat imam Muhammad bin Ali Al Saukani, Nailul Author min Ahaadits Sayid Al Akhyar Syarh Muntaqa Al Akhbaar, tahqiq Muhammad Saalim Haasyim, cetakan pertama tahun 1415H, Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyah, Bairut. Hal 4/204.
[16]. HR Al Bukhari, dalam Shahihnya Kitab Al Shaum, no 1913, lihat Fathul Bari op.cit hal 4/126 dan juga perhatikan komentar Ibnu Hajar tentang kandungan hadits ini di atas.
[17]. Lihat pernyataan beliau dalam mabhas menentukan Ramadhan.
[18]. Majmu’ Fatawa op.cit hal 25/146.
[19]. Yaitu surat al Isra’ ayat 12 dan Yunus ayat 5
[20]. Majmu’ Fatawa op.cit 25/166-167

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=indexanalisa&id=1§ion=an001